Mohon tunggu...
G A Siswoko
G A Siswoko Mohon Tunggu... -

the free man is a man who live in truth

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenangan lama Pemilu (1997)

24 Maret 2014   21:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingat betul ketika dulu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), pemilihan umum atau Pemillu adalah peristiwa yang kami tunggu-tunggu. Bukan karena siapa calon presidennya, karena bagi kami apapun yang terjadi presiden tetap Pak Harto. Bukan pula karena siapa calon anggota legislatifnya, karena pada saat itu Pemilu begitu simpel, cuma mencoblos gambar partai saja. Bukan pula intrik-intrik politik atau orasi para petinggi partai. Sebagai anak SD yang kami tunggu hanya satu, kampanye.

Pada waktu itu, setiap sepulang sekolah, kami berkumpul di pinggir jalan besar, menyoraki dan ikut mengacung-acungkan jari ketika mas dan bapak-bapak peserta kampanye lewat. Saat itu, sepeda motor belum sebanyak sekarang, sehingga masih banyak peserta kampanye yang naik sepeda atau becak. Walaupun mayoritas naik truk bak terbuka.

Walau hanya anak SD, kami hafal persis nama dan lambang plus nomor urut tiap OPP (Organisasi Peserta Pemilu). Nomor urut satu berarti PPP yang pada waktu itu masih berlambang bintang. Nomor urut dua Golkar yang selalu menang besar. Nomor urut ketiga, PDI, yang tiap kampanye pasti diikuti peserta paling banyak, tapi selalu kalah.

Bagi kami, biarpun Pemilu atau tidak, tidak pernah ada perubahan berarti. Presiden tetap Pak Harto, harga beras masih dua ribuan per kilo, tahun pelajaran terbagi menjadi cawu (catur wulan) bukannya semester dan kami tetap harus rajin belajar, agar bisa bikin pesawat terbang seperti Pak Habibie, atau bisa jadi tentara seperti Pak Prabowo.

Jelas kami tidak tahu kalau guru-guru kami akan dipecat jika memilih PDI, teman-teman kami di Irian Jaya masih terbelakang dan hidup bagaikan di zaman kolonialisme, Haji Buya Ismail Hasan Meteraum diancam ditembak kepalanya karena berani berniat maju jadi calon presiden, para pendukung Bu Mega diculik Kopassus, dan kakak-kakak Mahasiswa banyak yang dipenjara karena berani demo.Hal yang ada di pikiran kami, Pemilu itu seperti sebuah kewajiban, karena begitu yang ditulis di UUD 1945 yang asli. Harus JURDIL dan LUBER serta semua harus membantu menyukseskan. Bagi yang tidak mau ikut, berarti dia pengikut Sri Bintang Pamungkas, para pengacau dan anggota GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), antek Fretelin, sisa-sisa PKI atau pemberontak yang ingin mengganti Pancasila.

Mungkin tidak hanya kami, tapi semua anak SD waktu itu sangat mencintai Pancasila. Sebelum masuk kelas, kami berbaris di depan, dan ketua kelas akan memimpin untuk membacakan Pancasila bersama-sama. TVRI dan RRI juga memulai siaran dengan menyajikan lagu Indonesia Raya. Di sekolah, selain PMP (Pendidikan Moral Pancasila), semua pelajaran kecuali matematika selalu mengajarkan bahwa anak yang baik adalah anak yang mengamalkan Pancasila.

Pancasila begitu dekat dengan kami. Seolah-olah itu selalu berada di tengah-tengah kami; waktu kami bermain, ketika kami membaca buku, atau pada saat menonton Keluarga Cemara di RCTI. Pancasila disampaikan secara sederhana dan kami bisa begitu mengingatnya hanya dengan dua kata: terpuji dan tercela.

Pancasila mengajarkan kami untuk hormat kepada Merah-Putih, hafal 7 pahlawan revolusi yang katanya dibantai PKI, menyisihkan uang jajan untuk tabungan di sekolah, menggunakan Rupiah dan membenci Dolar, menyayangi teman walau berbeda agama, mengutuki GAM, OPM, RMS, PRD, Fretelin, Budiman Sudjatmiko, Pramudya Ananta Toer, Xanana Gusmao dan para pemberontak jahat lainnya. Termasuk Ibu Megawati. Khusus yang terakhir, kami ragu, soalnya walau orang tua kami pasti mencoblos Golkar, tapi kami semua pasti memiliki poster Ibu Mega. Atau minimal bangga jika disebut Pro-Meg. Begitupula orang tua kami.

Tentu pada saat itu kami belum tahu jutaan orang pendukung Pak Karno tewas terbunuh, Tomi dan Mbak Tutut bergelimang harta karena korupsi, Harmoko sukanya nakut-nakutin SCTV sama RCTI, Om Japto dan anak-anak jenderal hobi balapan liar sama bikin geng, tim sepak bola kena suap dan jadi tertawaan seluruh dunia selama bertahun-tahun, Marsinah diperkosa sebelum dibunuh, siaran pembangunan di pedalaman itu cuma omong kosong, hutan di Kalimantan sedang terbakar hebat, dan anak-anak di Larantuka mati kelaparan.

Kami memang anak SD dan kami suka lihat iring-iringan kampanye. Pada waktu itu demonstrasi berarti hukuman mati. Jadi selain tujuh belasan sama lima oktoberan (Hari ABRI), kami jarang lihat orang-orang pawai di jalan-jalan. Biarpun Golkar yang selalu menang, kami suka lihat kampanye dan Pemilu adalah saat yang di tunggu. Kami tidak tahu dan tidak perlu tahu harga saham, kurikulum yang akan berubah atau siapa yang akan jadi menteri setelah Pemilu. Karena yang ada di pikiran kami, Pemilu berarti pesta buat lihat orang-orang di jalanan. Teriak-teriak sambil menyebut nama Megawati, kesana-kemari membagikan bungkusan mie yang ada gambar beringin atau pak kiai di atas truk mengajak berdoa bersama.

Pemilu ya Pemilu. Rame-rame di jalan, trus bersama-sama mencopot bendera PDI atau PPP yang memang cuma sedikit, lalu ke bilik nyoblos beringin. Setelah itu tunggu lima tahun lagi. Paling yang berubah gambar Pak Try Sutrisno diganti wajah pak Habibie. Foto pak Harto ada terus. Bahaya kalau tidak ada.

Itulah kenangan pemilu waktu aku SD. Jelas berbeda dengan keadaan sekarang, mengingat semua hal punya zamannya masing-masing. Berhubung dulu ada di zaman Orde Baru ya seperti itu, dan karena sekarang di zaman Partai Demokrat ya seperti ini.

Sayangnya kok ada yang aneh. Tidak ada GBHN, Dewan Pertimbangan Agungga tau kemana, BP7 juga lenyap. Malah muncul DPD, KY, MK, dan lain-lainnya. Oh ya, Pancasila rasanya semakin luntur ya? Banyak gereja di bakar dan disegel, saudara yang menganut Syiah dan Ahmadiyah diusir dari rumahnya sendiri, Poso dan Ambon membara, Madura dan Dayak saling bantai, PMP diganti PKn, banyak sekolah tidak menyelenggarakan upacara penurunan bendera, jumlah provinsi berganti-ganti tidak jelas, ustad sama kiai selingkuh, polisi ditangkap, hakim disidang, jaksa dituntut, apa-apa semakin mahal, satelit Palapa entah masih ada atau enggak, banyak mall pake nama inggris-inggrisan dan SPBU berlambang Petronas makin menjamur, TVRI enggak laku, Asuransi Bumiputera nyaris bangkrut, Rupiah melorot terus.Apa karenazaman sudah berubah sehingga Pancasila sudah tidak dibutuhkan lagi? Atau sengaja dihilangkan? Hmm......semoga semua bisa terjawab setelah Pemilu. Mungkin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun