Ali dan Zainab.
Kutulis surat ini untukmu karena beberapa saat sebelum ini aku menyaksikan sebuah video anak-anak Aleppo yang betul betul menyayat hati. Video itu juga mengingatkanku pada kalian, karena saat aku meninggalkan rumah kontrakan dan  tempat belajarku, kalian seumuran itu. Saat ini, jika kalian masih ada, pasti sudah besar, berkeluarga dan memiliki anak-anak yang lucu.
Kalian adalah tetangga kecilku yang sering kali mengajak anak-anaku, Zahra dan Muhammad bermain. Jika kalian terlalu asyik bermain di rumah kami, ibu kalian akan memanggil kalian dengan suara agak melengking. Â Suara ibu kalian yang tinggi itu akan terdengar dari saluran pendingin yang tersambung dari bawah.
Ayahmu, Syekh Hasan adalah tetangga kami yang baik. Dia tipe orang yang tak banyak bicara kecuali seperlunya saja. Karenanya, walaupun bertetangga sangat jarang kita berbincang bincang. Seingat saya tak lebih dari 5 jari tangan, saya ngobrol dengannya.
Ibumu adalah tukang masak yang handal . Seringkali dia mengirimkan makanan khas dari Syiria kepada kami. Yang paling sering dia kirim adalah olahan nasi dicampur susu manis. Rasanya seperti bubur yang manis. Mirip masakan India yang disebut Phirni. Makanan itu tak cocok dengan selera lidahku yang terbiasa dengan bubur ayam yang asin dan diaduk pula. Ada juga panganan berisi daging yang dimasukan ke dalam paprika kemudian dibakar. Saya tak tahu, apa nama makanannya yang jelas enak sekali.
Saat para teroris ISIS menggempur Aleppo, pikiranku langsung terbang dan bertanya tanya, bagaimana keadaan kalian dan keluarga kalian. Aleppo betul betul luluh lantak dan hancur berkeping keping. Padahal dari Ayahmu aku mendengar cerita sanjungan yang luar biasa tentang keindahannya.
Tentang Aleppo dan sejarahnya, Ayahmu bisa bercerita panjang lebar di kamar depan rumahnya. Beberapa tempat bersejarah dia ceritakan dengan agak rinci. Satu demi satu. Satu yang tak pernah selesai dia ceritakan adalah tempat di mana kepala Imam Husein diletakan di Mesjid Umayyah. Saat menceritakannya, dia bisa meneteskan air mata.
Apalagi saat aku bertemu dengan Syekh Nabil Halbawi, seorang penyair dari Aleppo yang mampu menceritakan keindahan Aleppo dengan baik. Mendengar cerita ayahmu dan Syekh Nabil, lalu saya memasukan Aleppo sebagai salah satu tempat yang harus dikunjungi.
Sayang sekali, negeri yang sangat indah itu hancur berantakan karena fitnah-fitnah yang ditebar. Aleppo yang memiliki catatan sejarah ribuan tahun kemudian tinggal sejarah oleh polah para teroris berkedok agama.
Ali dan Zainah yang baik.
Kini dari balik puing-puing itu, tinggal derita dan kesedihan yang tersisa. Video yang saya saksikan dari lini masa teman betul betul  membuatku pedih.
Seorang wartawan bertanya kepada seorang gadis cilik, seumuran Zainab saat aku meninggalkan tempat belajarku, "Apa harapanmu untuk Iedul Fitri?"
"Aku ingin bertemu bapakku" jawab si kecil cantik itu.
Wartawan kemudian bertanya, "Memangnya di mana bapakmu"
"Dia sudah meninggal" kata si kecil cantik itu.
Aku menjadi hampa menyaksikannya.
Ali dan Zainab,
Aku berdoa, untukmu, untuk Zainab dan kedua orang tuamu agar selamat dalam peperangan yang ganas dan tak mengenal belas kasih. Semoga Aleppo bisa kembali bangkit dan menampilkan keindahannya lagi. doakan pula Negeriku Indonesia bisa terbebas dari jerat-jerat disintegrasi bangsa.Â
Aku berharap, satu saat nanti kita bisa dipertemukan kembali. Salam hangat .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H