Mohon tunggu...
Fajr Muchtar
Fajr Muchtar Mohon Tunggu... Guru - Tukang Kebon

menulis itu artinya menyerap pengetahuan dan mengabarkannya https://www.youtube.com/c/LapakRumi

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

KAA ke-60, dari Ngaleut hingga "Angklung for The World"

16 Mei 2015   04:55 Diperbarui: 18 April 2017   09:11 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_412475" align="aligncenter" width="560" caption="Sociteit Concordia"][/caption] Suka ria peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika memberikan nuansa tersendiri bagi warga Bandung. Jika peringatan tahun lalu sepertinya hanya pemkot saja yang bekerja, tahun ini relawan-relawan diajak membenahi kotanya. Bahkan para preman juga diturunkan oleh Kang Emil, panggilan akrab Walikota Bandung. Mang Komar, preman berhati Hello Kitty, salah satu pemeran di sinetron Preman Pensiun, oleh Kang Emil, didaulat menjadi komandan para relawan.

Saya terikut dalam aura itu. Larut dalam kegembiraan warga kota menyambut kotanya yang semakin cantik, bersolek dan menyambut para tamu dalam perhelatan internasional yang secara berkala diperingati 10 tahun sekali.

[caption id="" align="aligncenter" width="556" caption="Beginilah kami menikmati dan mencintai kota kami. Sejarahnya kami kenali dan kotanya kami jaga (latar blk Hotel Homan)"][/caption] Untuk menghirup suasana lama dalam balutan masa kini, saya mengikuti jalan-jalan a la Komunitas Aleut. Saat itu, tema yang ditawarkan adalah tentang suasana KAA pada tahun 1955. Komunitas Aleut adalah komunitas kumpulan tukang jalan dan pecinta sejarah yang ingin mencintai kota tempat tinggalnya lewat apresiasi sejarah dan wisata. Model aleut-aleutan ini bisa jadi model mengenalkan wisata setempat yang juga didukung olehIndonesia Travel.

Maka berkumpullah sekitar 50-an orang aleutian menyusuri Jalan Asia Afrika dan sekitarnya yang padat. Dan berceritalah para anak muda itu tentang Konferensi Asia Afrika.

[caption id="" align="aligncenter" width="536" caption="Kegembiraan lain di sungai Cikapundung yang membelah Asia dan Afrika"]

Kegembiraan lain di sungai Cikapundung yang membelah Asia dan Afrika
Kegembiraan lain di sungai Cikapundung yang membelah Asia dan Afrika
[/caption]

Konferensi Asia Afrika 1955 diadakan di Gedung Merdeka. Dulu, gedung itu bernama Societeit Concordia, perkumpulan orang-orang elite warga Eropa. Jangan harap orang Eropa tak berkelas bisa masuk ke Sociteit ini. Apalagi warga pribumi. Societeit Concordia didirikan tahun 1895 oleh Asisten Residen Priangan, Pieter Sijthoff.

Societeit Concordia adalah gambaran kelam penjajahan atas bangsa Indonesia saat itu. Societeit ini sedemikian elitnya sehingga tak terjangkau oleh kaum pribumi. Untuk menegaskan kelasnya itu, bahkan pernah ada tulisan kawasan ini tidak boleh dimasuki anjing dan orang pribumi.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Bersama bendera Iran"][/caption] Sukarno mengguncang simbol kolonialisme itu dengan semangat kemerdekaan dengan mengadakan Konferensi Asia Afrika. Pada penutupan Konferensi Asia Afrika tanggal 24 April 1955, Presiden Sukarno memberikan nama baru bagi gedung Societeit Concordia, yaitu Gedung Merdeka.

Selain Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika dihuni juga oleh hotel-hotel yang menjadi tempat menginap para delegasi KAA 1955 dan dari kawasan Hotel Preanger dan Homan dilakukan jalan kaki yang sekarang dikenal sebagai Historical Walking. Saat itu, penjagaan tidak terlalu ketat seperti peringatan KAA ke-60. Warga masyarakat bisa bersalaman dengan para pemimpin Asia Afrika atau meminta tanda-tangannya.

Mungkin lautan manusia di Jalan Asia Afrika ahad kemarin, lebih banyak ketimbang saat terjadinya Historical Walking tahun 1955. Dalam suasana padat dan macet itu, semua orang bergembira dan menikmati suasana yang sangat padat. Ada yang duduk di kursi yang disediakan di pinggir jalan sambil mungkin membayangkan duduk bersama kekasih di Kota Bandung yang romantis seperti di Paris.

Nah, ada satu tweet dari Kang Emil yang lucu tentang Bandung dan Paris ini. Nah, ini dialog di tweet-nya "Pa Wali, nuhun, suasana udah kayak di Paris". "emang udah ke Paris?". "Belum..".

[caption id="" align="aligncenter" width="552" caption="Mesjid Agung Bandung yang bersolek dan awan seakan ikut menari bersama"][/caption]

Jangan lupakan suasana malamnya. Suasana malamnya justru lebih romantis. Jalan Asia Afrika dihiasi lampu-lampu beraneka warna, ada air mancur joget dengan balutan lampu yang indah. Kota Bandung betul-betul romantis apalagi sambil makan cilok bersama kekasih.

Kawasan Alun-alun sudah mendapat sentuhan terlebih dahulu. Kawasan ini dipasangi rumput sintetis berwarna hijau segar yang menjadi ajang bermain dan berkumpul keluarga. Sungguh ramai. Itulah salah satu upaya Pemkot Bandung untuk menjadikan kawasan-kawasan umum sangat nyaman. Bahkan tak lama lagi, kawasan ini juga akan dilengkapi dengan perpustakaan.

Halte bis di Alun-alun juga merupakan salah satu halteu tercantik yang pernah saya lihat di Bandung. Jadi puas-puaskanlah berfoto ria di kawasan ini dan terus pelihara Bandung yang sudah dibuat cantik ini.

Angklung for The World

[caption id="" align="aligncenter" width="483" caption="Hey! Tidakkah kalian liat? Wajah-wajah ramah, tamah, tur someah itu penuh dengan kebahagiaan yang benar-benar mereka jiwai!"][/caption]

Tanggal 23 pagi, ada sebuah twiter mampir di timeline. Ada pendaftaran angklung on the spot. Saya mengutus dua orang guru untuk mendaftar langsung. Alhamdulillah, bisa didaftarkan. Tidak hanya satu atau dua, 60 orang sekalian. Akhirnya para murid yang ikut ekskul angklung dibawa serta. Para siswa itu heboh. Tentu saja mereka sangat senang ikut ajang yang tidak mereka sangka-sangka itu.

Dengan gerak cepat tiga mobil angkot disiapkan membawa para siswa yang sudah tak sabar mengikuti Angklung for The World ini. Satu mobil sampai kesasar jalan entah ke mana. Setelah lama ditunggu di lokasi, akhirnya mobil ini datang juga.

Angkot kami suruh parkir di dekat Gor Saparua. Dan kami berjalan cepat bahkan bisa disebut berlari-lari mengejar waktu. Bribet deh, mengorganisasi 60 orang dalam kondisi yang sangat mepet itu. Hal itu sebetulnya berkaitan dengan persediaan angklungnya.

Angklung yang sudah disiapkan makin lama makin menipis beriring dengan banyaknya orang yang datang. Bu Lia, guru ekskul angklung betul-betul ketar-ketir melihat situasi ini. Sebentar-sebentar menengok ke arah gerbang. Sejurus mendekati panitia yang membagi angklung. Akhirnya semua rombongan datang dan dengan cepat angklung dibagikan. Alhamdulillah semua bisa dapat anklungnya.

Kang Emil turun langsung menertibkan peserta yang ikut dalam acara pemecahan rekor dunia itu dengan 20.000 orang yang berkumpul. Sebentar-sebentar Kang Emil menertibkan barisan. Hingga tibalah pada waktu yang ditunggu…. Keeerk… angklung ditarik dan berkumandanglah lagu We Are The World. Ya, kita adalah dunia. Dan inilah dunia kita yang mesti dijaga.

Para siswa pulang dengan wajah merah padam karena ditimpa matahari siang itu, namun mereka gembira dan bangga membawa pulang angklung dengan stiker Indonesia Travel.  Yusri mengatakan, "Kami dari member setia angklung bangga dan bahagia bisa ikut berpartisipasi di acara Angklung For The World untuk memecahkan rekor 20.000 pemain angklung di Stadion Siliwangi Bandung".

Tak hanya siswa yang gembira. Gurunya juga bahagia. Ibu Ovi menuliskan kebahagiaannya bisa mengikuti ajang ini, “Bahagia itu ketika bisa ikut terlibat dan menyukseskan acara ceremonial kenegaraan, puji syukur kupanjatkan pada-Mu, terimakasih atas peluh yang telah kalian berikan, rekan-rekan dan anak-anakku yang sangat hebat! Ibu banggaa... Sejarah hari ini telah kau torehkan”. Sama dengan Ibu Ovi, Ibu Yanti menuliskan kegembiraannya, “Seneng banget bisa jadi bagian dari KAA....”

Alhamdulillah… semoga semangat KAA-nya sampai dengan penuh kegembiraan.

Friendship Festival KAA

Setelah perhelatan ini selesai, gempita ria di Bandung tidak berhenti begitu saja. ada banyak even digelar di sekitar Gedung Merdeka. Ada pekan Festival Konferensi Asia Afrika (KAA) 2015 yang digelar dan sangat heboh. Acara festival ini dipusatkan di Jl. Cikapundung Timur. Jalan sepanjang 100 meteran itu ditutup dan dibuat panggung pentas buat para penggembira festival.

Rabu (29-04-15) saat saya menyaksikannya, panggung sudah diramaikan oleh berbagai pementasan. Berbagai budaya tampil dengan sangat memukau. Yang tampil juga memiliki rentang usia yang lebar. jadi yang tampil mulai dari anak kecil hingga nenek-nenek.

Seorang gadis cilik meramaikan panggung dengan aksi pencak silatnya. Dengan kuda-kuda kuat dan gerakan tubuh yang ringan, menghentak panggung dengan iringan musik kendang pencak yang sangat rancak. Beberapa penonton ikut naik panggung menyertai gadis cilik kelas V SD itu. Hentakan kendang berakhir yang juga mengakhiri aksinya. Pentas ditutupnya dengan salam penghormatan kepada penonton dan tepuk tanganpun bergema.

Tak cukup lama, rombongan penari yang juga masih gadis-gadis cilik menghangatkan panggung. Baju merah mencoloknya dan gerakan-gerakan atraktif tarian tradisional geol karawangan membuat tepuk tangan membahana. hampir 15 menitan mereka menari menyebarkan energi persahabatan dalam balutan tarian energik karawang. Asyik melihatnya.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Para manusia burung yang mistis"][/caption] Tiba-tiba muncul sepasang manusia burung. Eh, itu bukan tokoh superhero dari komik-komik lho. mereka adalah penari Dayak dari kalimantan. Penarinya berasal dari Kutai dan Bontang. Musik geol karawang yang centil dan menggoda langsung diganti dengan musik pengiring yang mendayu.

Saya langsung merasakan ritme mistis yang mereka tebarkan. Dingin, datar dan mellow banget terasanya. padahal siang itu udara sangat panas. Kedua penari itu menari di bawah panggung. berputar-putar, mandar digigit mulutnya, sesekali terdengar teriakan aneh. Tak jelas apa yang diteriaka. Memanggil arwahkah? bulu kuduk saya langsung berdiri.

perasaan itu kemudian berganti menjadi hangat lagi setelah pentas penari burung dari dayak diganti oleh mojang-mojang Bandung yang menari jaipongan. Yang pentas kali ini adalah anak-anak SMA. Gadis-gandis cantik kota kembang ini tampil menggemaskan.

Satu kelompok menggunakan pakaian berwarna maroon dan kuning keemasan. Gadis-gadis dengan ciput ini menari dengan gemulai. mengelus kembali rasa yang tadi terasa dingin.  Gerak gemulai tangannya seperti menawarkan persahabatan yang hangat. Hati ini juga menyambut persahabatan ini dengan kehangatan serupa.

Panggung paling panas terjadi setelah gadis-gadis penari masuk ke belakang stage. Masuklah gadis-gadis muda di tahun 50-an yang sekarang sudah menjadi mami, oma dan nenek. Ya. Panggung dipanaskan oleh kelompok para wanita sepuh dengan semangat muda yang menyebut kelompoknya dengan nama Sweet Song.

Penampilan mereka sangat mempesona. Suaranya masih merdu, lagu-lagu yang dibawakan juga sweet banget dan goyangannya tak kalah dengan gadis-gadis belia penampil sebelumnya.  Semangatnya masih semangat muda. Senang melihat semangat seperti itu.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Sweet Song "][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun