Mohon tunggu...
Irfani Zukhrufillah
Irfani Zukhrufillah Mohon Tunggu... Dosen - dosen

seorang ibu dua anak yang sedang belajar mendidik siswa tak berseragam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Setop! Perihal Rumah Tangga Bukanlah Konsumsi Publik

30 September 2018   04:29 Diperbarui: 30 September 2018   06:06 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Suatu sore, seorang ibu muda sedang bersantai di depan rumahnya. Tidak lama berlalu lah seorang ibu muda lain, tetangga, berjarak beberapa rumah, sedang menuntun anaknya yang mulai aktif-aktifnya. 

Si ibu pemilik rumah pun menyapa. Menawari untuk sekedar minum teh. Dan tersebab kebiasaan, si ibu dengan anaknya pun mampir. Berkata hanya sebentar saja. Terburu kembali pulang agar dapat memasak untuk menyambut suaminya pulang. 

Dua orang perempuan ibu muda duduk bersama. Awalnya membahas tumbuh kembang anak. Apa yang sudah anak-anaknya mahir lakukan. Meminta saran dan tips sebab anaknya rewel makan. Atau sekedar sharing tentang bumbu masakan. 

Namun perbincangan tersebut sudah dibahas di hari-hari yang lalu. Oleh karenanya, selang 30 menit berikutnya perbincangan sudah berganti topik. 

Awalnya tentang suami yang sering pulang telat. Lalu semakin lama semakin dalam. Hingga (mungkin) urusan kamar dibawa-bawa. 

Tentang suami yang datang kerja-makan-tidur tanpa sedikitpun bercengkerama dengan anak istri. Uang belanja yang pas-pasan. Mertua yang banyak menuntut. Teman suami yang nampak keganjenan. Dan jika kedekatan itu akrab, maka tidak segan muncul cerita tentang si suami 'lemas-puas-nagih' dan lainnya. 

Dan jangan heran jika perbincangan itu akan berakhir menjelang maghrib. Lalu si ibu lupa bahwa ayam mentahnya masih teronggok manis di dalam kulkas.

***

Itu gambaran kejadian di masyarakat. Tidak jarang kita temui para ibu berbincang sore di sekitaran gang kompleks. Atau sekedar duduk-duduk menunggu anak-anaknya mengaji sembari berbagi cerita. 

Perempuan memang memiliki kebutuhan untuk menyalurkan ribuan kata dalam sehari. 

Jika ia seorang ustadzah, maka ribuan itu akan berakhir manfaat dan terbuang begitu saja dengan cepat. Tapi bagaimana jika ia hanya seorang ibu dan istri. Ribuan kata itu akan berakhir di rumah tetangga, di balai desa saat pelatihan. Di teras sekolah TK. Di wa group alumni ini-itu. Atau malah lebih parahnya berakhir di rumah saja. Menyesaki telinga anak dan suaminya. 

Menjadi ibu jelas tidak mudah. Perasaan stres berlebih akan semakin mengacaukannya. Pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Anak-anak yang tidak bisa membereskan mainannya sendiri. Dan bahkan suami yang dirasa selalu kurang dan tak perhatian. Hanya perhatian saat 'butuh'.

Tapi, menceracau tentang kehidupan pribadi di depan publik jelas bukan solusi.

Bayangkan suatu hari cerita tentang pasangan kita menjadi topik hangat di kampung. Tentang suami kita yang suka malas membantu urusan rumah. Atau suami yang uang belanjanya pas-pasan. Bahkan lebih parah jika urusan suami yang jarang 'menyentuh' akibat 'loyo' duluan.

Sampai batas mana kita bisa menghalangi cerita itu semakin menyebar? Lalu suatu waktu sampai di telinga suami. Atau bahkan mertua dan orang tua.

Bisa lebih parah lagi, cerita beberapa tahun lalu masih saja menjadi obrolan malam bagi ibu-ibu pengajian di kampung sebelah.

"Eh ternyata Bu Malika itu kasian lho. Suaminya ga perhatian. Ga pernah bantu urusan rumah. Apalagi ikut didik anak. Sudah gitu belanjanya kurang lagi. Aduuuuhhh... gitu kok mau ya bertahan dengan suami macam itu. Kalau anak saya yang seperti itu, Uhm.. sudah saya suruh cerai saja."

Daaaaannnn semakin banyak nyinyiran lain yang jelas semakin menambah keruwetan hidup kita.

STOP!!

Berhenti untuk menceritakan kehidupan rumah tangga. Sebab sebenarnya itulah 'makanan' yang paling dicari orang. 

Kalaulah butuh tempat curhat, curhat lah kepada Allah. Atau kepada seseorang yang santun dan tahu betul bahwa rumah tangga adalah rahasia keluarga. 

Yang pasti, curhat lah untuk mencari solusi. Bukan justru menambah sensasi. 

Sebab kita tidak pernah bisa mengekang pikiran orang lain tentang kita. Lebih tidak menyenangkan jika mereka hanya berpikiran buruk saja.

Jika butuh penyaluran ribuan kata? Buat saja dongeng di kompasiana. Setidaknya menulis (yang bukan curhat) juga bisa menjadi solusi ke-perempuan-an.

Selamat mencoba

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun