Nah, dari sini saya hendak membangun argumentasi saya bahwa masa lalu seseorang jelas merupakan bagian dari dirinya yang tidak bisa dibuang begitu saja, sengotot apapun dia ingin melakukannya, terutama kalau masa lalu itu pernah merugikan orang lain dan punya potensi untuk diulangi lagi bila ada kesempatan, dan kemungkinan ini diketahui pula oleh orang banyak.
Masa lalu yang seperti ilustrasi di atas, jelas merupakan sebuah beban buat pemiliknya, karena masa lalu tersebut memang suram, kelam dan penuh kebusukan. Menuntut masyarakat untuk tidak mengungkit-ungkit, bahkan mengecam masyarakat karena tidak sudi memaafkan masa lalu yang anyir itu, jelas menunjukkan si pelaku tidak menyesali apa yang pernah dilakukannya atau menganggap enteng jejak-jejak kejahatan yang dibuatnya.
Dia gagal memahami bahwa memberikan ampun atau tidak, memaafkan atau tidak, bukan merupakan hak yang bisa dituntutnya dari orang lain. Sebaliknya mau memaafkan atau tidak, mau melupakan atau tidak merupakan hak yang tidak dapat diambilnya dari masyarakat. Jadi jangan dibolak-balik fungsinya.
Hal yang sudah seharusnya dilakukan oleh pelaku kejahatan bila dia menyesali perbuatannya adalah mengakui kejahatannya, meminta maaf dan tidak memaksakan orang lain untuk menerima maafnya hanya karena dia sudah minta maaf. Tahu diri, adalah bagian dari pertobatan. Melakukan terapi adalah bagian dari pertobatan. Menjauhkan diri dari tempat-tempat yang dapat menggodanya melakukan kejahatan lagi, adalah tindakan yang bertanggung jawab dan beradab. Sayangnya, jarang sekali pelaku kejahatan memiliki kesadaran semacam ini, kan? Ada pepatah yang berbunyi, macan tidak dapat menanggalkan lorengnya. Karena itu pintar-pintarlah kita menjaga diri dari menjadi mangsa predator-predator semacam itu.
Sebaliknya, ada masa lalu yang justru menjadi bekal yang menguntungkan bagi seseorang. Contohnya seseorang yang pada masa kecilnya hidup sederhana bahkan sangat-sangat sederhana di bantaran kali dan sempat mengalami beberapa kali penggusuran, ternyata mampu untuk tumbuh dewasa dan berhasil menjadi pejabat pemerintah. Kejadian-kejadian tidak menyenangkan yang pernah dialaminya sebagai rakyat kecil yang tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk berbuat banyak di masa lalu, kini membuat ia memiliki empati kepada rakyat kecil ketika tiba gilirannya untuk memimpin dan memiliki kuasa untuk melakukan penggusuran, misalnya.
Masa lalunya yang tidak nyaman dan tidak mudah itu, membuatnya kini terdorong untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat, sebab ia pernah berada di posisi tersebut, sehingga ia tahu sekali bagaimana rasanya. Masa lalunya merupakan salah satu faktor yang membentuk pola pikirnya. Dia melihat orang-orang kecil seperti dia dan keluarganya dulu adalah manusia-manusia, rakyat, bukan hanya sebongkah masalah perkotaan yang harus disingkirkan begitu saja.
Masa lalu yang menumbuhkan empatinya, membuatnya tidak hanya berusaha membuang masalah, tetapi juga mencari cara menyelesaikan masalah karena dia paham apa sebetulnya masalahnya. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk melihat dan merasakan seperti yang dirasakannya, mereka akan gagal memahami masalah yang sebenarnya. Kegagalan memahami masalah melahirkan kebijakan-kebijakan yang juga kurang tepat.
Sekarang mari kita bandingkan arti masa lalu kedua tokoh ilustrasi di atas. Pedofil di atas adalah predator, ia cenderung sangat berbahaya bagi masyarakat  karena memiliki kecenderungan untuk memangsa orang-orang yang lemah, anak-anak yang tidak berdaya, bila terbuka kesempatan untuk itu. Sebaliknya, si anak dari tepi bantaran kali yang berhasil menjadi pejabat publik itu adalah bagian dari masyarakat marginal yang adalah kelompok terbesar di negaranya, sehingga ia dapat memahami apa yang dibutuhkan oleh orang-orang seperti dirinya.
Demikianlah, menurut saya, masa lalu dapat menjadi liability dan dapat pula menjadi asset, tergantung dari bagaimana seseorang merespon dan mempertanggungjawabkan masa lalu tersebut.
Akhir kata, bila Anda menengok ke belakang dan melihat masa lalu Anda sendiri, apakah masa lalu Anda dapat menjadi asset atau liability, dan bagaimana Anda mau menyikapinya?
***