[caption caption="http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/07/07010021/Cerita.Anak.Ahok.dan.Anak.Lulung.yang.Satu.Rumahan.Satunya.Lagi.Petakilan.?page=1"][/caption]
Tulisan terdahulu saya, pernah menyebutkan Al Ghazali anak sulung Ahmad Dani, namun tulisan itu bukan tentang sosok Al, menurut saya menulis tentang sosok seseorang publik figur atau yang terkait dengan publik figur sebaiknya bersumber dari yang bersangkutan sendiri, kecuali tulisan itu berupa biografi atau memoar. Â Pagi menjelang siang ini saya menemukan artikel tentang dua sosok yang merupakan anak dari Bapak H. Lulung dan Bapak Ahok, mengingat sosok ayah mereka yang dicitrakan oleh media adalah dua sosok yang "berseteru", saya menyayangkan jurnalis kompas.com Icha Rastika menggunakan frase yang berkonotasi positif (rumahan) versus negatif (petakilan) pada judul artikelnya.
Pada era internet sekarang ini, mengharapkan other human or machine bertingkah laku seperti yang kita inginkan adalah suatu hal yang mustahil. Â Demikian juga para komentator di artikel tersebut ternyata mengaitkan sosok kedua anak tersebut dengan hingar bingar pilgub DKI, bahkan ada komentar yang menghakimi. Â Kolom komentar mungkin dirancang untuk meningkatkan rating sebuah situs, walaupun ada disclaimer dari pihak admin tidak serta merta admin dapat menggunakan kewenangannya untuk melakukan sensor berdasarkan subjektifitas admin.
Saya percaya kompas.com telah mempunyai kebijakan dan sop tersendiri bagi setiap jurnalisnya, namun dalam hal ini penilaian saya pribadi Icha Rastika sebagai jurnalis sekaligus editor, dengan artikelnya membuat suasana semakin bising. Â Jika Icha Rastika menurut pendapat subjektifnya bahwa kedua anak dari sosok dua publik figur ini layak diangkat menjadi sebuah artikel, akan lebih elegan jika memuatnya secara terpisah dengan konten yang sama namun disajikan dengan gaya yang berbeda sehingga mampu mengispirasi bagi pembaca apalagi yang seumuran dengan mereka.
Gaya tulisan artikel tersebut yang terkesan membandingkan kedua anak itu, memang berhasil memancing para komentator bersuara. Â Saya tidak tahu motif dari penulis apakah memang mempunyai kepentingan pribadi dalam persaingan pilgub DKI ini atau hanya sekedar melihat sisi lain dari kehidupan anak-anak pesohor negri. Â Mungkinkah motif tulisan itu untuk meningkatkan pamor salah satu kandidat gubernur dan menyudutkan yang lain dengan memilih frase positif vs negatif pada judul artikel tersebut? Jika motif Icha Rastika memang ada kaitannya dengan pilgub DKI mengapa tidak mencari tahu apakah mereka tergabung dalam relawan masing-masing kubu dan mengangkat cerita berdasarkan pilihan politik mereka masing-masing.
Berkaca pada anak-anak Jokowi yang cukup baik menyikapi persaingan pada saat pilpres yang lalu, mereka tidak terpancing untuk terlibat secara langsung dalam pertarungan politik ayah mereka, demikian juga dengan anak Prabowo sangat elegan menyikapi kontes menjadi orang nomor 1 dari ayahnya. Â Kepada Icha Rastika, jika anda merasa bahwa anak-anak Lulung dan Ahok layak diangkat sebagai bahan tulisan, sajikanlah tulisan itu sedemikian rupa sehingga mengispirasi kaum muda seumuran mereka sehingga kaum muda semakin menggemari olah raga wushu.
Â
sumber tulisan : http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/07/07010021/Cerita.Anak.Ahok.dan.Anak.Lulung.yang.Satu.Rumahan.Satunya.Lagi.Petakilan.?page=1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H