[caption id="attachment_321166" align="aligncenter" width="572" caption="Gambar di capture dari kompas dot com"][/caption]
Jokowi mengakui keberadaan pasukan cybernya di dunia maya. Tetapi keberadaan pasukan Jokowi adalah sebagai reaksi beladiri akibat serangan yang sebelumnya di terima pihak Jokowi. Alasan yang masuk akal, melakukan serangan balik menunjukkan bahwa sebagai korban serangan sebelumnya kubu Jokowi tidak tinggal diam dan mempunyai kemampuan untuk melakukan perlawanan. Seperti yang diucapkan Jokowi dalam artikel tersebut. http://nasional.kompas.com/read/2014/04/23/1834561/Jokowi.Diserang.Masa.Diem.Saja.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp
Pernyataan Jokowi itu menjawab keberatan Pihak Gerinda telah menjadi korban Pasukan Nasi Bungkus yang mengarah pada kubu Jokowi. http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/04/23/2127590/gerindra.mengaku.jadi.korban.pasukan.nasi.bungkus.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp
Mengambil peran sebagai KORBAN
Saling memposisikan diri sebagai korban sepertinya sudah menjadi pakem dan senjata utama para politikus mengambil hati para pemilih di beberapa Pemilu di Indonesia.
- PDIP memenangkan pileg 1999, dengan mendompleng reformasi sebagai korban Orde Baru. Walaupun kenyataannya reformasi dilakukan oleh mahasiswa bukan oleh PDIP.
- SBY memenangkan Pilpres 2004, dengan menempatkan diri sebagai korban Megawati yang tertangkap kamera bersikap tidak simpati pada SBY.
Sebagai masyarakat berbasis budaya agraris memang akan cenderung bersikap melankolis, mudah simpati kepada korban sekaligus lebih memakai perasaan dibanding bersikap sesuai fakta. Tak heran para politisi lebih suka memposisikan diri sebagai korban untuk menjaring suara rakyat, dibanding harus berbicara ide dan program kerja.
Jadi bukan hal yang aneh jika seorang capres tidak bisa menjabarkan program kerjanya dengan alasan masih digodok tim nya walaupun publik tahu bahwa dia telah mendeklarasikan diri sebagai capres. Deklarasi tanpa program kerja? betapa malangnya nasib rakyat negeri ini.
Siapa Penyerang Sebenarnya di Dunia Maya?
Tidak sulit mencari siapa penyerang agresif fi dunia maya dalam dunia politik di Indonesia. Silahkan buka facebook, twitter atau media berita online. Kita akan melihat dengan sangat jelas bahwa 80% media tersebut sudah dikuasai oleh relawan Jokowi. Jika relawan Jokowi ini menyerang dengan data dan fakta itu akan lebih baik. Tetapi kenyataannya, serangan itu lebih bersifat bully. Siapa diantara akademisi, pakar, politisi dll, yang tidak di bully relawan Jokowi jika berkomentar berseberangan dengan kepentingan Jokowi?
Distorsi Suara.
Bagaimana mungkin Relawan Jokowi bisa mendominasi dunia maya sampai 80% jika kenyataannya suara mereka di pileg tidak sedominan keberadaan mereka di dunia maya. Hasil hitung cepat pileg 2014 suara PDIP yang merupakan representasi Jokowi, secara nasional kurang dari 20%. Di wilayah DKI dimana user dunia maya paling besar diantara daerah lain di Indonesia, PDIP hanya meraup 27% suara pemilih. Masih kalah dibanding suara golput DKI yang mencapai 30%.
Tirani Dunia Maya
Di Chinapun, pengguna dunia maya dilarang menyampaikan berita bohong atau membully. Jika posting membully di baca lebih dari 100 ribu user lain, sudah cukup bagi aparat untuk menggelandangnya ke muka hukum. Tetapi di Indonesia kebebasan dunia maya ini sudah menciptakan tirani baru. Sudah waktunya tirani dunia maya diakhiri. Jangan biarkan suara  rakyat dimanipulasi di dunia maya.
Tirani Dunia Maya = Mungsuh Demokrasi
Saat tirani dunia maya menjajah suara publik, kita patut prihatin. Karena sesungguhnya demokrasi sudah mati. Demokrasi telah mati diinjak injak oleh pulsa internet gratis dan oleh mereka yang telah kehilangan nurani dengan memanipulasi dunia maya.
Demokrasi Mati = Pembodohan Publik
Demokrasi yang mati karena tirani dunia maya sesungguhnya sangat berbahaya dan menghina akal sehat. Silahkan baca bagaimana relawan Jokowi membully narasumber yang berseberangan dengan Jokowi, Apapun ide yang berseberangan dengan Jokowi dianggap salah, sebaliknya apapun kesalahan Jokowi dianggap kebenaran mutlkak. Jika kebenaran sudah dibelokkan, maka kehancuran dan masa depan yang penuh kegelapan adalah pilihan yang tidak bisa ditolak.
Semoga banyak diantara kita sadar, bahwa kompetisi apapun harus ada aturannya bukan berlandas hukum rimba dan tanpa etika. Karena itulah yang membedakan kita dari dunia hewan dengan hukum rimbanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI