Mohon tunggu...
Gabby Indrawati
Gabby Indrawati Mohon Tunggu... -

Calon CEO

Selanjutnya

Tutup

Money

Menyisihkan Ruang bagi UMKM di Antara Gemerlap Bandara Baru

15 Januari 2019   15:53 Diperbarui: 15 Januari 2019   16:03 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah Satu pariwara jalanan yang menarik perhatian saya beberapa waktu ini adalah tawaran kapling-kapling tanah. Iklannya kecil saja, tidak ada Bahasa persuasive yang jadi ciri khas iklan. 

Tampaknya sang pemasang cukup percaya diri dengan barang dagangannya, sehingga iklannya hanya butuh seulas gambar rumah dan secarik narasi pendek. 

"Jual kapling tanah mulai 600 rb an per meter. Lokasi dekat bandara baru. Hubungi xxxx". Rupanya iklan tadi tidak berdiri sendiri. Iklan serupa saya temukan lagi beberapa kilometre kemudian. Keberadaan NYIA meski masih setengah jadi rupanya memikat banyak pihak, terutama para pemain dalam bisnis jual beli tanah dan property.

Iklan mengenai tanah kapling disekitar NYIA mengindikasikan potensi ekonomi yang cukup besar. Tanpa ragu-ragu gemerlap potensi NYIA dipasang jauh-jauh hari sebelum fasadnya jadi, juga dipasang puluhan kilometer jaunya dari Kulon Progo. 

Portal berita Tirto.id pada Agustus 2018 juga menurunkan laporan mengenai larisnya jual beli tanah di sekitar bandara yang harganya amat kompetitif, mulai dari puluhan ribu per meter persegi untuk tanah di tengah perkampungan, hingga ratusan ribu per meter. 

Tanah-tanah itu menurut laporan Tirto banyak dibeli orang luar Jogja  sebagai bentuk investasi atau para pengembang perumahan. Padahal sebelumnya Kabupaten Kulon Progo bukan menjadi tujuan favorit pembangunan dibandingkan Kabupaten Sleman dan Bantul. 

Fenomena ini sejatinya tak baru sebab sejarah mencatat pembangunan proyek punya jalinan erat dengan aktivitas ekonomi, begitu juga sebaliknya.

Menurut Fernand Braudel (1983, vol 2: 140), terbentuknya rangkaian jalur perdagangan (trade circuit) yang ditunjang oleh pertumbuhan sarana transportasi merupakan salah satu aspek penting bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di suatu kawasan. 

Adanya saling ketergantungan antara kebutuhan akan ketersediaan komoditas perdagangan serta pasar yang menjadi ruang dalam transaksi jual beli di dalam rangkaian jalur perdagangan ini telah menciptakan kemakmuran dan kemajuan pada pusat-pusat perdagangan yang terdapat dalam suatu rangkaian jalur perdagangan.

Pembangunan infrastruktur atas dorongan ekonomi Hindia Belanda pernah dibahas Gregorius Andika dalam tulisannya Aktivitas Ekonomi dan Perdagangan di Karesidenan Lampung Pada Periode 1856 Hingga 1930 (2018). 

Ia memaparkan bahwa pada periode 1856 hingga 1930, wilayah Lampung menjadi primadona baru penghasil komoditas ekspor bagi Hindia Belanda: Lada, Kemenyan, Kopi, Kopra, kayu hutan dan lain-lain. Tingginya aktivitas bisnis dikawasan ini mendorong Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, melalui Karesidenan Lampung membangun jalur transportasi yang lebih baik. 

Sebelumnya sepanjang abad 19 para pedagang memanfaatkan jalur sungai Tulang Bawang untuk mengangkut hasil bumi. Transportasi melalui sungai mulai ditinggalkan pasca dibukanya jalur Timur Lintas Sumatera juga jalur kereta api dari Teluk Betung ke Muara Enim. 

Begitu pula yang terjadi di Jawa di abad 19. Dimana hasi bumi di Jawa yang melimpah tidak sebanding dengan infrasturktur ekonomi yang efisien menuju pelabuhan. Selama ini hasil bumi hanya bisa diangkut dengan gerobak sapi dan memakan waktu berhari-hari. Kereta api menjadi solusinya.

Jika tren jual beli tanah yang pasti disusul dengan macam-macam pembangunan ini terus berlangsung, dapat dipastikan desa-desa di seputaran NYIA akan lebih ramai. Terlebih lagi rencana pemerintah untuk membangun NYIA dengan konsep Airport City. Bandara menjadi pusat keramaian yang kemudian disokong dengan berbagai fasilitas pelengkap. 

Hotel, pemukiman, arena kuliner, persawahan dan lain sebagainya. NYIA juga akan mendorong integrasi angkutan darat dari dan menuju bandara. Fasilitas-fasilitas ini yang diprediksi terwujud dalam beberapa tahun mendatang. Yang menjadi persoalan kemudian adalah seberapa besar pembangunan NYIA melibatkan warga sekitar, khususnya keberadaan UMKM dan pelaku bisnis local. 

Sebagai data tambahan, Kabupaten Kulon Progo memiliki banyak Usaha Menengah Kecil Menengah (UMKM). Dilansir dari web Rumah UMKM Kulon Progo, masyarakat telah secara kreatif mengolah hasil bumi menjadi aneka makanan seperti Emping, Keripik, Geblek, Bakpia hingga kerajinan Daun Pandan dan Tenun.  

Angkasa Pura kemudian bisa berkaca pada langkah Jasa Marga untuk membuka ruang 30% di tempat-tempat peristirahatan atau rest area bagi UMKM di tujuh jalur Tol Trans Jawa. Sehingga jangan sampai perputaran ekonomi yang terjadi disekitar NYIA hanya dinikmati pemodal besar dan terbatas melulu pada bisnis tanah dan property.

Dokpri
Dokpri
Salah satu tokoh yang peduli dengan UMKM Kulon Progo adalah Bambang Soepijanto. Ia sedang mempersiapkan diri untuk bertarung memperebutkan kursi DPD pada Dapil DIY. Dalam sebuah kesempatan diskusi bersama warga Kulon Progo yang juga diunggahnya di akun youtube  ia mendukung usaha warga. 

Bambang mengibaratkan UMKM selaksa sekoci pada bahtera perekonomian. Sekoci-sekoci ini lah yang bisa menyelamatkan ekonomi bahkan tingkat makro sekalipun. Buah pikirannya ini tentu selaras dengan jargon yang ia usung, yaitu DPD bagi rakyat, atau DPDnya wong cilik. Yang bersimpati dan mengakomodir kepentingan rakyat.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun