[caption caption="Gerbang kedua Kebon Awi"][/caption]Awi eut eut/ngarambat teh handeueul
Ngarambat na tangkal nangka
Nempo alam diraruksak
Manusa pikasebeleun
Teu nyaho ditatakrama
Kulineran ternyata tak mesti sekedar mengisi perut, pun bisa dilakukan untuk menambah wawasan tentang lingkungan sekitar. Ceritanya begini. Sehari sebelum gerhana matahari(8/3/2016), teman saya mengajak makan-makan di tempat yang punya nuansa Sunda Banget. Agar tak terlalu jauh, saya ajak mereka makan di Kebon Awi Kafe di Bukit Pakar Timur.
Saat masuk dan menyaksikan beberapa saung yang ditata apik, mereka berdecak kagum. “Wah, suasana ini yang saya suka” kata Taufik. Mereka langsung foto-foto. Saya pun tak ketinggalan. Sore itu, hujan turun gemericik. Tak terlalu deras, namun cukup membuat suasana dingin tambah menyengat. Untung saja saya sudah persiapan dengan jaket jadi bisa mengusir suasana dingin itu.
[caption caption="Suasana Pasundan yang asri dan sejuk"]
Saat pertama masuk, kita disambut dengan sebuah gerbang kayu yang mengarahkan ke jalan menuju sebuah bangunan bambu yang diisi beberapa kursi santai. Kami lalu turun dan di sinilah pemandangan yang menurut saya paling indah. Beberapa saung bambu diatur berderet-deret membawa suasana tatar Parahyangan yang asri dan harmoni. Kami duduk di sebuah panggung besar dan menikmati suasana ini diiringi musik alam tonggeret. Ngeeet, ngeeet ngeeet.
Sambil menunggu pesanan Nasi Cikur Panglipur, saya berkeliling di resto yang tak begitu besar, namun diatur dengan layout menarik sehingga optimal. Saat berkeliling saya menemukan berbagai koleksi bambu yang menarik. Kebon Awi sebelumnya memang dipakai untuk menyimpan koleksi bambu dari berbagai daerah. Beruntung saya bisa bertemu Ibu Otih, Owner Kebon Awi.
[caption caption="Haur Koneng anti sihir"]
Kesukaan pada bambu terkait dengan kedekatan tumbuhan itu dengan masyarakat Pasundan dan juga keunikan dan filosofinya. Orang sunda menyebut tanaman ini dengan sebutan awi, yang menurut Ibu Otih, menjelaskan jati diri manusia.
Awi adalah singkatan dari asal wedal ingsung yang artinya “asal kejadian manusia”. Filosofi ini adalah pengajaran akan asal mula kehidupan. Dari mana dia berasal dan akan kembali ke mana. Dalam konsep Islam, kesadaran ini sama dengan kesadaran keberasalan jati diri manusia dari Sang Maha Pemberi Kehidupan (inna lillah wa inna ilaihi rajiun).
[caption caption="es lilin mah ceuceu.... nama bambu juga"]
Dengar lagu seruling bambu menyampaikan kisah pilu perpisahan
Tuturnya, Sejak daku tercerai dari indukku rumpun bambu,
Ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.
Kuingin sebuah dada koyak disebabkan perpisahan
Dengan itu dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta.
Setiap orang yang berada jauh dari tempat asalnya
Akan rindu untuk kembali dan bersatu semula dengan asalnya.
Dalam setiap pertemuan kunyanyikan nada-nada senduku
Bersama mereka yang yang riang dan sedih aku berhimpun
“Kalau filosofi ini saja sudah bisa dipahami, maka kedudukan manusia sebagai khalifatullah bisa dilaksanakan dengan baik. Sebab dia akan malu ketika tahu kalau dia berasal dari Allah lalu melakukan perbuatan tak baik” Papar Ibu Otih.
[caption caption="berbagai kerajinan dari bambu"]
Begitu hormat kepada alam sekitarnya, sampai-sampai orang tua dulu, mau mematahkan ranting saja mereka ijin dulu dan mengutarakan akan dipakai apa benda itu. Hal itu tak lain karena kesagaran bahwa manusia dan alam sekitarnya adalah makhluk hidup yang harus saling menjaga.
Penjelasan ini kemudian menjadi benang merah dari beberapa bait yang saya kutip di awal tulisan ini. Artinya kira-kira begini “Bambu merambat dengan gemasnya. Merambat di pohon nangka, melihat alam dirusak manusia yang tidak tahu menjaga tata krama”.
[caption caption="Perlu akar yang kuat untuk tumbuh tinggi (Mushala kebon awi)"]
Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan manusia. Agar bisa tumbuh menjulang tinggi, manusia perlu mempersiapkan akar dan fondasinya yang menghunjam bumi. Menurut Ibu Otih, di situlah kemudian ada klik antara agama dan budaya lokal. Seringkali budaya dibentrokkan dengan agama berbekal pemahaman teks yang sempit. Dengan demikian budaya lama kelamaan hilang, padahal setelah dikaji lebih dalam dan luas, ternyata hadis-hadis yang dipakai itu tak bertolak belakang dengan budaya. Sayang Ibu Otih tidak menjelaskan lebih dalam tentang hal ini. Lagian pula Nasi Cikur Panglipur sudah tersedia lengkap dengan bajigur yang hangat dan segar.
[caption caption="Nasi Cikur Panglipur a la Kebon Awi Kafee (Dok. Kebon Awi Kafee)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H