Puasa yang menahan lapar dan haus setidaknya menjadi ajang pembelajaran humanis yang ideal bagi semua yang melaksanakan dan memungut hikmah, ajang refleksi diri bahwa di luar sana masih banyak anak-anak yang kelaparan, tak seberuntung kita dalam hal perut. Karena dalam keadaan kenyang sering kali manusia tidak memikirkan kesulitan yang saudaranya alami. Barang siapa mengimani kebajikan akan turut merasakan kesedihan sesamanya, begitu pula ketika saudara kita bersuka cita.
Poin ini menekankan bahwa boleh jadi sebagian besar inti ritual agama menekankan pentingnya menjaga hubungan baik antar manusia. Maka dari itu, dalam prosesnya perlu yang namanya saling menjaga perasaan, tidak menyinggung, menyindir bahkan terang-terangan menyakiti perasaan orang lain. Karena dunia ini bukan ruang kosong, apa yang kita lempar akan kembali kepada asal muasalnya suatu hari nanti.
Kesadaran ini seharusnya sudah sejak awal dipahami, bukan hanya dalam bermedia sosial namun juga dalam kehidupan nyata. Karena bukan tanpa sebab, sebagian besar konflik yang tidak perlu terjadi karena kehilangan pemahaman akan pentingnya saling menjaga sikap antar umat manusia.
Pertama, sudahkan kita mengetahui tujuan kita bermedia sosial?
Media sosial merupakan lahan yang menjanjikan, di dalamnya beragam kegiatan muamalah terjadi. Entah itu menjalin interaksi, memperluas jaringan, bahkan berjualan. Tujuan ini harusnya membawa niat yang akan berimbas bagi pengembangan diri juga. Misalnya ajang berbagi inspirasi, maka timeline kita akan dipenuhi konten-konten sarat makna yang sebagian besar menceritakan kisah inspiratif, 'tips and trick' dan tanya jawab seputar tema.
Di era post-truth tentunya diskusi terbuka sangat penting. Bagaimana membuka banyak perspekif yang dapat membantah prasangka-prasangka dan ini adalah peluang besar bagi hubungan baik antar sesama netizen dengan latar belakang yang berbeda sekalipun. Sama halnya ketika kita mulai mempertanyakan sebenarnya tujuan Tuhan memberi saya kehidupa ini untuk apa? Tidak akan pernah ada jawaban mutlak, karena yang tahu pasti hanya penciptanya. Tetapi, yang kita ketahui pasti adalah kematian itu mutlak akan terjadi. Karena hidup hanya sekali dan berarti, kita pasti ingin hidup sebaik-baiknya dan meninggalkan kesan yang manis bagi anak cucu.
Terlebih dalam media sosial dikenal track record, rekam jejak ini merupakan hal-hal yang kita tinggalkan selama beraktivitas di dunia maya atas nama diri sendiri. Ketakutan terbesar akan kematian didasari oleh perasaan belum menjalani hidup semaksimal mungkin, belum mengaktualisasikan potensi diri, dan belum bermanfaat bagi orang-orang di sekeliling. Karena kematian itu adalah kemutlakan yang misterius dari segi waktu datangnya, kita akan mengatur diri kita untuk konsisten melakukan hal positif kapan pun dan dalam media apa pun. Seperti ujar Dalai Lama, "Be kind whenever it possible, it always possible."
Kedua, semua yang terjadi di sekeliling kita umumnya bersifat netral, tergantung subjektivitas diri memaknainya mau melabelinya dengan kategori hitam atau putih. Tetapi karena unsur kemanusiaan kita yang diberi kemampuan pandai memilah, kita cenderung lebih mencondongkan pilihan kepada pilihan yang mendatangkan kebaikan. Pilihan-pilihan yang bertaburan di sekeliling kita senantiasa turut serta mempengaruhi perilaku dan tindakan kita, apa yang sering kita lihat, atau diperlihatkan secara berulang-ulang lama kelamaan akan menguatkan secara afirmasi. Sebab itulah memilah kondisi lingkungan itu perlu.
Misalnya memilih kerabat, memilih role model, dan memilih akun-akun yang hendak diikuti apakah mereka turut menyebarkan positive vibes atau malah sebaliknya. Pertanyaan kritis seperti itu sangat maklum ditanyakan sebelum kita mengidolakan seseorang tokoh. Karena hak diri kita adalah menyerap hal-hal yang dapat memboost potensi diri kita.
Dengan tidak membiarkan kegaduhan konflik yang dirasa tidak perlu berseliweran di timeline kita, kita sudah melakukan tindakan menyayangi diri sendiri dengan menghadiahkannya ketenangan. Dan senang dengan tenang beda tipis. Jadi ketika membuka media sosial di gadget kita, bayangkan kita hanya akan lebih bisa mengambil buah manisnya saja bukan sebaliknya. Upaya penyaringan, demi kesehatan mental diri adalah perlakuan yang memelihara. Bukankah hak diri kita ini mendapatkan perlakuan baik dari diri kita sendiri?
Meskipun mungkin saja ini hanya ekspektasi yang diupayakan. Sebelum memulai segala sesuatu, ketahuilah terlebih dahulu resikonya, dan turut serta berselancar dalam dunia maya berarti mau menerima segala resikonya. Begitulah seharusnya pengguna yang dewasa.
Ketiga, kehidupan nyata adalah prioritas. Jangan sampai melupakan itu. Sebagaimana dalam poin pertama dikatakan, memiliki tujuan tertentu dalam bermedia sosial sesungguhnya menyatakan bahwa media sosial hanyalah tools, sebuah alah yang diharapkan dapat mempermudah segala kebutuhan teknis dalam menjalani kehidupan. Peran penting kita lebih dibutuhkan di kehidupan nyata, kehidupan yang kita jalani. Apa yang kita lihat di media sosial terkadang hanyalah pengkaburan ilusi, yang kita lihat bukan mencerminkan yang sebenarnya. Pokoknya, kalau ingin merasa bahagia yang nyata, berbuatlah kebaikan, laksanakanlah pengabdian, perawatan. Yang kita gaungkan akan kembali gemanya kepada kita sendiri. Orang yang bahagia cenderung berbuat baik, dan bahagia akan menyehatkan mental kita.
Percaya atau tidak, media sosial seakan memiliki sisi gelapnya tersendiri. Sindrom ilusi sosial marak terjadi seiring bertumbuh menjamurnya media sosial di berbagai kalangan. Media sosial menjadi media pencitraan, mengilusikan citra dirinya dalam kehidupan dunia maya yang bertolak belakang dengan citra sebenarnya pada kehidupan sehari-harinya. Kenyataan ini adalah alasan kita untuk selalu berhati-hati dalam berselancar. Dan menjadi reminder bahwa justru kenyataan yang terjadi di depan mata kita adalah dimensi kehidupan yang utama. Selain itu hanya pemanis. Jangan sampai kesibukan di media sosial malah menghambat produktivitas dan proses rekonstruksi diri.
Diakhiri dengan kutipan Dalai Lama, "We can never obtain peace in outer world until we make peace with ourselves."
Sembari berenang dalam lautan yang sangat luas ini, jangan lupa mengantongi pengendalian dan kesadaran diri supaya tidak tenggelam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H