Jokowi saat ini sedang galau dan tentu saja pusing tujuh ribu keliling. Tak heran jika tiba tiba merayu dan merajuk dengan bilang, "Saya seorang demokrat". Hal ini tentu bertolak belakang ketika sebelum dirinya dicapreskan PDIP untuk pilpres 2019, yang dengan pedenya menyorongkan putra tertuanya untuk menerima AHY. Tindakan yang dianggap merendahkan AHY secara politik, karena ke istana cuma ditemui oleh pedagang martabak yang sama sekali bukan politisi. Tentu saja AHY ke istana bukan untuk bicara soal bisnis martabak tetapi politik.
Deklarasi capres Gerindra yang ditunda tentu saja menyulitkan kubu Jokowi untuk menentukan teman koalisi dalam sosok cawapres. Jadi bisa dimaklumi kalau sekarang terkesan berusaha menjadi calon tunggal. Tidak saja merayu demokrat, bahkan wacana mencawapreskan Prabowo berpasangan dengan Jokowipun di lantunkan. Tentu saja ini ide yang membunuh demokrasi. Begitu takutnya kalah sehingga berusaha menjadi calon tunggal melawan kursi kosong.
Tetapi ketakutan tersebut sebenarnya bisa dimengerti. Lima partai yang sudah mendeklarasikan mengusung Jokowi sebenarnya hanya suara elit partai. Sama sekali tidak mencerminkan pilihan konstituen. Bahkan saya prediksi suara PPP, satu satunya partai berbasis Islam yang mendukung Jokowi tidak akan mencukupi parlemen threshold untuk bisa membentuk fraksi sendiri di tahun 2019. Jika melihat potret PPP Jakarta dengan Haji Lunglungnya dan peserta demo Ahok, maka konstituen PPP akan berpindah ke PKS, PAN, PBB dan PKB.Â
Sehingga praktis Suara Jokowi hanya diperoleh dari PDIP, Sedangkan grassroot Golkar, Hanura dan Nasdem tidak mungkin 100% memilih Jokowi. Bahkan Golkar yang digadang gadang menjadi penyumbang suara Jokowi, jauh - jauh hari sudah menyatakan sikap pragmatis akan ikut berkuasa siapapun yang menang. Artinya Golkar tidak akan ngotot mengkampanyekan Jokowi, tetapi pasti hemat energi dan akomodasi untuk mengkampanyekan pemilu legislatifnya.
Sebaliknya konstituen PKS, Gerindra, PAN, hampir tidak mungkin menyeberang memilih Jokowi. Diluar kedua kubu tersebut, masa mengambang akan cenderung memilih presiden baru. Faktor ekonomi dan psikologis jenuh dengan hiruk pikuk politik di jaman Jokowi akan mempengaruhi keputusan meninggalkan Jokowi. Jokowi saat ini tidak lagi dianggap sebagai new hope seperti saat pertama kali dipromosikan sebagai capres di 2014.
Berikut ini indikasi bahwa suara Jokowi banyak tergerus.
- Di pilkada DKI, dimana masyarakatnya majemuk, tuah Jokowi sebagai presiden yang mengendorse Ahok ternyata berujung kekalahan.
- Follower Anies Baswedan otomatis akan bergeser ke Prabowo dari dulunya di kubu Jokowi.
- Saat demo Ahok, banyak peserta dari daerah tapal kuda diluar Jakarta. Artinya masyarakat luar Jakarta pun sudah terpolarisasi dengan kuat untuk tidak mendukung Jokowi lagi.
- Lihat saja di media sosial, suara yang mendukung Jokowi jauh berkurang dibandingkan tahun 2014.
Dari keempat poin diatas menunjukkan Jokowi memang sedang kehilangan angin. Saat ini langkah Jokowi seperti terkunci, kesulitan menentukan cawapres karena menunggu deklarasi Gerindra cs. Sebaliknya Gerindra cs masih bisa bermanuver melalui cawapres bahkan capresnya.Â
Satu lagi, jika Anies Baswedan sukses merebut simpati rakyat Jakarta dan mampu dilihat dipanggung nasional. Maka orang akan berpikir, ternyata Anies lebih berhasil tanpa harus melakukan jurus kontroversial ala Ahok. Ternyata memimpin dengan kesantunan lebih menjanjikan daripada caci maki ala Ahok. Empiris dengan itu, orang akan berpikir ternyata Jokowi bukan yang terbaik.
Salam satu periode, petualangan anda harus berakhir lebih cepat. Bukan karena sara, tetapi rakyat sudah jenuh dengan kisruh import beras dan klaim stock beras mencukupi. Karena faktanya harga beras mahal? Mahal beneran atau hoax?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H