Setiap kali ada pengemis yang meminta-minta, sering kali saya menahan diri dari memberi. Mengapa? Ingatan saya melayang pada beberapa pengalaman pribadi dan pemberitaan tentang para pengemis yang kondisi ekonominya seharusnya sudah berposisi sebagai orang yang membantu.
Akan tetapi sering pula terbersit pikiran, "ah jangan-jangan mereka itu bukan pengemis, tapi malaikat yang mau menguji kedermawanan hamba Allah". Saat ngaji dulu, sering saya dengar dari para guru kisah-kisah ujian Allah kepada orang-orang berada. Sebetulnya mereka adalah para malaikat yang diutus kepada orang-orang sebagai ujian keimanan. Setelah itu, ada yang ditinggikan derajatnya dan ada juga yang direndahkan.
Di antara dua pikiran saling bertolak belakang ini, saya kemudian mengambil sikap. Jikapun ada uang berlebih dan mau berbagi ya dikasih saja. Dan jikapun tidak ingin bersedekah saya tolak saja mereka dengan halus. Selanjutnya berdoa pada Allah. Bukan tak ingin sedekah, namun hati tak sreg. Gitu aja.
Memberi uang kepada pengemis atau yang berjiwa pengemis hanya akan melahirkan orang malas. Mereka akan keenakan menadahkan tangan kepada para dermawan.
Dulu ada yang sering datang ke rumah meminta bantuan. Alasannya beragam. Anak butuh uang sekolah, sakit hingga biaya listrik. Awalnya saya berniat membantu. Namun orang itu datang semakin rutin. Tiap bulan sekali pasti datang ke rumah. Saya kemudian menawarkan untuk bekerja selama beberapa hari untuk dapat upah. Saya menegaskan kalau mau dapat uang harus kerja dulu. Setelah ditegaskan seperti itu, kedatangan mereka menjadi sangat jarang.
Jika kemalasan menjadi karakter maka bukannya membantu malahan menjerumuskan. Alih alih dapat pahala malah menambah dosa.
Tepat sasaran
Islam menjadikan sedekah sebagai sebuah komponen yang sangat terpuji. Pahalanya luar biasa. Bahkan dalam ayat Al Qur'an bercerita tentang harapan orang-orang yang sudah meninggal jika diijinkan untuk hidup lagi. Â Harapan mereka jika dikembalikan hidup akan memperbanyak sedekah.
