Mohon tunggu...
FX Sutono TONO
FX Sutono TONO Mohon Tunggu... Buruh - data entri di industri toko buku dan voluntir dalam pelayanan keagamanan dan masyarakat

bekerja pada industri ilmu pengetahuan KG meminati kebudayaan, humaniora dan ekonomi manajemen. Dapat di jumpai pada fxsutono@gmai.lcom, ym fxsutono15@yahoo.com,http://www.fxsutono.blogspot.com dan http://id.netlog.com/fxsutono

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wani Piro? (BERANI BERAPA?)

12 September 2012   10:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:34 4992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

WANI PIRO?

(BERANI BERAPA?)

Ungkapan dari sebuah iklan produk konsumtif, yang sering muncul di layer TV anda, menjadi tend mark belakangan ini. Lha, bagaimana memaknai ungkapan ini untuk mendapatkan spiritualitas yang bisa kita ejawantahkan(wujudnyatakan) dalam kehidupan sehari-hari?

13474460441292116634
13474460441292116634

Ungkapan dengan nada provokatif dan menantang bukan?

Saya menemukan beberapa pendapat tentang “wani piro”tadi demikian:

Wani Piro, Ungkapan Lucu sekaligus Bernada Satire

Kaget campur geli ketika staf saya berkata demikian sambil nyengir. Ungkapan itu muncul tadi pagi ketika saya memintanya untuk mengambil map laporan di ruangan atasan. "Yang warna biru ya?" demikian permintaan sederhana saya."OK, wani piro Pak ?"jawabnya.Weleh, kami pun ketawa ngakak. Suasana benar-benar cair.

Awalnya saya tidak pernah tau apa artinya "Wani Piro". Tapi syukurlah sebulan yang lalu saya mendapatkan maknanya dariinternet. Agaknya ungkapan dalam bahasa Jawa itu sungguh bermakna dalam. Tidak hanya sederhana, ungkapan itu mengandung satire dan kritik sosial, sekaligus mengundang tawa. Lucu, karena begitu diucapkan, kita seolah mentertawakan budaya korupsi yang menggurita di negeri ini. Kata-kata itu terasa menggelikan ketika setiap perintah atau permintaan bantuan selalu diiringi pamrih.

Menurut saya, ungkapan ini sangat bagus untuk introspeksi massal. Tidak hanya sekedar mencairkan suasana dengan komedi situasinya, namun sanggup mengusik nurani bagi yang mendengarnya.

Sudah lazim sejak dulu di negeri kita beberapa urusan mesti diselesaikan dengan duit alias uang pelicin. Pelayan masyarakat ingin dilayani. Beda dengan luar negeri,public servantatau pelayan masyarakat konsisten dengan fungsinya. Di kita bahkan terbentuk sebuah ungkapan yang menunjukkan betapa parahnya pelayanan masyarakat yang dirusak oleh oknum : jika bisa dipersulit, mengapa mesti dipermudah? Ujung-ujungnya, jika urusan ingin dipermudah, pakailah pelicin. Lebih ironis lagi, singkatan sebuah provinsi yakni Sumut malah diplesetkan menjadi Semua Urusan Mesti Uang Tunai. Atau Riau : Rusak Iman Akibat Uang. Semua kata-kata itu mengandung humor, sekaligus peringatan, kekecewaan atau keputusasaan akan kondisi yang sulit untuk diubah.

http://efriyaldi.blogspot.com/2011/10/wani-piro-ungkapan-lucu-sekaligus.html

Sedangkan mas Nurul Iman, memberikan pendapat demikian:

Tagline “wani piro” yang diusung iklan salah satu produk rokok terkenal begitu akrab di telinga setiap orang. Ungkapan itu seringkali meluncur bahkan dari mulut anak-anak kecil baik secara serius maupun guyonan. Ketika diperintahkan untuk melakukan suatu pekerjaan misalnya, maka jawaban yang muncul adalah “wani piro”?. Mereka menuntut upah untuk tugas yang dibebankan.

Ungkapan wani piro dalam Iklan tersebut sebenarnya merupakan sindiran terhadap kenyataan hidup dan budaya suap yang telah menghegemoni kehidupan bangsa ini dalam segala urusannya. Jika dunia jin yang merupakan dunia ghaib pun tidak luput dari suap, maka dalam dunia nyata manusia, tentunya praktik sogok tersebut dapat lebih parah kenyataannya.

Tidak hanya dalam urusan birokrasi dan penegakan hukum, urusan sosial kemasyarakatan sering kali tidak luput dari praktik suap, tip, pelicin, sogokan atau apalah istilahnya. Bangsa ini telah menjelma menjadi bangsa yang mewajarkan tradisi “amplop” dalam segala urusannya, meski sebenarnya urusan itu telah tercover dalam anggaran resmi sebuah institusi pemerintahan, ataupun justru tidak perlu diberikan tip karena telah menjadi tanggung jawab pekerjaan seseorang. Beda antara hadiah dan sogokpun menjadi samar.

Banyak urusan hanya bisa lancar dengan uang. Bangsa ini juga lebih menyukai jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu dengan menghalalkan segala cara, dibandingkan harus bersusah payah berusaha mendapatkannya dengan cara normal, wajar, dan lebih beradab.

Kasus-kasus korupsi yang diekspos berbagai media belakangan ini menunjukan bahwa banyak pejabat dan wakil rakyat negeri ini kehilangan kepekaannya terhadap nasib rakyat dan kepeduliannya kerugian negara.

Demi menimbun kekayaan pribadi, maka proyek-proyek negara pun diperdagangkan, sehingga kualitas proyek dan bangunan tidak lagi diprioritaskan. Sementara itu, liputan investigatif berbagai stasiun televisi tentang produksi bahan makanan, jajanan olahan dan minuman baik yang dilakukan dalam skala kecil maupun besar, menunjukkan laku keculasan yang telah membudaya di kalangan produsen. Penggunaan zat-zat berbahaya seperti pemutih, boraks, pewarna sintetis, dan bahan pengawet telah merambah beras, daging, ayam, ikan asin, tahu, tempe, kerupuk, bakso, siomay, buah-buahan, dan bahkan sayur-sayuran.

Semuanya dilakukan atas nama mendapat keuntungan dan keumuman. Kebohongan dan keculasan menjadi sesuatu yang umum, sementara kejujuran, kepolosan, dan kewajaran menjadi sesuatu yang aneh.

Kita menjadi tidak nyaman dengan pelayanan birokrasi yang tidak memiliki standar yang jelas dan baku, menjadi khawatir dengan penegakan hukum yang diperjualbelikan sehingga tidak adil, atau bahkan menjadi takut dengan apa yang kita konsumsi dan makan dalam keseharian tentang kehalalan maupun hieginitas kandungannya. Kenyataan ini seakan menempatkan kita dalam “neraka” dunia di kehidupan bangsa ini. Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah dalam hadis sahih bahwa kejujuran akan menuntun kepada kebajikan, dan kebajikan akan menuntuk menuju surga. Sedangkan kebohongan akan menuntun kepada kekejikan, dan kekejian akan menuntun kepada neraka (HR. Bukhari dan Muslim). Neraka adalah tempat kembali di akhirat, yang di dalamnya disediakan berbagai siksaan bagi para durjana, termasuk pembohong di dalamnya. Dalam konteks kehidupan dunia, neraka itu dapat dimaknai sebagai ketidakpastian, kecemasan, ketidakadilan, maupun ketakutan yang menghantui masyarakat. Sebaliknya, surga dunia dapat berupa kenyamanan, keadilan, dan keamanan.

Ajaran kejujuran merupakan salah satu nilai agama yang mulai memudar dalam kehidupan bangsa ini. Mencari birokrat yang jujur tidaklah mudah, sebagaimana sulit mencari hakim dan penegak hukum yang setia kepada keadilan, atau menemukan wakil rakyat yang setia pada para pemilihnya. Meskipun, negara ini dikenal dengan negara dengan produk undang-undang terbanyak, tetapi keteraturan sosial, ketaatan pada hukum dan kesetiaan pada nilai-nilai peraturan masih merupakan hal yang langka. Laku jujur supaya makmur, kalah populer dengan laku lacur agar tidak hancur serta segera makmur.

Mayoritas penduduk negeri ini yang turut menjalankan puasa Ramadhan belum menjamin bahwa ajaran kejujuran menjadi salah satu nilai yang dipedomani bersama. Padahal makna puasa sesungguhnya sebagaimana ditegaskan Rasulullah dalam berbagai hadis tidak hanya meninggalkan makan, minum, dan penyaluran hasrat biologis di siang hari, tetapi juga harus mengejawantah dalam bentuk ketaatan kepada Rabb, kesabaran, pengendalian diri dan emosi, menebar kebajikan, kesederhanaan, dan laku kejujuran. Sebaliknya, segala bentuk keburukan, perbuatan keji, dan kebohongan harus dapat dihindari.

Pemahaman yang utuh terhadap konsep puasa akan melahirkan shaimin dan shaimat yang sejati yang berkesempatan mentas pada akhir Ramadhan menjadi pribadi-pribadi bertaqwa. Karenanya menjadi tugas bersama untuk mendidikkan konsep tersebut dimulai dari diri sendiri dan keluarga, lalu menuju masyarakat luas dan bangsa ini. Nilai-nilai luhur puasa utamanya kejujuran hendaknya dapat ditanamkan secara kokoh dan dipedomani dalam pendidikan, perdagangan, penyelenggaraan pemerintahan dan seluruh aspek kehidupan.

Ibda’ binafsik, mulailah dari diri sendiri. Ibarat membuat medan magnit, maka medan magnit kejujuran harus diusahakan mulai dari yang terkecil, lalu dapat membesar, dan membesar sehingga perlahan tapi pasti dapat menggantikan medan magnit kebohongan yang telah mengakar dan terlanjur membesar.

Membentuk budaya jujur tidaklah mudah, sesulit menjadi shaim sejati di tengah masyarakat bangsa ini. Tetapi jika gerakan laku jujur ini berjalan dan sukses, tidak ada yang diuntungkan kecuali diri kita sendiri. Ketentraman, kedamaikan, keamanan, dan keteraturan sosial akan menjadi atmosfir yang melingkupi kehidupan bermasyakat dan berbangsa. Sungguh benar yang apa yang disabdakan Rasulullah dalam hadis al-Tirmidzi bahwa al-sidqa tuma’ninah wa al-kadzib raibah (kejujuran adalah ketentraman dan kebohongan adalah kegalauan). Mari belajar untuk dapat berpuasa dengan sebaik-baiknya, agar dapat merengkuh ketaqwaan sebagaimana dijanjikan Allah, laallakum tattaqun. Wallahu a’lam.

http://nuruliman1972.blogspot.com/2012/07/menjadi-shaim-sejati-di-negeri-wani-piro.html

Ya…., ya…. ya…..,

Itulah sebagian kecil dari memaknai “wani piro”, dari beliau-beliau yang memberikan sumbangsihnya terhadap ungkapan yang lagi tend.

Bolehlah saya berpendapat lain to?

Wani piro?

Dalam kehidupan beriman, kiranya juga kita tidak cukup sekadar nyaman dalam ritus-ritus peribadatan, semacam pergi ke Gereja secara rutin menurut ketentuan yang telah di ajarkan Gereja.     Rajin doa, sembahyang 5 waktu, hafal ayat ini dan itu, berhimpun dalam satu persekutuan, satu pengajian dan seterusnya. Kiranya wani piro bolehlah kita waknai sebagai tantangan seberapa kita beriman, bukan sekadar beragama. Iman yang kita wujudnyatakan dalam setiap tindakan, tutur kata. Sokur-sokur mampu menjadi garam dan terang bagi lingkungan di sekitarnya, bukan batu sandungan, teroris bagi sesamanya.

1347446152533437242
1347446152533437242

Wani piro?

Boleh kita maknai sebagai spiritualitas dalam bekerja. Seberapa kita loyal dalam kerja, tanggung jawab, dedikasi, kepribadian positif, kerjasama, sinergi dan seterusnya yang mau dan mampu memberi lebih bagi dunia kerja kita baik pribadi, perusahaan di mana kita bekerja, ataupun juga pelayanan bagi masyarakat umum tanpa embel-embel upeti dan seterusnya?

WANI PIRO adalah ungkapan budaya kita sendiri yang berani menggugat diri untuk berubah ke hal yang positif di tengah hiruk pikuk jaman yang penuh ambigu.

Selamat sore. Selamat berkemas-kemas pulang.

Berkat |Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun