Mohon tunggu...
Fauziah Nabihah
Fauziah Nabihah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Aktivis Muslimah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

PHK Massal Mengancam, Bagaimana Nasib Rakyat?

17 Januari 2024   07:26 Diperbarui: 17 Januari 2024   07:35 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Awal tahun 2024 lagi-lagi rakyat akan dihantui dengan badai PHK. Sebab, di penghujung tahun 2023, pemerintah telah resmi membubarkan 7 perusahaan BUMN lantaran memiliki kinerja yang buruk atau financial distress dan highly over-laverage (tirto.id, 29/12/2023).

Selain itu, satu per satu pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri padat karya lainnya melakukan pemangkasan pekerja, merumahkan karyawan, bahkan ada yang tutup permanen (cnbcindonesia.com, 28/12/2023).

Berdasarkan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), sejak awal tahun 2023, korban badai PHK telah terhitung mencapai 7.200 buruh. 700-an buruh diantaranya akibat dari pabrik yang tutup.

Sebagian perusahaan mengatakan, alasan mereka melakukan PHK adalah sebagai antisipasi resesi. Sebagian karena akan menggantikan pekerja dengan adanya modernisasi peralatan atau mesin, serta tidak mampu menghadapi serbuan produk impor dan perlambatan ekonomi negara tujuan ekspor.

Jika ditelisik lebih dalam, alasan mereka melakukan PHK saat masa resesi adalah untuk menghindari kerugian. Sebab mendirikan perusahaan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Apabila pesanan sepi, maka produksi tidak berjalan dan pemasukan tidak ada. Sedangkan perusahaan harus tetap membayar upah pekerja. Jadi untuk meminimalisir pengeluaran, cara paling cepat dengan melakukan PHK.

Padahal seperti yang diketahui bersama, pascapandemi lowongan pekerjaan semakin sulit untuk dicari. Dengan adanya badai tsunami ini, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan pengangguran-pengangguran baru.

Selain itu, barang-barang impor dengan mudahnya masuk ke Indonesia dengan harga yang lebih murah. Hal ini yang menjadikan barang-barang lokal mulai ditinggalkan.  Masyarakat yang rata-rata berpenghasilan rendah lebih memilih barang dengan harga murah, sekalipun itu merupakan barang dari impor.

Inilah buah egoisme pengusaha yang lahir dari sistem ekonomi Kapitalis-Sekuler. Para pengusaha bisa mengeluarkan kebijakan seenaknya dalam hal perekrutan pekerja. Sistem ekonomi mereka tidak dibangun dalam rangka kesejahteraan tiap individu secara keseluruhan. Sehingga lebih mengutamakan keselamatan perusahaannya tanpa memedulikan nasib pekerja.

Negara sebagai pelindung rakyat, tidak menjalankan tanggung jawab sebagaimana mestinya. Seharusnya, negara pula yang bertugas untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Bukan malah mendukung pihak swasta yang berkuasa dengan mencetuskan UU Cipta Kerja.

Kebijakan yang diterbitkan justru menyusahkan rakyat untuk mencari pekerjaan. Di sisi lain, negara malah menyerahkan SDA untuk dikuasai asing atau swasta dengan membuka keran investor sebesar-besarnya. Mereka dengan mudah mendirikan perusahaan dan bebas menentukan siapa yang akan dipekerjakan, sekalipun dengan mendatangkan pekerja dari negara asalnya. Rakyat lokal hanya sebagian kecil saja yang bisa mendapatkan lapangan pekerjaan, itupun sebagai buruh.

Berbeda dengan Islam yang telah memberikan soslusi tuntas dan menyeluruh. Mengatur sistem ekonomi berdasarkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Dalam Islam, negara harus mengelola SDA secara mandiri. Sehingga bisa menyediakan banyak lapangan pekerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun