1. Pegunungan Serayu Selatan (Puncak tertinggi G. Lanang 1.102 meter dpl
Matahari sudah dekat dengan titik kulminasinya dan panasnya udara membuat keringat harus keluar untuk mendinginkan tubuh. Langkah gontaiku diperparah dengan rasa perih di kulit lenganku karena luka tipis memanjang yang dimasuki asinnya air garam dari keringat tubuh saya. Masih kuingat dengan jelas luka di lengan saya yang diakibatkan gesekan pinggiran daun jagung yang sangat tajam ketika melintas kebun jagung terakhir yang berada di ujung desa Berta, Susukan, Banjarnegara.Â
Dua desa sudah berada dibelakang punggungku dan di desa ketiga memaksa saya harus berhenti karena kehausan.Â
"Mas, kita istirahat dulu ya." pintaku ke kakak sepupu saya.Â
"Baiklah. Kita minum degan (bahasa Jawa untuk kelapa muda) dulu di depan situ." ajak kakak sepupu saya.Â
Kelapa berwarna hijau 3 kali tebas sudah memperlihatkan airnya yang sangat segar. Tajam sekali parang penjual kelapa muda itu. Sampai saya harus minta ijin untuk melihat dan mengelus parang itu. Benar benar tajam gumanku.Â
"Maaf Pak, terbuat dari apa parang ini?" selidikku.
"Per baja." jawabnya singkat.
Pantas simpulku dalam hati setelah diterangkan panjang lebar oleh kakak sepupu saya. Parang atau golok yang terbuat dari baja pasti sangat tajam tapi kelemahannya mudah patah. Beda kalau terbuat dari besi biasa, gampang bengkok dan tak lama tajamnya. Jadi kita harus mengasahnya setiap kali akan memakainya.
Dahaga saya sudah terlupakan dengan keinginan tau saya tentang parang yang tajam itu. Air kelapa pelan pelan habis sudah mengalir ke perut saya lewat sedotan plastik. Bunyi udara di sedotan plastik menandai betapa hausnya saya kala itu. Air kelapa dari desa Sirkandi, kecamatan Purwareja Klampok, kabupaten Banjarnegara memang sangat menyegarkan tergorokan saya dan kenangan akan desa ini tersimpan di dalam memori. Langkah gontaiku tidak terlihat lagi dan desa ketiga saya lalui dengan gembira walau saya sudah jauh tertinggal dengan kelompok anak SMA yang sudah berjalan duluan di depan.