Sejak Desember 2014, eksport dan import Indonesia terus mengalami penurunan Year on Year. Tidak tanggung tanggung, eksport Bulan Februari 2015 turun -16.02% (YoY), Import Bulan Februari 2015 turun -16.24%. Trend penurunan terus membesar sejak Nopember 2014.
[caption id="attachment_373302" align="aligncenter" width="468" caption="crop dari markets.com"][/caption]
Bagi Indonesia, eksport import adalah indikator kuat untuk menilai tingkat kesehatan ekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah.
Eksport
Klaim pemerintah bahwa menurunnya nilai tukar rupiah akan mengangkat nilai eksport kita terbukti tidak benar. Eksport Indonesia saat ini lebih banyak didominasi batubara, bahan tambang dan CPO. Sedangkan hasil industri dan kerajinan hanya memiliki porsi yang sangat kecil.
Sementara harga batubara, bahan tambang dan CPO sangat dipengaruhi oleh permintaan industri global. Saat ekonomi global melambat, otomatis permintaan bahan dasar juga melemah yang berakibat pada turunnya harga. Harga komiditas yang turun memukul margin bisnis pelaku industri.
Sementara hasil industri dan kerajinan Indonesia juga bukan bagian gaya hidup utama dari konsumen, seperti HP, computer, mobil, dll. Akibatnya eksport kerajinan Indonesiapun menjadi sangat sensitif terhadap penurunan daya beli global.
Import
Penurunan import bukan dominan disebabkan menurunnya konsumsi bahan pangan import seperti kedele, jagung, gula rafinasi, daging sapi, bawang putih dsb. Penurunan import ini justru lebih dominan disebabkan oleh melemahnya industri dalam negeri. Import mesin produksi, bahan baku industri dan realisasi investasi dominan memukul besaran import.
Rencana penghentian produksi mobil GM (General Motor) di bekasi harusnya di sikapi pemerintah dengan serius dan bijak. Alasan normatif kalah bersaing dengan LCGC harusnya tidak ditelan mentah - mentah. Tetapi justru karena proyeksi pertumbuhan ekonomi yang tidak pasti. Sehingga GM akan berhitung keras jika harus menambah investasi supaya bisa lebih bersaing, tetapi disisi lain prospek ekonomi makin tidak menentu.
Jangan Bandingkan kita dengan Rusia dan Eropa.
Bapak Presiden Jokowi saat ditanya soal Rupiah selalu berkelit dan membandingkan dengan Rusia dan Eropa. Ini jelas perbandingan yang membahayakan.
Rusia saat ini sedang mengalami sangsi ekonomi oleh Amerika dkk akibat perang Crimea di Ukrania. Sementara Eropa, belum tuntas permasalahan krisis ekonominya. Ancaman Yunani untuk keluar dari mata uang bersama Euro dan ancaman default utang jatuh temponya jelas bukan situasi yang baik.
Indonesia tidak sedang perang atau terkena sanksi ekonomi, tidak juga sedang meminta dana bailout dari luar negeri. Jadi kenapa mesti membandingkan diri dengan yang terjelek?
Menurut saya, semua kisruh ekonomi ini diawali dari liberalisasi pasar domestik, melalui pencabutan bermacam subsidi. Saya bukan anti pengurangan subsidi, tetapi harusnya pemerintah berhitung lebih cermat mengenai subsidi dan struktur ekonomi Indonesia baik mikro maupun makro.
Apakah dalam pencabutan subsidi pemerintah tidak menelaah struktur APBN kita? Belanja negara kita dibiayai sebagian besar oleh pajak baik perseroan maupun perorangan. Kita bukanlah negara yang positip neraca eksport importnya. Begitu juga dengan infrastruktur dan regulasi yang ada.
Saya benar benar heran, apakah pemerintah tidak memperhatikan sama sekali detail seperti itu dalam strategi pengurangan subsidi? Jargonnya sih keren banget, dengan pencabutan subsidi kita bisa fokus pada pembenahan infrastruktur. Sayangnya tidak dijelaskan bagaimana skema ideal membangun infrastruktur itu.
Sungguh paradox, di satu sisi meliberalkan hajat hidup orang banyak, disisi lain pemerintah harus menanggung sendirian resiko investasi jangka panjang. Mungkinkah saat infrastruktur itu sudah terbangun, rakyat sudah tidak mampu menikmatinya karena terlanjur lebih miskin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H