Mohon tunggu...
Fajr Muchtar
Fajr Muchtar Mohon Tunggu... Guru - Tukang Kebon

menulis itu artinya menyerap pengetahuan dan mengabarkannya https://www.youtube.com/c/LapakRumi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Belajar Filosofi Bambu Sambil Kuliner Enak di Kebon Awi

13 Maret 2016   09:28 Diperbarui: 13 Maret 2016   11:49 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Haur Koneng anti sihir"]

[/caption]Ibu Otih, menjelaskan bahwa bambu-bambu itu dikumpulkan sejak tahun 80-an. Di Kebon Awi ini ada 30-an koleksi bambu dari berbagai penjuru dunia. Koleksi ini dikumpulkan sejak tahun 80-an. Saat itu berbagai penelitiannya tentang bambu ikut mengantarkannya pada berbagai seminar tentang bambu. Saat itu pula Ibu Otih mengumpulkan berbagai jenis bambu yang ditanam di rumahnya yang sekarang menjadi Kebon Awi Kafee.

Kesukaan pada bambu terkait dengan kedekatan tumbuhan itu dengan masyarakat Pasundan dan juga keunikan dan filosofinya. Orang sunda menyebut tanaman ini dengan sebutan awi, yang menurut Ibu Otih, menjelaskan jati diri manusia.

Awi adalah singkatan dari asal wedal ingsung yang artinya “asal kejadian manusia”. Filosofi ini adalah pengajaran akan asal mula kehidupan. Dari mana dia berasal dan akan kembali ke mana. Dalam konsep Islam, kesadaran ini sama dengan kesadaran keberasalan jati diri manusia dari Sang Maha Pemberi Kehidupan (inna lillah wa inna ilaihi rajiun).

[caption caption="es lilin mah ceuceu.... nama bambu juga"]

[/caption]Sebuah syair Rumi kemudian berkelebat-kelebat dalam pikiranku:

Dengar lagu seruling bambu menyampaikan kisah pilu perpisahan
 Tuturnya, Sejak daku tercerai dari indukku rumpun bambu,
 Ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.
 Kuingin sebuah dada koyak disebabkan perpisahan
 Dengan itu dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta.
 Setiap orang yang berada jauh dari tempat asalnya
 Akan rindu untuk kembali dan bersatu semula dengan asalnya.
 Dalam setiap pertemuan kunyanyikan nada-nada senduku
 Bersama mereka yang yang riang dan sedih aku berhimpun

“Kalau filosofi ini saja sudah bisa dipahami, maka kedudukan manusia sebagai khalifatullah bisa dilaksanakan dengan baik. Sebab dia akan malu ketika tahu kalau dia berasal dari Allah lalu melakukan perbuatan tak baik” Papar Ibu Otih.

[caption caption="berbagai kerajinan dari bambu"]

[/caption]Orang yang seperti itu pasti bisa hidup harmoni dengan alam sekitarnya. Sebab filosofi awi, selain pengenalan akan ketuhanan, juga pengenalan akan diri. Mengenal siapa dirinya dan apa musuh yang ada dalam dirinya. Makanya orang Sunda adalah orang yang bisa hidup selaras dengan alam dan juga mupusti (menyayangi dan memelihara) alam. Bentuk kecintaan kepada alam ini bukan untuk mipigusti (mempertuhankan) tapi sebagai bentuk kasih sayang dan pemeliharaan. Kata Ibu Otih, “Bukan untuk dipigusti (dipertuhankan) tapi kudu dipupusti”.

Begitu hormat kepada alam sekitarnya, sampai-sampai orang tua dulu,  mau mematahkan ranting saja mereka ijin dulu dan mengutarakan akan dipakai apa benda itu. Hal itu tak lain karena kesagaran bahwa manusia dan alam sekitarnya adalah makhluk hidup yang harus saling menjaga.

Penjelasan ini kemudian menjadi benang merah dari beberapa bait yang saya kutip di awal tulisan ini. Artinya kira-kira begini “Bambu merambat dengan gemasnya. Merambat di pohon nangka, melihat alam dirusak manusia yang tidak tahu menjaga tata krama”.

[caption caption="Perlu akar yang kuat untuk tumbuh tinggi (Mushala kebon awi)"]

[/caption]Dari sisi pertumbuhan, pada 5 Tahun pertama, bambu tidak akan menampakan pertumbuhan yang berarti fisik di atas tanah, namun selama tahun-tahun itu, akar bambu merambat ke sana kemari sebagai fondasi pertumbuhan ketinggian batang bambu. Makanya setelah melewati masa lima tahun itu, bambu kemudian mencelat tinggi. Tak ada kekhawatiran tumbang, karena sudah ditopang akar yang kuat.

Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan manusia. Agar bisa tumbuh menjulang tinggi, manusia perlu mempersiapkan akar dan fondasinya yang menghunjam bumi. Menurut Ibu Otih, di situlah kemudian ada klik antara agama dan budaya lokal. Seringkali budaya dibentrokkan dengan agama berbekal pemahaman teks yang sempit. Dengan demikian budaya lama kelamaan hilang, padahal setelah dikaji lebih dalam dan luas, ternyata hadis-hadis yang dipakai itu tak bertolak belakang dengan budaya. Sayang Ibu Otih tidak menjelaskan lebih dalam tentang hal ini. Lagian pula Nasi Cikur Panglipur sudah tersedia lengkap dengan bajigur yang hangat dan segar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun