Sebuah Pilihan
Suatu siang yang panas di pelataran Masjid
Hisbullah…
Usai Shalat Dhuhur, Fikri tak langsung kembali ke
kelasnya. Ia menunggu Udin, sahabatnya yang sedang
shalat, sambil duduk santai menikmati hembusan angin
yang mengalir sepoi-sepoi di pelataran masjid di
samping sekolah mereka itu.
+ Hei! Siang-siang begini ngelamun. Kesambet cewek
cakep baru tahu rasa kamu.
- Ah, kamu Din. Ngagetin aja. Dah selesai shalatnya?
+ Udah...Udah. Emmm…lagi ngelamunin apa barusan?
- Aku nggak ngelamun kok.
+ Nggak ngelamun tapi bengong. Apa bedanya?
- Aku tuh lagi mikir Din.
+ Serius amat. Mikirin apa? Pasti mikirin si Dewi
lagi.
- Hus, jangan ngawur. Aku tuh lagi mikirin nasib Islam
sekarang.
+ What? Nggak salah denger nih?! Tumben kamu mikir
yang kayak gituan.
- Aduh Udin, udah deh. Aku ini serius.
+ Ups, maaf!!! Just kidding kok. By the way, what’s
wrong with Islam?
- Coba deh kamu baca puisi di selebaran ini!
Tanyakan tentang kami
Pada setiap yang hidup di kolong langit dan bumi
Bahwa pada mereka semua terekam berita tentang…
Kepahlawanan kami
Pengorbanan kami
Jasa-jasa kami
Peninggalan-peninggalan kami
Kebanggaan-kebangaan kami
Ilmu pengetahuan kami
Dan keindahan seni kami
Kami orang Islam**
+ Bahasa dan isinya bagus. Terus so what githu ama
puisi ini?
- Ih…masih nggak ngerti juga kamu. Gini lho, dalam
puisi ini digambarkan betapa hebatnya Islam. Tapi
menurutku, itu dulu. Sekarang kenyataanya udah kebalik
180 derajat. Yang kita lihat, Islam justru mengalami
banyak kemerosotan hampir di setiap sendi
kehidupannya. Contohnya, nggak jauh-jauh Din, dunia
pengetahuan Islam sekarang udah jauh banget
ketinggalan zaman dengan dunia pengetahuannya barat.
Padahal Islam itu kan agama yang TOP. Iya nggak?
+ Iya juga sih Fik. Tapi buat hal yang beginian kita
emang kudu jeli dan hati-hati membedakan antara Islam
sebagai ajaran dan Islam dengan pemeluknya. Artinya
ajaran Islam memang TOP. Cuma pemeluknya aja yang
mungkin kurang memahami serta mengamalkan ajaran Islam
itu sendiri.
- Aku sependapat ama kamu Din. Dan kalo aku boleh
berangan-angan, kapan ya Islam kembali jaya kayak
zamannya Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, seperti
gambaran dalam puisi ini?
+ Jangan salah, setelah zaman Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin, Islam pernah kok meraih masa keemasannya.
Tepatnya pada abad pertengahan.
- Ah, yang bener Din?
+ Bahkan pada masa-masa tersebut Eropa kalah saing
sama Islam.
- Masa sih?
+ Yeee ni anak, nggak percayaan amat sih sama temen
sendiri.
- Lho, bukan soal percaya atau nggak. Masalahnya,
orang ngomong itu kudu ada buktinya. Harus ada data
yang konkrit.
+ Wah…kalo mau bukti sih banyak. Aku tanya nih
sekarang, tahu istilah aljabar nggak?
- Kamu jangan coba ngelak Din. Kalo nyerah bilang aja
terus terang. Jangan coba-coba mengalihkan
perhatianku! Nggak bakalan berhasil.
+ Eh Fik, jawab dulu pertanyaanku, baru komentar!
- Oke kalau itu mau kamu. Tapi awas kalau ngelak.
+ Iya…iya…
- Aljabar itu adalah salah satu istilah di bidang
matematika yang digunakan dunia global sampai
sekarang.
+ Terus kamu tahu nggak siapa penemunya?
- Enggak.
+ Penemunya bernama Al-Khowarizmi.
- Siapa dia? Kok aku nggak kenal?
+ Huuu...dasar. Asal kamu tahu aja, Al-Khawarizmi itu
orang Islam tulen yang menemukan konsep aljabar.
Bahkan bukunya yang berjudul Hisab Al-Jabar Wa
Al-Muqabalah dijadiin buku teks matematika di
universitas-universitas Eropa. Selain buku tersebut,
buku Qonon Fi Al -Tib karangan Ibnu Sina juga menjadi
buku cetak dalam ilmu kedokteran barat selama 6 abad.
Eits…masih belum finish, masih ada Ibnu Rusyd.
Selain sebagai dokter dan ahli hukum, beliau juga
filosof yang paling terkemuka sampai ke negeri barat
pada periode filsafat Islam. Atau Al-Ghazali dengan
Ihya’ Ulum Al Din-nya. Nggak dapat dipungkiri Fik,
kalau karya fenomenal tersebut punya pengaruh kuat
dalam dunia teologi Islam sampai saat ini.
- Kamu serius? Aku kok baru tahu sih.
+ Itu baru sedikit bukti Fik. Padahal dllmb.
- Dllmb? Apaan tuh?
+ Dan lain-lain masih banyak.
- Oke…oke…bukti kamu bisa aku terima. Tapi sekali
lagi aku tegasin: itu kan dulu.
+ Justru di sini letak permasalahannya. Disinilah kita
sebagai generasi muda dihadapkan pada sebuah pilihan.
- Maksudnya?
+ Maksudnya, sebagai generasi muda udah jelas kita
adalah penerus dakwah dan harapan tumbuh kembangnya
peradaban Islam di masa yang akan datang. Dan dalam
waktu yang sama kita juga jadi harapan bangsa yang
kelak akan berjuang demi masa depan negara yang aman
dan tentram. Intinya, maju-mundurnya peradaban agama
dan bangsa kita di masa depan, ya tergantung pada
kita, generasi mudanya.
- Terus soal pilihan itu, pilihan apa?
+ Oh…pilihannya gini, akankah mujahid-mujahid
seperti mereka hanya akan menjadi sejarah dan tidak
akan terlahir kembali? Ataukah kita yang akan terlahir
kembali sebagai generasi penerus mereka?
- Omongan kamu gaya bener Din. Tapi kalo
dipikir-pikir, bener juga sih.
Kriiiiinnnnng…..
+ Eh, udah bel masuk tuh. Balik ke kelas yuk! Habis
ini waktunya Pak Budi lho. Bisa berabe kalo kita
telat.
- Wah…sayang banget ya. Padahal obrolan kita lagi
asyik-asyiknya nih.
+ Ya…kan bisa dilanjutin nanti. Udah ah. Yuk!
Sebuah Jawaban
Sesampainya di kelas, mereka heran melihat suasana
kelas yang masih riuh.
Kelihatannya Pak Budi belum dateng deh.
Nggak biasanya beliau telat.
Tiba-tiba Rio, Sang Ketua Kelas maju ke depan
dan berkata…
= Perhatian temen-temen. Pak Budi nggak bisa hadir
hari ini. Karenanya Pak Budi ninggalin tugas buat
kita. Oke…sekarang kerjakan soal halaman 99 bab
matrix nomor 1 sampai 10.
- Duh, ini nih salah satu hal yang paling nggak aku
suka.
+ Apaan?
- Ngerjain soal matematika. Aku kan paling nggak
nyambung dengan pelajaran yang satu ini.
+ Payah kamu Fik, barusan aja kamu ngomong prihatin
sama nasib Islam yang loyo. Eh, sekarang kamunya yang
loyo. Inget Fik, sebagai generasi muda, kita nggak
hanya dihadapkan pada pilihan yang udah aku sebutin
tadi. Kita juga dituntut untuk menjawab pilihan itu.
Gampangnya –dengan izin Allah- kita yang memilih,
kita yang menentukan.
- Tunggu…tunggu Din. Kamu ngomongnya
kecepeten, aku jadi nggak ngerti lagi nih maksud kamu
apa?
+ Baik Yang Mulia…jadi…begini…
- Pelan sih pelan, tapi jangan kayak putri Solo gitu
dong!
+ He… he… maaf. Sekarang gini Fik, coba bayangin
sebagai muslim tentu kita nggak rela kalo masa-masa
gemilang Islam hanya jadi sejarah. Kita pengen dong
masa-masa itu terulang lagi?
- Ya iyalah.
+ Nah, untuk mewujudkannya butuh proses. Nggak ada
sesuatu yang instan di dunia ini. Makanya usaha untuk
mewujudkan harapan tersebut wajib dimulai dari
sekarang.
- Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan?
+ Pertanyaan bagus. Berjibun banget hal-hal yang bisa
kita lakuin. Diantaranya dengan menghargai waktu.
- Caranya?
+ Jangan pernah menyia-nyiakan setiap detik yang kita
punya dengan melakukan sesuatu yang nggak berguna.
Sebab setiap detik yang udah berlalu nggak akan bisa
kembali lagi. Jangan pernah menunda pekerjaan yang
bisa kita lakukan sekarang. Bahkan saking berharganya
waktu, Imam Hasan Al-Banna sampai berkata, “Kalau
saja waktu bisa dibeli, betapa ingin saya membeli
waktu milik orang-orang yang menganggur. Agar semua
menjadi amal yang produktif dalam dakwah. Karena
kewajiban jauh lebih banyak dari pada waktu yang
tersedia”. So, jangan sampai deh kita disebut
sebagai generasi santai.
- Berarti kita nggak boleh santai nih? Harus hidup
serius melulu? Ogah ah.
+ Ya…nggak gitu-gitu amat. Santai sih boleh-boleh
aja, asal nggak kebablasan. Menghargai waktu, itu yang
pertama. Yang kedua, jangan tinggalkan sholat. Jadikan
sholat sebagai kebutuhan kita. Inget, nikmat Allah ke
kita tuh nggak terhingga. Malu rasanya kalo 5 kali
sehari aja kita enggan melakukannya. Syukur-syukur
ditambah sama yang sunnah. Yang ketiga bacalah Alquran
dan pahami maknanya. Yang keempat, bangunlah di saat
fajar untuk beristighfar, beribadah kepada Allah.
Jangan biarkan berkah yang di janjikan Nabi Muhammad
saw. di pagi hari terlewat begitu aja. Yang kelima,
berkumpulah dengan orang-orang sholeh. Carilah teman
sejati dari golongan mereka. Sebab manusia, apalagi
ABG kayak kita butuh banget curahan hati yang bisa
mengingatkan, menasehati, dan menghibur kita. Dan yang
terakhir, tekadkan niat berjuang di jalan Allah.
- Dahsyat Man, omongan kamu udah kayak ustadz aja.
Masih ada lagi nggak yang lain?
+ Tadi kan aku udah bilang, kalo apa yang aku bilang
barusan cuma salah satu jalan aja menuju Roma. Lha,
jalan yang lain, tentu masih banyak. And catet, kalo
kamu berhasil melakukan—minimal—enam hal tadi
dengan baik, aku ucapin mabruk deh.
- Mabruk buat apa?
+ Mabruk sebab kamu adalah calon mujahid di mata Allah
dan manusia.
- Amin. Makasih untuk do’anya. Tapi jangan lupa
juga, kita belum ngerjain tugasnya Pak Budi sama
sekali. Kertas kita masih kosong.
+ Ya Alloh kok kita bisa lupa ya? Padahal……
= Ayo temen-temen cepet kumpulin tugasnya ke depan!
Waktunya udah habis nih.
+ ??????!@#$%
+ ??????!@#$%
*Format penulisannya aku adaptasi dari buku Ngefriend
Sama Islam yang ditulis oleh Teguh Iman Perdana.
**Maaf, aku lupa nama pengarangnya. Semoga beliau
ikhlas puisinya aku ‘pinjam’.
Presented for all teenagers in Islam.
Semoga Allah meridhoi perjuangan kita, Sobat.
Amin.
^_^ Viee
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H