Apa Yang Dititipkan Kepada Udara?
Tahu nggak? Pasti nggak tahu kan? Jadi, mari aku beritahu pikiranku ini. Aku selalu berpikir kenangan itu seperti balon helium. Mereka mengapung tinggi di udara ketika lepas dari genggaman, dan hanya bisa dilihat dari kejauhan sebelum akhirnya menghilang. Begitu juga rangkaian aroma, bau-bauan yang tak terlihat itu kerap mampu mengungkit kenangan. Ya kan? Kamu juga mengalaminya kan?
Aneh, tidak? Bagaimana sesuatu yang tak bisa kita lihat itu bisa mengendalikan seluruh hidup kita. Itulah yang membuat aku berada di sini, di sudut kafe kecil ini, menunggu segelas kopi dan, entah kenapa, mendadak menghirup aroma roti bakar yang sedikit gosong.
"Apa kamu tahu, dulu aku selalu datang ke sini?" tanyaku pada diriku sendiri, suara dalam kepala yang kini menjadi percakapan reguler belakangan ini.
Sebelum aku benar-benar sadar, bau kopi mengalir masuk ke hidungku, memori mengalir bersama, dan tiba-tiba aku merasa seolah-olah duduk di sini bersama seseorang yang seharusnya sudah kulupakan. Tapi, itulah masalahnya, kan? Kenangan tidak selalu datang dari sesuatu yang logis. Kadang hanya dari bau. Dan bau itu membawa kembali semuanya, seperti adegan yang diputar ulang tanpa bisa dihentikan.
Rasanya seperti dj vu yang tak henti-henti. Setiap kali aku menatap keluar jendela, aku bisa melihat diriku yang lebih muda duduk di sana, tertawa kecil dengan seorang gadis yang tidak lagi kuingat namanya---hanya bau parfumnya yang tetap terpatri di benak. Sesuatu dengan aroma buah kesemek yang halus, membuatku merasa seperti sedang berada di taman bermain saat aku masih berusia tujuh tahun. Aku menyebutnya "efek parfum kesemek". Ada apa dengan ingatan yang begitu spesifik dan bodoh ini?
Kopi datang, panas, seperti biasa. Aku menyesapnya pelan, berusaha melupakan ingatan yang mencuri masuk tanpa permisi. Tapi bau kertas menu yang baru diprint malah membawa aku ke lorong sekolah. Aku bisa mencium bau cat dan debu yang beradu di udara, membuat napasku terasa berat. Kenapa aku kembali ke tempat itu lagi? Sekolah itu, dengan bau gosip, kegelisahan, dan cinta monyet yang diukir di tiang penyangga aula adalah masa-masa paling absurd, jangan lupakan jerawat dan tawuran-tawuran tak bermanfaat tapi perlu.
"Ada apa ini," bisikku pada cangkir kopi. "Mengapa, seakan-akan, udara sedang membuka laci-laci tempat dia  menyimpan semua kenanganku?"
Dan kemudian, boom, aku terlempar lagi ke dapur Oma. Bau tembakau yang dicampur kayu manis, opor ayam yang bergolak di panci tua. Aku terbelalak, Oma sudah berdiri di sana, dihadapanku! Oma tertawa kecil saat dia menyajikan acar kuning dan memintaku untuk jangan makan terlalu cepat. Piring acar itu tepat di depan kopiku dan aromanya yang kaya rasa menerobos seluruh indera penciumanku.
Sekarang aku mulai panik. Apakah aku sedang bermimpi atau benar-benar terjebak di sini? Bau ini mengendalikan seluruh aliran pikiranku. Tapi belum selesai ketakjubanku, bau roti bakar di kafe ini tercium kembali. Ya, aku kembali menemukan diriku, duduk manis, normal di kafe yang sama. Tuhan, apa yang sedang terjadi? Suara tawa pasangan di meja sebelah bahkan terdengar familiar---sesuatu dari masa lalu, pasti.
Di saat itulah sesuatu yang aneh terjadi lagi. Bau bensin dari pompa tua di dekat stasiun bis muncul entah dari mana. Aku tidak lagi di kafe. Aku ada di tempat itu, stasiun bis yang terlupakan. Aku bisa mencium bau bunga liar yang tumbuh di antara retakan aspal, bercampur dengan harapan kecil yang selalu kubawa saat aku menunggu bis yang lebih sering terlambat datang. Saat ini aku lupa, apa harapan kecil itu, tapi aku ingat, dia begitu besar dan penting untukku saat itu.
"Apa-apaan ini?" gumamku akhirnya, ketika lagi-lagi aku terlempar ke ingatan yang lain. Aroma jagung bakar mengisi udara.
Dan kali ini, bukan sekadar ingatan. Aku benar-benar berada di sana, di masa lalu, di tempat yang seharusnya tak bisa kucapai lagi. Aku mencium bau api unggun dan jagung bakar dari perkemahan pramuka. Suara tawa teman-teman lama terdengar begitu nyata hingga aku bisa merasakannya di dadaku. Mereka ada di sini. Dan aku di sini, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai seseorang yang kembali ke kenangan yang tak pernah benar-benar pergi itu. Aku terpesona, takjub, sekaligus sedikit panik. Apakah aku mendadak ketiduran di kafe dan ini adalah mimpi? Bukankah kafein seharusnya membuatku bangun, bukan malah tidur?
Tapi, kenapa? Kenapa udara ini menyimpan segalanya? Dan kenapa semuanya kembali sekarang, di saat aku hanya ingin menikmati secangkir kopi?
Aku memejamkan mata lebih lama. Mencoba melarikan diri dari kenyataan yang tak masuk akal ini. Aku tidak ingin mengingat lagi. Tapi udara punya rencana lain.
Ketika aku membuka mata, pemandangan di depanku berubah. Aku tidak lagi di kafe. Aku berdiri di depan sebuah pohon besar, dengan ranting-ranting yang penuh dengan benda-benda kecil tergantung---ornamen kenangan. Setiap ranting punya satu ingatan. Satu aroma. Satu cerita. Aku mengenali semuanya. Ini adalah hidupku, tergantung di dahan pohon.
Aku mengambil satu napas dalam-dalam. Bau yang kukenal sejak lama mengalir masuk, seperti parfum yang hampir hilang, tapi masih membekas di kulit.
Dan saat itulah aku sadar: Aku sudah mati. Aku mati di kafe itu. Tepat jam 15.33. Aku mengalami apa yang mereka katakan sebagai henti jantung. Iya, jantungku memutuskan untuk berhenti berdetak begitu saja. Jika saja di kafe itu ada yang bisa melakukan pertolongan pertama kompresi dada, dan jantungku bisa dipacu kembali, mungkin udara hanya perlu menyimpan kenangan-kenanganku saja dan bukan kenangan tentang aku.
Dalam kasusku, ternyata udara bukan sekadar membawa kembali kenangan. Udara menyimpan aku dalam salah satu lacinya di sini, dalam setiap aroma yang dulu pernah kuhirup, dalam setiap napas yang sudah tak lagi bisa kuambil. Kenangan itu bukan milikku lagi---mereka dititipkan pada udara hingga kesadaranku paripurna bahwa aku tidak lagi hidup dan tak akan pernah kembali. Kesadaran itu seperti gelembung-gelembung balon helium yang terlepas bebas ke udara, ketika udara membuka lacinya dan mengeluarkan aku dari sana. Aku merasa begitu ringan.
Saat itulah udara melepaskanku, pelan-pelan. Lalu, seperti balon helium, aku terbang makin tinggi, makin tinggi.
Ge, Sabtu, 12 Oktober 2024, 11:35.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H