Berbekal informasi dari Ibu Maria H, saya mengarahkan motor saya ke arah Leuwi Gajah. Tempat ini dulu populer karena sempat terjadi ledakan besar. Ya Leuwi Gajah adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah dari kota Bandung. Setelah terjadi ledakan, pembuangan sampah dialihkan ke tempat lain. Walau sempat berputar-putar di kota Cimahi, akhirnya TPA ini saya temukan.
“Terus saja hingga menemukan gerbang Desa Wisata Cireundeu” SMS bu Maria. Sambil mengendarai motor dengan pelan, saya mencoba membayangkan saat TPA ini menjadi tempat pembuangan sampah. Saat saya melihat, masih terlihat kepulan asap di sana-sini. Kata teman saya, asap itu bukan karena sengaja dibakar tapi karena uap yang dihasilkan tumpukan sampah yang luar biasa dan mengeluarkan gas.
Setelah melewati area TPA, akhirnya saya temukan gerbang masuk ke desa wisata Cireundeu. Suasana saat itu sedang ramai. Ada acara seren tahun (pergantian tahun sunda) yang dilakukan selama beberapa hari. Saat saya datang sudah memasuki hari kedua dan puncaknya adalah malam ketiga dan hari ketiganya. Walaupun bukan pada puncaknya, saya menyaksikan keramaian di desa itu.
Menurut saya, yang paling unik dan membedakan desa adat Cireundeu dengan yang lainnya adalah makanan konsumsi hariannya. Jika kita lebih sering mengkonsumsi nasi/beras, di Cireundeu makanan pokoknya adalah singkong. Hampir semua makanan diolah dari bahan singkong. Nasinya dibuat dari singkong dan disebut rasi atau beras singkong. Panganan lainnya seperti kue dan camilan juga dari singkong. Semua serba singkong. Dengan keunikan itu tak heran jika desa ini kemudian disebut sebagai Desa Wisata Ketahanan Pangan (dewi tapa).
Acara seren tahun sendiri merupakan acara penutup tahun dan sambutan untuk tahun yang akan datang. Secara perhitungan kalender saka sunda, tahun ini sudah menginjak tahun 1949. Acara ini biasa dilakukan pada tanggal 1 Sura.
Inti dari acara seren tahun ini sendiri adalah manifestasi syukuran kepada Yang Maha Kuasa. Oleh karenanya, dalam acara ini berbagai macam sesajen hasil bumi turut disediakan dalam proses upacara. Maka mulai dari gerbang hingga pusat upacara, berbagai hasil bumi dijadikan hiasan. Uniknya semua orang boleh mengambil dan menikmatinya.
Acara kesenian tak ketinggalan ikut meramaikan upacara seren tahun ini. Maka ramailah suasana dengan lagu-lagu yang kebanyakan isinya adalah ajakan bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Diringi suling, kecapi, gendang, celempung dan karinding menambah suasana semakin hangat. saya betul-betul menikmati alunan musik itu, namun pagelaran wayang adalah yang ditunggu masyarakat.
Ibu Maria yang datang terkemudian memborong rasi dan beberapa kue yang dikelola oleh ibu-ibu di desa wisata ini. "permintaannya banyak tapi persediaannya sedikit" kata bu Maria agak kecewa. Bu Maria yang konsern dalam bidang ketahanan pangan ini juga memotivasi saya untuk membuat yang mirip. Apalagi saya diamanahi tanah wakaf yang cukup luas. Sambil menikmati hidangan yang disediakan kami ngobrol sambil menunggu hujan reda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H