Mohon tunggu...
Ge
Ge Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger/Penulis

Blogger dan penulis yang suka membaca dan menonton. Suka menulis cerita fiksi, puisi-prosa (sirosa), opini, resensi dan banyak lagi. Tertarik pada intrik-intrik politik dan berbagai macam gosip yang bisa memperkaya cerita. Anti hoaks dan anti intimidasi. Menyalurkan hobi gambar dan ilustrasi di Instagram.com/gambarable. Ngetuit di X.com/gesiahaya. Ngeblog di gratcianulis.blogspot.com dan berbagi tips menulis fiksi di kampungfiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Film

City of God (2002): Ketika Kamera Menjadi Senjata Untuk Bertahan Hidup

11 Desember 2024   12:25 Diperbarui: 12 Desember 2024   08:08 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Sartre, manusia bebas. Tapi, di dunia nyata, kebebasan itu sering kali ilusif. Gimana bisa bebas kalau kamu lahir di tempat yang bahkan nggak ngasih kamu kesempatan buat mikir soal pilihan? Sama kayak Rocket, banyak anak muda di Indonesia yang stuck di sistem. Mereka mungkin nggak ngegang atau jual narkoba, tapi pilihan mereka terbatas: kerja serabutan, jadi buruh murah, atau terus hidup di siklus kemiskinan.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Rocket ngajarin kita kalau kebebasan nggak selalu berarti kebebasan besar kayak revolusi. Kadang, kebebasan itu kecil: kamera bekas, kesempatan nulis cerita, atau bahkan mimpi yang kelihatan nggak realistis. Ini yang bikin City of God tetap relatable. Sartre mungkin bakal bilang, "Lo nggak bisa kontrol di mana lo lahir, tapi lo bisa kontrol gimana lo ngerespon."

Di Indonesia, kita perlu lebih banyak "Rocket." Orang-orang yang nggak cuma pasrah sama sistem, tapi juga mau ngegali peluang, sekecil apa pun itu. Di sisi lain, kita juga butuh sistem yang lebih adil, yang nggak cuma bikin kebebasan jadi slogan kosong.

Rocket, Kamera, Kebebasan dan Harapan

Buat Sartre, hidup adalah perjuangan terus-menerus buat jadi "diri sendiri." Rocket nunjukin kalau bahkan di dunia sebrutal City of God, lo bisa bikin pilihan. Tapi film ini juga ngingetin kita bahwa nggak semua orang punya alat buat bikin pilihan itu.

Rocket bisa bertahan karena dia punya mimpi dan keberanian buat ngejar mimpi itu, bahkan di tengah kekacauan. City of God adalah pengingat bahwa di dunia yang penuh ketidakadilan, pilihan kecil bisa jadi senjata besar.

Bagi kita? Jadilah Rocket dalam hidupmu. Dan kalau bisa, jadilah seseorang yang membantu Rocket lainnya menemukan kebebasannya.

***

Jadi, kalau kamu ada di posisi Rocket—terjebak di lingkungan yang seolah nggak memberi pilihan—apa langkah kecil yang bakal kamu ambil untuk mengubah hidupmu? Dan menurutmu, di dunia nyata, apakah kamera atau 'pilihan kecil' lainnya cukup kuat untuk melawan sistem yang nggak adil? Share pendapatmu di kolom komentar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun