Mohon tunggu...
Ge
Ge Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger/Penulis

Blogger dan penulis yang suka membaca dan menonton. Suka menulis cerita fiksi, puisi-prosa (sirosa), opini, resensi dan banyak lagi. Tertarik pada intrik-intrik politik dan berbagai macam gosip yang bisa memperkaya cerita. Anti hoaks dan anti intimidasi. Menyalurkan hobi gambar dan ilustrasi di Instagram.com/gambarable. Ngetuit di X.com/gesiahaya. Ngeblog di gratcianulis.blogspot.com dan berbagi tips menulis fiksi di kampungfiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Film

City of God (2002): Ketika Kamera Menjadi Senjata Untuk Bertahan Hidup

11 Desember 2024   12:25 Diperbarui: 12 Desember 2024   08:08 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesimpulan: Nyata dan Brutal

City of God bukan hanya cerita tentang geng atau kejahatan. Ini adalah cerita tentang nasib, pilihan, dan bagaimana sebuah impian kecil, seperti menjadi fotografer, bisa menjadi senjata untuk bertahan hidup. Rocket mengajarkan kita bahwa, meskipun hidup di tengah kekacauan, ada cara untuk keluar, asalkan kita cerdas dalam memanfaatkan kesempatan yang datang.

Mari kita bahas gimana ceritanya kalo "City of God" ini kita lihat dengan kacamata ala Sartre: Eksistensialisme di Tengah Kekacauan

Bayangin ini dulu: kamu lahir di dunia tanpa privilege. Rumahmu di gang-gang sempit, tetanggamu geng kriminal, dan masa depanmu? Gak lebih dari statistik anak muda yang entah mati ditembak atau masuk penjara. Ini bukan hidup yang kamu pilih, tapi yang kamu dapet. Pertanyaannya: gimana kamu bikin pilihan di dunia yang udah nggak ngasih kamu pilihan dari awal?

Itulah kenapa filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre bisa ngejelasin vibes City of God. Sartre bilang, "Existence precedes essence." Artinya, kita nggak dilahirkan dengan "takdir." Kita cuma ada, titik. Pilihan kita---dan konsekuensinya---yang bikin siapa kita sebenarnya. Jadi, meskipun Rocket lahir di tengah kekacauan, dia punya tanggung jawab penuh buat ngontrol hidupnya. Tapi masalahnya, apa benar Rocket bebas?

Lil Z, Rocket, dan Kebebasan yang "Fake"

Menurut Sartre, kebebasan adalah esensi manusia. Tapi kebebasan itu nggak berarti "gw bisa ngelakuin apa aja." Sebaliknya, kebebasan itu penuh dengan beban. Contohnya, Lil Z. Dia "bebas" buat jadi penguasa favela. Dia pilih jalan itu, tapi konsekuensinya? Dia terjebak di siklus kekerasan yang dia ciptain sendiri. Lil Z adalah contoh ekstrem dari kebebasan tanpa tanggung jawab, yang Sartre sebut sebagai "bad faith."

Rocket, di sisi lain, adalah simbol perjuangan eksistensial. Dia nggak mau jadi kriminal, tapi juga nggak cukup kuat buat langsung keluar dari favela. Dia terus bergerak, mencoba bertahan dengan caranya sendiri: fotografi. Keputusan Rocket buat motret Lil Z adalah momen "kebebasan Sartrean" sejati. Dia akhirnya memilih---bukan cuma lari dari kekacauan, tapi menghadapi dan mengubah hidupnya.

Gimana kalau kita senggol sedikit kondisi di negri tersayang ini?

Eksistensialisme vs. Realita di Indonesia

Sekarang, coba lihat relevansinya ke Indonesia. Kalau kita bicara soal daerah kumuh, kekerasan, dan ketimpangan, Indonesia punya versi City of God sendiri: kampung-kampung yang dipinggirkan, urbanisasi yang nggak terencana, sampai anak-anak jalanan yang hidup tanpa akses pendidikan. Apakah mereka punya kebebasan buat milih jalan hidup mereka sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun