Mohon tunggu...
Gabby Indrawati
Gabby Indrawati Mohon Tunggu... -

Calon CEO

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bambang Soepijanto Mendukung Jogjakarta (Kembali) Jadi Kota Sepeda

22 Januari 2019   14:46 Diperbarui: 22 Januari 2019   14:56 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Jogja tentu masih ingat anekdot tentang pipi gosong sebelah penglaju atau pengkomuter sepeda dari Bantul. Ini terjadi saat warga Bantul yang bekerja di kota harus berangkat pagi-pagi. Pipi sebelah kiri mereka terkena sinar matahari yang merekah dari arah timur, sebaliknya saat pulang ke Bantul pada sore hari  pipi kiri mereka terkena pijaran surya dari arah barat. Menghasilkan pipi mereka "gosong" sebelah. Anekdot lawas ini begitu popular saat saya kecil, pada medio tahun 1990an. Anekdot ini menggambarkan bagaimana lalu lintas Jogja saat itu masih bersahabat bagi pesepeda. Karenanya sepeda masih bisa diandalkan untuk mengantarkan para penglaju bekerja. Mereka biasa berangkat beriringan di pagi dan sore hari, melintasi Jalan Bantul, Parangtritis atau Imogiri yang menghubungkan Bantul diluar ring road dengan kota Jogja didalamnya. 

Lima puluh tahun sebelumnya seorang pria Amerika datang ke Indonesia. Kedatangannya bukan untuk menikmati matahari tropis atau pantai-pantai eksotis. Ia datang kala masa revolusi 1945-1949 sedang berkobar. Pria itu bernama Ronald Stuart Kain, wartawan majalah terkemuka National Geographic. Kain diutus majalahnya untuk meliput keadaan negara eks Hindia Belanda itu. Reportasi Kain mendapat banyak apresiasi Karena dinilai mampu menggambarkan situasi sosial politik ditengah perang. Kain juga menyibak sisi lain perang lewat deskripsi-deskripsi detail: para pengungsi di barak, lascar-laskar pribumi berambut panjang, juga serdadu Belanda yang rindu kampung halaman. 

Tak melulu perang, Kain juga mengabadikan suasana Yogyakarta, sang ibu kota republic. Anak-anak muda bersepeda dengan bebas, hilir mudik dengan pakaian barat: kemeja, dasi dan sepatu untuk remaja pria. Sedangkan para gadis berpakaian amat mirip dengan gadis-gadis di dunia barat. Jalan-jalan ramai dilengkapi dengan jalur khusus sepeda. 

Melalui penggambaran Kain dan fenomena penglaju sepeda diatas, bisa dimengerti bagaimana julukan Yogyakarta sebagai kota "Sepeda" tersemat. Saking populernya moda transportasi ini, di Jalan Parangtritis terdapat tempat penitipan sepeda untuk melayani komuter yang melanjutkan perjalanan dengan bus kota atau angkutan umum. Begitu pula dengankeberadaan pasar sepeda GAPPSTA di jalan MT. HAryono. Pasar ini amat jaya diakhir tahun 60, penjualannya dealer bak sepeda motor dimasa ini.

Kegandrungan masyarakat pada sepeda bisa dilacak sejak masa Kolonial. Tidak perlu kandang atau pakan seperti kuda dan sapi. efisien dan cepat. Kereta angin begitu orang jadul alias jaman dulu menjulukinya. Merk-merk dagang yang popular antara lain Gazelle, Fongers, Sparta, Philips Goricke dan lain-lain.  

Dalam bahasa jawa, sepeda kayuh disebut dengan Pit. Besar kemungkinan kata Pit adalah pelafalan gagal dari kata Belanda untuk sepeda, Broemfiets. Negara ini memang punya andil yang besar dalam modernitas Yogyakarta, khususnya dalam bidang transportasi. Sepeda diperkirakan mulai familiar pada periode-periode masa tenang, seusai PD I.  

Pemakai awalnya tentu bukan pribumi biasa, melainkan para pejabat colonial, tentara, priyayi pegawai pamong praja, keluarga bangsawan atau misionaris. Saat teknologi semakin maju, sepeda motor dan mobil semakin mudah diakses, kaum elit kelas atas perlahan meninggalkan sepeda. Mereka "naik kelas" dengan membeli sepeda motor atau mobil. Kendaraan bermotor pun menjadi penanda baru bagi status sosial antara pribumi dan kelas atas. Menginjak ke tahun-tahun berikutnya, sepeda makin murah dan mudah diperoleh oleh berbagai kalangan hingga hari ini.

Mohammad Jamal Thorik dalam tulisannya Studi Banding Atas Sego Segawe (Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe) dan JLFR (Jogja Last Friday Ride) di Kota Yogyakarta (2015)  mengatakan bahwa tingkat penggunaan sepeda yang tinggi di Yogyakarta juga dipengaruhi oleh tata kota berbentuk compact, yaitu model pembangunan kota dengan pembangunan yang terkonsentrasi disatu wilayah. 

Tata kota seperti ini oleh Thorik dinilai cocok bagi moda transportasi tak bermesin dan pejalan kaki. Berbeda dengan decade selanjutnya, tahun 80 an pola pembangunan berubah menjadi non-compat yang mampu menampung bangunan fisik baru. Ring road atau jalan lingkar juga dibangun, mendorong pembangunan pusat-pusat aktivitas baru dan pemukiman sub urban.

Dimasa kontemporer, sepeda lebih banyak difungsikan sebagai alat olahraga dan penyalur hobi. Melihat peluang akan solusi dari kemacetan dan polusi, Pemerintah Kota Yogyakarta pernah meluncurkan program Sego Segawe, akronim dari Sepeda Kanggo Sekolah dan Nyambut Gawe sebelas tahun lalu (2008). 

Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah juga membuatkan infrasturktur tambahan berupa jalur khusus sepeda bermarka kuning, ruang tunggu sepeda ditiap lampu merah serta papan penunjuk jalur alternative sepeda dibanyak titik. Ketika infrastuktur sudah siap, apakah warga siap untuk ngepit dan berbagi ruang dengan pesepeda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun