Pulang dari sekaten kurang lengkap jika belum membawa oleh-oleh kapal "Otok-otok". Kapal mainan berbahan aluminium atau kaleng yang dicat berwarna-warni. Nama Otok-otok diambil dari bunyi kapal saat melaju diatas baskom air. Suara otok-otok jugalah yang menarik anak-anak untuk datang dan memiliki.
Semaraknya Sekaten kini sayangnya mulai menggeser esensi syiar dengan sebatas pencarian hiburan. Waktu adalah sebuah kepastian, begitu juga dengan jiwa zaman yang tak bisa terus sama. Mempertahankan budaya dan tradisi bisa jadi mudah, namun belum tentu esensinya tetap sama.
Perlu ada pemaknaan kembali nilai-nilai sambil tetap mencari formula seimbang dimana hiburan, tradisi dan nilai-nilainya bisa terus bermakna dan kontekstual. Inilah tantangan bagi kota berpredikat Budaya, Wisata, dan Pendidikan ini. Hemat saya, perlu ada sosok yang punya kepedulian tentang isu-isu ini.
Bambang Soepijanto, calon anggota DPD RI mewakili DIY adalah sosok yang peduli dengan kebudayaan Yogyakarta. Meskipun tidak besar dan lahir di Jogjakarta, mantan Dirjen Planologi Kehutanan dan Staff Menteri PAN-RB ini sudah menganggap Jogjakarta, dengan segala seluk beluk nya menjadi kota kelahirannya yang kedua.
Bambang Soepijanto kiranya memahami bahwa provinsi ini dibentuk dari kejayaan masa lalu, penuh dengan tradisi dan keistimewaan. Alasan ini lah yang mendorong Bambang Soepijanto menyusun visi merawat keistimewaan Yogyakarta melalui pembangunan sesuai dengan karakteristik wilayah.Â
Tentu rasanya pas bila memandang Jogja yang sekarang, khususnya perayaan Sekaten yang makin tipis nilai syiar dan tradisi dibandingkan dengan porsi hiburan. Bagaimana pun Sekaten, keraton, serta tradisi Mauludan adalah milik rakyat. Namun rakyat tetap butuh pemimpin yang mampu mengarahkan akan kemana ini berjalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H