Pendidikan layaknya sebuah hajatan besar setiap tahun di negeri tercinta ini dengan berbagai ritual edukatifnya, seperti pendaftaran peserta didik baru (PPDB), proses pembelajaran dengan segala dinamikanya, dan berujung pada ujian akhir tahun (USBN dan UNBK). Berbagai masalah yang sama dan massif sering terulang dalam dunia pendidikan bak cerita fiksi yang ribuan seri tak menentu kapan akhir ceritanya. Pendidikan menghabiskan waktu dan energi pada masalah yang sama tanpa terobosan yang jitu.
Di sisi lain, dunia terus berkembang pesat bahkan dunia digital telah menembus batas ruang dan waktu dengan kemajuan teknologi yang sukses merevolusi gaya hidup manusia. Perjumpaan manusia secara langsung (face to face) mulai tergantikan dengan komunikasi mutakhir dalam dunia maya dengan segala aktivitas dan fitur yang serba canggih. Jarak dan waktu bukanlah menjadi halangan lagi untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bahkan bertransaksi di era digital sekarang ini.
Revolusi dunia tersebut secara absolut menjadi konteks zaman bagi dunia pendidikan yang melibatkan pendidik, peserta didik, orang tua, birokrat, dan berbagai stakeholder yang terkait. Konteks zaman yang mendasari proses pendidikan pun berkembang seiring revolusi dunia tersebut. Ironinya, sebagian besar dinamika pendidikan berjalan lambat dalam merespons revolusi dunia dengan paradigma, pedagogi, kurikulum, dan implementasi yang nyaris sama setiap tahunnya.
Paradigma Humanisme
Revolusi dunia sudah seharusnya dijadikan konteks sekaligus konten dalam proses pembelajaran dan pendampingan dalam dunia pendidikan. Pendidikan sudah bukan lagi proses transfer ilmu pengetahuan belaka, namun lebih dari itu pendidikan harus secara langsung mengolah manusia secara mendalam dan kontekstual. Proses pendidikan pra-sekolah, dasar, menengah, dan tinggi harus memiliki fondasi kuat dengan konteks zaman para peserta didik, yang saat ini kita kenal dengan anak-anak milenial.
Konteks digital dan milenial harus menjadi harga mati bagi desain kurikulum pendidikan dewasa ini. Pendidikan sudah semestinya mampu menggairahkan anak-anak zaman untuk belajar dan berdaya guna bagi dunia sesuai dengan kemampuan dan bakatnya. Seringkali konflik konteks antara pendidik dan peserta didik, antara genersi tua dan generasi muda, menghasilkan sebuah pola pendidikan yang memaksa dan penuh doktrin sehingga anak-anak menjadi objek penderita dari proses pendidikan yang tidak adil.
Humanisasi konteks pendidikan merupakan proses komunikasi pendidik, peserta didik, dan dunia yang menjadi dasar kuat bagi terlaksananya implementasi pendidikan yang humanis. Pendidikan yang humanis sejatinya mengedepankan realita kehidupan dalam mengolah akal, nurani, rasa peduli, dan komitmen hidup yang selalu up to date dengan perkembangan zaman.
Konteks pendidikan yang humanis menjadi modal besar bagi pengalaman edukatif dalam dunia pendidikan, baik untuk peserta didik dan juga pendidik. Selama ini pengalaman edukatif selalu merujuk pada transfer ilmu pengetahuan beserta hasil ujiannya yang sangat kental dengan aspek kognitif belaka. Celakanya lagi, akhir-akhir ini kualitas sekolah favorit atau berkualitas ditentukan oleh hasil ujian nasional. Hal ini mengabaikan kebiasaan-kebiasaan baik, olah nurani, pengembangan pribadi, dan komitmen baik yang tidak bisa diuji secara nasional dan tertulis.
Pengalaman edukatif hendaknya mengarah pada kesempatan bagi dunia pendidikan untuk melakukan formasi dan transformasi, baik bagi pendidik, peserta didik, dan pejabat di kalangan pendidikan. Formasi pendidikan sejatinya menjadi semangat utuh untuk membentuk setiap insan pendidikan yang aktual dengan dirinya, komunitas, dan zamannya.
Pengalaman edukatif ini tercermin dalam paradigma dan implementasi kurikulum nasional. Harus diakui bahwa kurikulum 2013 belumlah memberi harapan bagi terbangunnya pendidikan yang baik dan berkualitas. Bahkan, dengan kata lain justru kurikulum 2013 sering merepotkan bagi pendidik dan peserta didik. Pengalaman edukatif yang terjadi di banyak sekolah adalah transfer ilmu belaka yang diiringi dengan kekhawatiran pada ujian dan hasilnya.
Revolusi mental sebagai media transformasi sangat dibutuhkan dalam mendesain kurikulum hingga implementasinya. Beban mata pelajaran dan materi patut dipertimbangkan untuk dikaji ulang sehingga sekolah benar-benar menjadi tempat belajar yang menyenangkan dan menggairahkan bagi pendidik dan peserta didik.