Setiap tahunnya, kasus kekerasan terhadap anak masih saja menjadi perbincangan hangat. Kasus kekerasan terbaru yang menyita atensi publik datang dari anak selebgram Indonesia. Setelah diusut, anaknya yang berusia 3 tahun ini ternyata dianiaya oleh pengasuhnya hingga babak belur (liputan6.com, 30/03/2024).
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) 2023, dari 20.205 anak yang menjadi korban kekerasan, sebanyak 4.025 anak mengalami kekerasan fisik dan 3.800 anak mendapat kekerasan psikis (dataindonesia.id, 23/02/2024).Â
Sementara itu, dikutip dari Jawapos.com (09/10/2023), KPAI menyatakan bahwa hingga Agustus 2023, sebanyak 2.355 kasus pelanggaran masuk sebagai laporan kekerasan anak. Di antaranya, korban kekerasan seksual (487 kasus), kekerasan fisik atau psikis (236 , korban kebijakan pendidikan (27), dan korban perundungan (87).Â
Meski menunjukkan angka dan data yang berbeda, hal itu tidak mengubah fakta bahwa kekerasan pada anak berulang kali terjadi dan cenderung kian meningkat.Â
Selain itu, bentuk kekerasan terhadap anak di luar sana tak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Data yang tercantum pun merupakan kasus yang telah dilaporkan, namun tidak menutup kemungkinan masih ada banyak kasus serupa yang belum terlapor. Hal ini layaknya fenomena gunung es.
Undang-undang yang diterbitkan guna mengatasi dan mencegah kekerasan terhadap anak pun tak bisa dikatakan sedikit, seperti UU Perlindungan Anak, HAM, dan UU P-KDRT. Namun mengapa kasus kekerasan terhadap anak masih saja berulang kali terjadi?Â
Dengan berulangnya kasus kekerasan terhadap anak, jelas telah menjadi bukti bahwa nyatanya anak tidak mendapat jaminan keamanan bahkan dalam lingkungan keluarga. Hal ini, menandakan lemahnya jaminan perlindungan atas anak di negeri ini, bahkan di tingkat keluarga.Â
Perlindungan anak seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak, baik keluarga, masyarakat maupun negara. Mirisnya hari ini tidak berfungsi dengan yang baik.Â
Dalam atmosfer kehidupan sekuler kapitalisme, kasus kekerasan pada anak bukan peristiwa baru. Kehidupan dalam naungan kapitalisme sekulerisme membuat beban hidup makin berat, termasuk meningkatkan stress, sehingga mengakibatkan mudahnya melakukan kekerasan. Di sisi lain juga menjadi bukti mandulnya regulasi yang ada, baik UU P-KDRT maupun UU Perlindungan anak yang bahkan sudah mengalami revisi.Â
Sesungguhnya, anak merupakan aset berharga bagi sebuah bangsa. Merekalah generasi masa depan yang akan membangun peradaban manusia. Seberapa gemilang dan seburuk apa peradaban tersebut bergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Jika generasi penerus kita menjadi pelaku atau korban kekerasan, pernahkah kita membayangkan peradaban apa yang akan terbentuk di masa depan? Oleh karenanya, Islam meletakkan perhatiannya secara penuh dalam mewujudkan generasi cerdas dan berkualitas, baik secara akademis, emosional, dan spiritual.
Perlindungan dalam Islam meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya. Hal ini dijabarkan dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya, menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatannya, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain.
Islam juga mewajibkan setiap orang memahami pentingnya perlindungan anak dan berperan serta mewujudkannya dalam semua lapisan Masyarakat, baik keluarga, Masyarakat maupun negara. Islam memiliki mekanisme terbaik dalam memberikan perlindungan anak melalui berbagai cara.
Asas akidah Islam menjadikan semua individu memahami kewajibannya melindungi anak. Negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh akan memberikan sanksi tegas dan menjerakan bagi semua pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H