Mohon tunggu...
Ge
Ge Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger/Penulis

Blogger dan penulis yang suka membaca dan menonton. Suka menulis cerita fiksi, puisi-prosa (sirosa), opini, resensi dan banyak lagi. Tertarik pada intrik-intrik politik dan berbagai macam gosip yang bisa memperkaya cerita. Anti hoaks dan anti intimidasi. Menyalurkan hobi gambar dan ilustrasi di Instagram.com/gambarable. Ngetuit di X.com/gesiahaya. Ngeblog di gratcianulis.blogspot.com dan berbagi tips menulis fiksi di kampungfiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Film

City of God (2002): Ketika Kamera Menjadi Senjata Untuk Bertahan Hidup

11 Desember 2024   12:25 Diperbarui: 12 Desember 2024   08:08 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
City of God. Sumber: Grove Atlantic

Sebelum kita mulai, here's your spoiler alert! Artikel ini akan menceritakan ulang film City of God (2002) secara mendalam, jadi kalau belum nonton, siap-siap ya. Tapi justru itu tujuan saya: membuat kalian bisa 'merasakan' film ini hanya lewat tulisan ini. Bonusnya? Semoga kalian jadi penasaran untuk nonton atau malah ingin diskusi—apakah pengalaman kita soal film ini sama atau justru beda jauh? Menarik kan?  ...Jadi, kalau nanti kita ternyata punya pandangan yang sama soal film ini, ya mungkin kita emang ditakdirkan untuk nyambung, nggak cuma soal film aja sih... #Eaaa..

Oh, fun fact! City of God awalnya adalah novel (semi-otobiografi) karya Paulo Lins, terinspirasi dari kisah nyata di daerah kumuh Rio de Janeiro. Novel ini sukses besar sebelum akhirnya diadaptasi menjadi film yang jadi salah satu karya sinematik terbaik sepanjang masa.

City of God: Sebuah Kisah Brutal di Tengah Kekacauan

Opening Scene: Seekor Ayam, Sebuah Pilihan

Film City of God dibuka dengan sebuah adegan yang sangat menggugah: seekor ayam yang panik berlari di lorong-lorong sempit favela, dikejar oleh geng bersenjata. Suasana riuh penuh asap masakan, musik, dan teriakan warga mengisi latar belakang. Di tengah kekacauan itu, ada Rocket, yang terjebak di antara dua kekuatan: geng yang mengejar ayam dan polisi yang bersiap menembak. 

Freeze frame. 

Rocket, dengan suara narasi khasnya, berkata: "Gue nggak pernah minta hidup di tempat kayak gini, tapi ya beginilah. Lo nggak pilih lahir di mana, tapi lo bisa pilih gimana lo bertahan." 

Buscape/Rocket. Sumber: EveryMovieHasALesson
Buscape/Rocket. Sumber: EveryMovieHasALesson

Rocket memegang sebuah kamera, bukan pistol. Dan di sinilah letak perbedaannya: di dunia yang memaksa orang memilih antara menjadi pemburu atau yang diburu, Rocket memilih menjadi pengamat. Dan pilihan itu—sesederhana kamera—adalah senjata yang bakalan menyelamatkan hidupnya.

Throwback: Masa Kecil Rocket di 60-an

Kisah mundur ke masa ketika City of God baru dibangun. Lingkungan ini awalnya tampak penuh harapan. Warga mulai hidup baru, berjuang mengatasi kemiskinan. Rocket kecil, yang bercita-cita jadi fotografer, sering memotret kehidupan di sekitarnya dengan imajiner, menjadikan setiap momen di favelanya seperti cerita dalam majalah. 

Namun, lingkungan sekitarnya penuh dengan pengaruh gelap. Rocket sering mengamati kakaknya Goose dan teman-temannya, The Tender Trio (Trio Keren), yang mulai main kejahatan kecil-kecilan: ngerampok truk gas, ngejebol toko kecil. Mereka seperti Robin Hood modern---ngambil dari yang punya, bagi ke yang nggak punya.

Tapi nggak semua hal berjalan mulus. 

Lil Dice
Lil Dice

Trio ini ketemu Lil Dice, bocil yang diem-diem ternyata sadis banget. Ketika Dice usul buat merampok motel, semuanya setuju, mereka pikir bakal jadi aksi biasa. Ternyata, Dice membantai semua orang di motel itu. Adegan pembantaian ini bikin semua orang sadar: bjir! ada level kekejaman baru di City of God. 

Dice bukan hanya bocil alay biasa; dia adalah monster yang menunggu giliran untuk menguasai favela.

Lil Dice dan Benny di masa kecil
Lil Dice dan Benny di masa kecil

Lil Z Naik Tahta

Fast forward ke 70-an. Lil Dice udah berubah jadi Lil Z, raja baru favela. Dia nggak main-main. Semua saingannya dihajar habis, geng lain dibasmi. Dia bukan cuma brutal, dia gila kontrol. Bareng Benny, sahabatnya yang chill dan jadi wingman, mereka nguasain bisnis narkoba di City of God. 

Tapi kalau Lil Z itu chaos, Benny justru jadi penenang, orang yang bikin semuanya balance. Benny adalah sosok yang selalu membuat kekacauan sedikit lebih terkendali. Bahkan warga favela lebih suka sama Benny. Sayangnya, meskipun Benny lebih disukai oleh warga, dia tetap terjebak dalam dunia kekerasan yang ada. 

Lil Z dan Benny
Lil Z dan Benny

Sementara itu, Rocket, yang pengen jauh dari dunia kriminal, tetep stuck di favela. Dia nggak cukup miskin buat nyerah, tapi juga nggak cukup kuat dan berani buat lawan arus. Mengamati hidup Rocket di film ini terasa kayak dia  sedang jalan di atas seutas tali---setengah mati menjaga keseimbangannya supaya nggak jatuh, mencoba terus bertahan dan tetap menjaga mimpinya untuk jadi fotografer.

Sementara Lil Z naik ke puncak kekuasaan melalui darah dan peluru, Rocket berjuang keras untuk menjauh dari kekerasan itu. Di lingkungan di mana pistol menjadi simbol kekuatan, Rocket memegang kamera sebagai satu-satunya pelariannya. Kamera, baginya, bukan hanya alat, tetapi satu-satunya harapan untuk keluar dari sistem yang menghancurkan.

Rocket mengambil pekerjaan kecil untuk mendekati dunia fotografi. Dia memotret segala hal, dari anak-anak yang bermain hingga pemandangan brutal sehari-hari. Fotografi adalah caranya memahami dunia tanpa terserap oleh kekacauan di dalamnya. Namun, kamera juga membuatnya rentan. Ketika dia memotret Lil Z dan gengnya, hasil jepretannya membawa risiko besar sekaligus peluang emas.

Cinta, Tragedi dan Kamera Yang Menyelamatkan

Di tengah cerita, Benny memutuskan untuk pensiun dari dunia kriminal demi cinta. Tapi seperti kata Rocket, "Di City of God, nggak ada yang dapet ending bahagia." Benny mati di pesta perpisahannya sendiri, ditembak dalam kekacauan yang melibatkan Ned, musuh Lil Z. Dengan kematian Benny, perang besar pun pecah antara Lil Z dan Ned.

Rocket terus bertahan dengan kameranya. Dia berhasil memotret momen paling berbahaya—Lil Z bersama gengnya. Foto ini akhirnya masuk koran besar, bikin nama Rocket melejit. Tapi ini juga berarti nyawanya ada di ujung tanduk. Kamera yang jadi penyelamatnya, sekaligus bisa jadi penyebab kematiannya.

Perang Besar di City of God: Siapa Pemenangnya?

Favela berubah jadi arena perang. Anak-anak kecil bersenjata berlarian di gang sempit kayak adegan GTA, tapi ini semua nyata dan mengerikan. Di puncak konflik, Lil Z akhirnya kalah, bukan oleh Ned, tapi oleh anak-anak geng baru yang haus kekuasaan. 

Rocket
Rocket

Ending: Kekerasan yang Nggak Ada Habisnya

Rocket, sambil memotret mayat Lil Z, memberikan narasi penutup yang mengerikan: "Gue nggak tau apa yang lebih menakutkan: Lil Z, Ned, atau anak-anak kecil ini. Mereka yang bakal jadi raja berikutnya. City of God nggak berubah, cuma nama rajanya aja yang ganti."

Rocket berhasil keluar dari favela dengan kameranya, namun meskipun dia sudah pergi, suara tembakan masih terdengar dari kejauhan.

Kesimpulan: Nyata dan Brutal

City of God bukan hanya cerita tentang geng atau kejahatan. Ini adalah cerita tentang nasib, pilihan, dan bagaimana sebuah impian kecil, seperti menjadi fotografer, bisa menjadi senjata untuk bertahan hidup. Rocket mengajarkan kita bahwa, meskipun hidup di tengah kekacauan, ada cara untuk keluar, asalkan kita cerdas dalam memanfaatkan kesempatan yang datang.

Mari kita bahas gimana ceritanya kalo "City of God" ini kita lihat dengan kacamata ala Sartre: Eksistensialisme di Tengah Kekacauan

Bayangin ini dulu: kamu lahir di dunia tanpa privilege. Rumahmu di gang-gang sempit, tetanggamu geng kriminal, dan masa depanmu? Gak lebih dari statistik anak muda yang entah mati ditembak atau masuk penjara. Ini bukan hidup yang kamu pilih, tapi yang kamu dapet. Pertanyaannya: gimana kamu bikin pilihan di dunia yang udah nggak ngasih kamu pilihan dari awal?

Itulah kenapa filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre bisa ngejelasin vibes City of God. Sartre bilang, "Existence precedes essence." Artinya, kita nggak dilahirkan dengan "takdir." Kita cuma ada, titik. Pilihan kita---dan konsekuensinya---yang bikin siapa kita sebenarnya. Jadi, meskipun Rocket lahir di tengah kekacauan, dia punya tanggung jawab penuh buat ngontrol hidupnya. Tapi masalahnya, apa benar Rocket bebas?

Lil Z, Rocket, dan Kebebasan yang "Fake"

Menurut Sartre, kebebasan adalah esensi manusia. Tapi kebebasan itu nggak berarti "gw bisa ngelakuin apa aja." Sebaliknya, kebebasan itu penuh dengan beban. Contohnya, Lil Z. Dia "bebas" buat jadi penguasa favela. Dia pilih jalan itu, tapi konsekuensinya? Dia terjebak di siklus kekerasan yang dia ciptain sendiri. Lil Z adalah contoh ekstrem dari kebebasan tanpa tanggung jawab, yang Sartre sebut sebagai "bad faith."

Rocket, di sisi lain, adalah simbol perjuangan eksistensial. Dia nggak mau jadi kriminal, tapi juga nggak cukup kuat buat langsung keluar dari favela. Dia terus bergerak, mencoba bertahan dengan caranya sendiri: fotografi. Keputusan Rocket buat motret Lil Z adalah momen "kebebasan Sartrean" sejati. Dia akhirnya memilih---bukan cuma lari dari kekacauan, tapi menghadapi dan mengubah hidupnya.

Gimana kalau kita senggol sedikit kondisi di negri tersayang ini?

Eksistensialisme vs. Realita di Indonesia

Sekarang, coba lihat relevansinya ke Indonesia. Kalau kita bicara soal daerah kumuh, kekerasan, dan ketimpangan, Indonesia punya versi City of God sendiri: kampung-kampung yang dipinggirkan, urbanisasi yang nggak terencana, sampai anak-anak jalanan yang hidup tanpa akses pendidikan. Apakah mereka punya kebebasan buat milih jalan hidup mereka sendiri?

Menurut Sartre, manusia bebas. Tapi, di dunia nyata, kebebasan itu sering kali ilusif. Gimana bisa bebas kalau kamu lahir di tempat yang bahkan nggak ngasih kamu kesempatan buat mikir soal pilihan? Sama kayak Rocket, banyak anak muda di Indonesia yang stuck di sistem. Mereka mungkin nggak ngegang atau jual narkoba, tapi pilihan mereka terbatas: kerja serabutan, jadi buruh murah, atau terus hidup di siklus kemiskinan.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Rocket ngajarin kita kalau kebebasan nggak selalu berarti kebebasan besar kayak revolusi. Kadang, kebebasan itu kecil: kamera bekas, kesempatan nulis cerita, atau bahkan mimpi yang kelihatan nggak realistis. Ini yang bikin City of God tetap relatable. Sartre mungkin bakal bilang, "Lo nggak bisa kontrol di mana lo lahir, tapi lo bisa kontrol gimana lo ngerespon."

Di Indonesia, kita perlu lebih banyak "Rocket." Orang-orang yang nggak cuma pasrah sama sistem, tapi juga mau ngegali peluang, sekecil apa pun itu. Di sisi lain, kita juga butuh sistem yang lebih adil, yang nggak cuma bikin kebebasan jadi slogan kosong.

Rocket, Kamera, Kebebasan dan Harapan

Buat Sartre, hidup adalah perjuangan terus-menerus buat jadi "diri sendiri." Rocket nunjukin kalau bahkan di dunia sebrutal City of God, lo bisa bikin pilihan. Tapi film ini juga ngingetin kita bahwa nggak semua orang punya alat buat bikin pilihan itu.

Rocket bisa bertahan karena dia punya mimpi dan keberanian buat ngejar mimpi itu, bahkan di tengah kekacauan. City of God adalah pengingat bahwa di dunia yang penuh ketidakadilan, pilihan kecil bisa jadi senjata besar.

Bagi kita? Jadilah Rocket dalam hidupmu. Dan kalau bisa, jadilah seseorang yang membantu Rocket lainnya menemukan kebebasannya.

***

Jadi, kalau kamu ada di posisi Rocket—terjebak di lingkungan yang seolah nggak memberi pilihan—apa langkah kecil yang bakal kamu ambil untuk mengubah hidupmu? Dan menurutmu, di dunia nyata, apakah kamera atau 'pilihan kecil' lainnya cukup kuat untuk melawan sistem yang nggak adil? Share pendapatmu di kolom komentar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun