Lambatnya kenaikan BBM yang sebelumnya diwacanakan 1 November 2014 menjadi paradok. Saat kondisi politik masih rawan antara klaim kemenangan Pilpres dan pelantikan Presiden, kubu Jokowi gencar memaksa SBY untuk menaikkan BBM. Padahal itu jelas saat yang kurang tepat secara ekonomi politik.
Menjadi Paradok, setelah Presiden dilantik dan politik relatif stabil, pemerintah berbalik tidak ada nyali untuk menaikkan BBM. Mengulur-ulur waktu yang memang sudah diwacanakan tentu tindakan bodoh. Karena di masa penantian ini hampir dapat dipastikan konsumsi BBM akan naik dibanding average sebelumnya.
Masyarakat pemilik kendaraan akan cenderung mengisi full tank tangki kendaraannya. Di sisi lain secara psikologis dengan BBM penuh, orang akan memakainya lebih boros.
BBM adalah indikator virtual nilai tukar.
Banyak aktivitas ekonomi yang dipengaruhi oleh BBM. Dengan kata lain, kenaikan BBM akan menurunkan nilai uang kita. Katakanlah kenaikan BBM sebesar 30%, maka secara gradual, nilai uang kita akan turun sebesar 30% dari nilai-nilai barang yang ada.
Salah satu barang yang bisa kita beli tanpa takut terdepriasi adalah Dollar. Kenaikan Dollar beberapa hari belakangan, salah satunya dipengaruhi oleh early signal soal BBM. Mesti diketahui tren kenaikan dollar saat ini belum seberapa jika dihitung secara teknikal dan fundamental.
Intervensi BI
Sangat mungkin BI akan mengintervensi pasar untuk mendampingi kenaikan BBM, tetapi intervensi itu hanya akan melandaikan grafik, sulit untuk memutus relasi BBM dan Dollar.
Saat tulisan ini dibuat Dollar berharga 12.200 Rupiah.
Kenaikan BBM adalah strategi.
Bagaimana mungkin anda orang-orang di kabinet sekarang berkoar-koar akan kenaikan BBM tetapi di sisi lain mengulur-ulurnya? Kenaikan BBM ada sebuah strategi, perlu pengondisian yang cermat sehingga grafik tidak menukik. Di sisi lain efek negatifnya bisa diredam dengan strategi fundamental yang bagus sehingga tren bisa berbalik. Memang begitulah fungsi BI dan Depkeu menstabilkan ekonomi.