Mohon tunggu...
Ge
Ge Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger/Penulis

Blogger dan penulis yang suka membaca dan menonton. Suka menulis cerita fiksi, puisi-prosa (sirosa), opini, resensi dan banyak lagi. Tertarik pada intrik-intrik politik dan berbagai macam gosip yang bisa memperkaya cerita. Anti hoaks dan anti intimidasi. Menyalurkan hobi gambar dan ilustrasi di Instagram.com/gambarable. Ngetuit di X.com/gesiahaya. Ngeblog di gratcianulis.blogspot.com dan berbagi tips menulis fiksi di kampungfiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen Adaptasi) Petisi Para Nabi

28 Desember 2024   12:37 Diperbarui: 28 Desember 2024   20:12 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petisi Para Nabi adalah Adaptasi Modern Cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin (1968, Majalah Sastra)

***

Surga, yang biasanya tenang, kini dipenuhi oleh kegelisahan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Di ruang yang dilapisi permaidani sutra, dengan dinding yang terbuat dari kristal-kristal langit, para nabi dan pemimpin spiritual yang telah lama meninggalkan dunia kini merasakan kerinduan yang tak tertahankan untuk kembali ke bumi. Mereka adalah sosok yang telah melalui segala penderitaan dan pengorbanan, namun kini kebahagiaan yang melimpah terasa hampa, seolah hanya sebuah ilusi yang menipu jiwa.

Mereka telah menghabiskan berabad-abad dalam keabadian, namun hati mereka, seperti pohon yang lama tak diberi air, mulai layu. Tidak ada lagi perjuangan yang mengisi hari-hari mereka; tidak ada lagi umat yang membutuhkan petunjuk mereka. Petisi pun disusun dalam sekejap, bukan dengan tuntutan, tetapi dengan permohonan lembut yang menandakan keputusasaan yang tersembunyi.

"Ke bumi, kami mohon! Cuti dari segala kebahagiaan ini," tulis mereka. "Kami ingin merasakan kembali kegelisahan yang memicu pencarian kebenaran. Kami ingin melihat dunia yang penuh dengan kebingungannya sendiri, dunia yang terperangkap dalam teknologi, yang semakin cepat maju namun semakin kehilangan arah."

Petisi itu, dengan segera, tiba di hadapan Tuhan, yang saat itu sedang duduk di takhta yang memancarkan cahaya. Wajah-Nya yang biasanya penuh kasih kini dihiasi senyum penuh kebijaksanaan, namun ada rona kesedihan yang menyelimuti. "Apa yang kurang di Surga ini?" Tuhan bertanya. "Semua sudah ada, dari sungai madu hingga pohon buah emas. Kenapa kau merasa kurang?"

Namun, meskipun segala kemewahan yang tak terhingga itu ada di sekeliling mereka, para nabi merasa hampa. "Kami tidak meminta lebih dari ini, Tuhan," kata mereka, "hanya kesempatan untuk merasakan kembali kerumitan dunia yang penuh dengan pencarian dan pertanyaan yang tak terjawab. Kami ingin pergi ke tempat yang penuh dengan kebingungan dan pertentangan ideologi. Kami ingin melihat dengan mata kepala sendiri dunia yang dikuasai oleh teknologi dan perpecahan."

Setelah mendengar permohonan itu, Tuhan hanya mengangguk pelan. "Pergilah, maka kalian akan melihat dunia yang telah berubah. Tetapi berhati-hatilah. Di sana, umatmu tidak lagi seperti dulu. Mereka terperangkap dalam dunia yang menganggap dirinya bebas, padahal mereka terbelenggu oleh teknologi dan ideologi yang kosong."

Dengan perasaan campur aduk, salah satu pemimpin spiritual yang paling dihormati, yang dikenal dengan nama Zarathustra, mengucapkan kata-kata terakhir. "Saudaraku, perjalanan ini adalah titik balik. Semoga apa yang kita lihat di dunia yang terperangkap ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Mungkin, jika kita tidak bisa menyelamatkan mereka, setidaknya kita bisa memberi mereka secercah cahaya."

Bersama dengan para sesepuh lainnya yang lebih dahulu mencapai kedamaian, sang pemimpin menaiki Gryphor, makhluk mitologi yang kini dilengkapi dengan teknologi teleportasi. Ia terbang, bukan dengan sayap biasa, tetapi dengan kecepatan yang menembus ruang dan waktu. Kecepatan yang jauh melampaui apa yang bisa dibayangkan oleh umat manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun