Mohon tunggu...
Gabby Indrawati
Gabby Indrawati Mohon Tunggu... -

Calon CEO

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pembangunan Sesuai Karakteristik Wilayah Agar Kota Pelajar dan Pendidikan tak Sekedar Slogan Lawas

21 Januari 2019   23:03 Diperbarui: 22 Januari 2019   12:47 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Amemayu Hayuning Buwana menjadi slogan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selama sekian puluh tahun. Dipandang dari bahasanya, jelas ini berakar dari budaya Jawa yang kental. Terang saja sebab pada mulanya DIY adalah salah satu pecahan keraton Mataram yang masih eksis, baik secara tradisi juga politik. Dalam bahasa Indonesia, slogan ini berarti Memperindah Keindahan Dunia.

Sesuai dengan falsafah orang Jawa harus ikut menjaga dan melindungi dunia, baik lahir atau batin. Selain menyandang slogan itu, DIY juga diidentikkan dengan kota Pelajar dan pendidikan, kota Gudeg, Pariwisata dan lain sebagainya, tergantung dari mana akan dipandang. Kota Gudeg diambil atas kuliner khas, Gudeg atau masakan nangka muda bercita rasa manis. Kota Pariwisata tentu menggambarkan hidupnya industry pariwisata di provinsi ini.

Beragam obyek wisata yang telah melegenda: Keraton Jogja, Candi Prambanan, Gunung Merapi, jejeran pantai dan lain-lain. Julukan yang tak kalah popular adalah Kota Pelajar. Dalam akun instagramnya, calon anggota DPD Dapil DIY, Bambang Soepijanto merilis infografis mengenai kondisi pendidikan di Yogyakarta.

Terdapat 127 Perguruan Tinggi, institut, sekolah tinggi, akademik, dan politeknik. Data BPS menunjukkan hingga tahun 2015 ada sekitar 344.293 mahasiswa yang menuntut ilmu dan dididik oleh 8005 tenaga didik. Banyaknya mahasiswa turut menggerakkan pembangunan dan ekonomi provinsi ini. 


Hal ihwal kondisi ini dimulai puluhan tahun lalu. Kemerdekaan tidak serta merta membebaskan Indonesia dari usaha Belanda menduduki kembali negara muda itu. Diplomasi dan dukungan Sultan Hamengkubuwana XI terhadap perjuangan bangsa menarik simpati para founding father.

Menjadikan Yogyakarta sebagai ibu kota negara sementara, 1946-1949 sembari menunggu stabilnya kondisi politik Jakarta. Banyak pemuda yang tergabung dalam lascar-laskar pejuang datang ke kota ini guna membantu menjaga stabilitas keamanan. Seusai perang usai dan negara berangsur-angsur kokoh banyak dari mereka yang tidak kembali lagi ke daerahnya.

Untuk mendidik anak-anak muda, negara ini mulai mendirikan berbagai universitas, akademi dan institute. Perguruan tinggi dan sekolah-sekolah ini menurut sejarawan Djoko Soekiman semakin menjadi daya tarik pemuda-pemuda dari seluruh Indonesia untuk datang ke Yogyakarta.

"Pergeseran antara suasana perjuangan revolusi ke pendidikan benar-benar terasa pada tahun 1950 an, dari desingan peluru menjadi hilir mudik pelajar dan mahasiswa", ungkap Djoko yang dikutip Antara. Kota ini telah berhasil mempertahankan kondisi ini selama puluhan tahun. 

Jaman terus berlari, perubahan mau tak mau terjadi. Tirto.id mewawancarai Ardito Bhinadi dari Pusat Studi Ekonomi, Keuangan dan Industri UPN Veteran mengenai perubahan wajah Yogyakarta dalam konteks kota pelajar. Ardito menyebutkan gaya hidup mahasiswa Yogyakarta hari ini sudah jauh berubah dan mau tidak mau ikut mengubah degub kehidupan masyarakat.

Inflasi menyulap harga-harga menjadi lebih tinggi tiap tahun, ditambah lagi gaya hidup mahasiswa luar daerah, khususnya mereka yang punya kemampuan ekonomi tinggi mendorong para pelaku usaha mulai dari kafe, resto hingga Mall dan property sewa (indekos, apartemen) berlomba menanam benih bisnis di kota ini.

Pembangunan memang tidak bisa dielakkan. Suntikan modal akan terlalu naf jika ditepis. Namun jika diletakkan pada konteks Kota Pelajar dan Pendidikan, sayang rasanya jika pembangunan hanya dititikberatkan pada pembangunan mall, apartemen dan kafe-kafe mewah. Jika anggaran sebesar itu bisa dialokasikan, mengapa tidak membangun semakin banyak perpustakaan gratis dengan buku-buku lengkap atau ruang-ruang kreatif?

Ini permainan diranah pemegang modal, ranah elitis. Perlu ada tokoh-tokoh atau pemimpin yang punya visi tentang bagaimana kota ini mesti dibangun. Visi ini dimiliki oleh calon anggota DPD RI dapil DIY nomer 24, Bambang Soepijanto. Bambang punya gambaran besar untuk merawat kesitimewaan Jogja dengan pembangunan yang sesuai karakter.

Jika kota ini ingin terus melestarikan julukan dan semangat pendidikan, perlu ada perombakan besar pada pandangan dan orientasi pembangunan. Lebih jauh lagi, Bambang Soepijanto juga siap menjadi abdi dalem masyarakat yang Ngayomi, Ngayemi dan Ngayani.

bambangsoepijanto
bambangsoepijanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun