Mohon tunggu...
Ge
Ge Mohon Tunggu... Lainnya - Cerpenis/Sirosais

Suka menulis sirosa (puisi-prosa), cerpen yang liris, dan ilustrasi. Tertarik dengan intrik-intrik politik dan segala macam gosip yang memperkaya cerita. Anti hoaks dan segala rupa berita-berita bohong serta intimidasi. Prinsip: fiksikan saja semua unek-unek daripada menyebarkan berita bohong.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa yang Dititipkan kepada Udara?

12 Oktober 2024   11:51 Diperbarui: 12 Oktober 2024   15:53 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Apa-apaan ini?" gumamku akhirnya, ketika lagi-lagi aku terlempar ke ingatan yang lain. Aroma jagung bakar mengisi udara.

Dan kali ini, bukan sekadar ingatan. Aku benar-benar berada di sana, di masa lalu, di tempat yang seharusnya tak bisa kucapai lagi. Aku mencium bau api unggun dan jagung bakar dari perkemahan pramuka. Suara tawa teman-teman lama terdengar begitu nyata hingga aku bisa merasakannya di dadaku. Mereka ada di sini. Dan aku di sini, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai seseorang yang kembali ke kenangan yang tak pernah benar-benar pergi itu. Aku terpesona, takjub, sekaligus sedikit panik. Apakah aku mendadak ketiduran di kafe dan ini adalah mimpi? Bukankah kafein seharusnya membuatku bangun, bukan malah tidur?

Tapi, kenapa? Kenapa udara ini menyimpan segalanya? Dan kenapa semuanya kembali sekarang, di saat aku hanya ingin menikmati secangkir kopi?

Aku memejamkan mata lebih lama. Mencoba melarikan diri dari kenyataan yang tak masuk akal ini. Aku tidak ingin mengingat lagi. Tapi udara punya rencana lain.

Ketika aku membuka mata, pemandangan di depanku berubah. Aku tidak lagi di kafe. Aku berdiri di depan sebuah pohon besar, dengan ranting-ranting yang penuh dengan benda-benda kecil tergantung---ornamen kenangan. Setiap ranting punya satu ingatan. Satu aroma. Satu cerita. Aku mengenali semuanya. Ini adalah hidupku, tergantung di dahan pohon.

Aku mengambil satu napas dalam-dalam. Bau yang kukenal sejak lama mengalir masuk, seperti parfum yang hampir hilang, tapi masih membekas di kulit.

Dan saat itulah aku sadar: Aku sudah mati. Aku mati di kafe itu. Tepat jam 15.33. Aku mengalami apa yang mereka katakan sebagai henti jantung. Iya, jantungku memutuskan untuk berhenti berdetak begitu saja. Jika saja di kafe itu ada yang bisa melakukan pertolongan pertama kompresi dada, dan jantungku bisa dipacu kembali, mungkin udara hanya perlu menyimpan kenangan-kenanganku saja dan bukan kenangan tentang aku.

Dalam kasusku, ternyata udara bukan sekadar membawa kembali kenangan. Udara menyimpan aku dalam salah satu lacinya di sini, dalam setiap aroma yang dulu pernah kuhirup, dalam setiap napas yang sudah tak lagi bisa kuambil. Kenangan itu bukan milikku lagi---mereka dititipkan pada udara hingga kesadaranku paripurna bahwa aku tidak lagi hidup dan tak akan pernah kembali. Kesadaran itu seperti gelembung-gelembung balon helium yang terlepas bebas ke udara, ketika udara membuka lacinya dan mengeluarkan aku dari sana. Aku merasa begitu ringan.

Saat itulah udara melepaskanku, pelan-pelan. Lalu, seperti balon helium, aku terbang makin tinggi, makin tinggi.

Ge, Sabtu, 12 Oktober 2024, 11:35.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun