Perubahan Bentang Alam Teluk
Lama tidak terdengar kontroversi proyek reklamasi teluk Jakarta tiba-tiba publik dikejutkan dengan OTT M. Sanusi politisi Gerindra oleh KPK, seketika itu pun kontroversi yang sudah lama hening, kembali memenuhi portal berita. Â Saya tertarik turut serta meramaikannya di kompasiana ini karena saya pernah berniat melakukan penelitian mengenai pola arus di kawasan ini namun karena keterbatasan biaya akhirnya saya pindahkan penelitian saya ke kawasan teluk pelabuhan ratu.
Jika harus mengambil sikap, saya cenderung menyetujui pandangan Ibu Susi sebagai mentri kelautan dibandingkan dengan argumentasi Ahok sebagai gubernur DKI. Â Berbagai landasan hukum yang dibuat untuk legalisasi proyek reklamasi ini mulai dari perpres rezim Suharto sampai pergub rezim Jokowi, sepertinya hanya untuk memuluskan proyek tersebut sementara dampaknya hanya berakhir di dokumen Amdal.
Penelitian yang dilakukan oleh seorang dosen Ilmu dan Tenologi Kelautan Institut Pertanian Bogor (ITK-IPB) Bapak Agus S. Atmadipoera (STUDI PEMODELAN NUMERIK 3D SIRKULASI ARUS DI TELUK JAKARTA: SEBELUM DAN SESUDAH REKLAMASI Agus S. Atmadipoera1* and Dewa Adhyatma1, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor,*E-mail: atmadipoera_itk@ipb.ac.id) sebenarnya cukup gamblang mendeskripsikan bahwa perubahan pola arus di kawasan teluk Jakarta justru akan menghambat aliran air dari sungai-sungai yang bermuara di teluk Jakarta
 [caption caption="citraindonesia.com/nelayan-reklamasi-teluk-jakarta-merugikan/"][/caption]Sehingga yang terjadi adalah justru penumpukan air di kawasan pesisir pada garis pantai yang asli dari teluk Jakarta yang dapat mengakibatkan banjir ke kawasan daratan Jakarta.  Penumpukan masa air ini terjadi karena kekuatan arus keluar teluk lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan arus yang masuk ke teluk .  Pulau-pulau hasil reklamasi justru bertindak sebagai peghalang masa air untuk keluar teluk, sementra celah antar pulau hasil reklamasi menyebabkan arus air yang masuk ke teluk semakin kuat yang secara otomatis membawa volume air yang lebih besar ke dalam teluk.
[caption caption="STUDI PEMODELAN NUMERIK 3D SIRKULASI ARUS DI TELUK JAKARTA: SEBELUM DAN SESUDAH REKLAMASI Agus S. Atmadipoera1* and Dewa Adhyatma1, 1Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor,*E-mail: atmadipoera_itk@ipb.ac.id"]
(disclaimer: semoga saya tidak salah dalam memahami hasil penelitian ini)
Melihat rencana reklamasi kawasan teluk Jakarta yang cukup masif [caption caption="m.tempo.co/read/news/2016/02/04/231742201/ternyata-sudah-10-pulau-mendapat-izin-reklamasi-teluk-jakarta"]
Satu hal yang cukup saya sayangkan adalah pembandingan yang dilakukan Ahok antara proyek reklamasi rawa dan empang yang sekarang menjadi taman hiburan ancol dengan reklamasi pembentukan pulau baru dikawasan teluk Jakarta disini. Â Jika kita melihat peta asli teluk Jakarta sebelum reklamasi jelas terlihat bahwa reklamasi yang dilakukan era Ali Sadikin selain kawasan tersebut memang masih bagian dari daratan sehigga tidak merubah kontur lautnya secara signifikan, sementara proyek reklamasi yang sekarang adalah membentuk pulau baru yang merubah drastis kontur laut kawasan teluk.Â
PERUNTUKAN LAHAN HASIL REKLAMASI
Masyarakat yang hidup di sepanjang pesisir pantai teluk sebelum reklamasi sudah barang tentu memiliki pola hidup yang dijalani sepanjang hidupnya, dengan adanya perubahan pada pesisir pantai akibat pulau hasil reklamasi mau tidak mau suka tidak suka masyarakat akan dipaksa harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru. Â Khusus bagi masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, jika pulau hasil reklamasi diperuntukan bagi kalangan menengah atas (konon harganya puluhan juta per meternya), sudah pasti harus mengeluarkan usaha yang berlipat-lipat untuk mencapai fishing ground yang baru, apakah mereka mempunyai kemampuan tersebut? Â Ataukah mereka harus beralih profesi menjadi buruh atau pekerja di kawasan baru tersebut? Mampukah mereka beradaptasi?
Berbagai pertanyaan seputar sosial kemasyarakatan tersebut bagi saya semakin menegaskan bahwa klaim Ahok bahwa perubahan kewajiban pengembang dari 15% menjadi 5% dalam draf perda adalah hal yang gila, tidak serta merta Ahok pro terhadap masalah rakyat yang terdampak proyek reklamasi tersebut.  Berkaca pada kasus relokasi warga kampung pulo dan kalijodo ke rusunawa, hal yang belum bisa dipastikan jawabannya adalah apakah masyarakat yang direlokasi itu semakin sejahtera dengan adaptasinya ? Kalau masalah kenyamanan pastilah lebih nyaman.  Karena  jika kesejahteraan yang menjadi tolok ukurit is takes time.  Oleh karena itu janganlah menjadikan fasos dan fasum dalam bentuk rusunawa berikut hal lainnya menjadi solusi bagi warga terdampak, namun pikirkan kemampuan mereka beradaptasi terhadap lingkungan yang baru apalagi lingkungan yang memaksa mereka harus beralih profesi yang sudah mendarah daging.