Pion
Â
Aku menatap apartemen kecil yang kini menjadi duniaku. Di meja, berserakan surat-surat kaleng yang menghancurkan hidupku.
"Permainan selesai. Kami mendapatkan yang kami inginkan. Skakmat."
Lima tahun lalu, aku adalah pria biasa, terjebak penolakan kerja. Dalam keputusasaan, aku mengarang cerita hidup palsu di surat lamaran. Dengan percaya diri palsu, aku menciptakan versi diriku yang sempurna: ahli strategi bisnis dengan pengalaman internasional. Dan ajaibnya, perusahaan besar mempercayainya.
Dalam waktu singkat, aku naik pangkat hingga kursi eksekutif. Dunia memujaku jenius, tapi di balik kemewahan, rasa takut selalu menghantuiku. Hingga ulang tahunku yang ke-35, surat kaleng pertama datang.
"Kami tahu kebohonganmu. Ikuti instruksi kami, atau kami akan membeberkan semuanya."
Awalnya, aku mengabaikannya. Tapi detail kebohonganku dalam surat-surat itu membuatku patuh. Instruksi kecil dan sepele dari surat-surat itu perlahan menghancurkan proyek besar, menggoyang kepercayaan klien, dan menenggelamkan saham perusahaan. Puncaknya, pesaing meluncurkan produk identik dengan rahasia kami.
Audit mengungkap kebohonganku. Dalam hitungan bulan, aku kehilangan segalanya. Dua minggu setelah dipecat, surat terakhir tiba: "Selamat menikmati kehancuran karirmu."
Di apartemen ini, aku mencoba menyusun semua surat, mencari pola. Satu nama mencuat: Robi Sutomo. Rekan kerja yang pernah mendukungku, lalu menghilang setahun sebelum aku dipromosikan. Saat aku melacaknya ke sebuah rumah di pinggiran kota, dia menyambutku dengan tenang.