Konsep kemiskinan pada awalnya berasal dari Perancis, di mana kata 'poverty' berasal dari Bahasa Perancis kuno 'povert', sementara bahasa Perancis moderen menyebut 'pauvret'. Istilah sebenarnya dicuplik dari bahasa Latin 'pauperts' dari kata 'pauper' atau 'poor' dalam Bahasa Inggris.
United Nations (1998) menyatakan bahwa kemiskinan secara fundamental adalah suatu penyangkalan (denial) atas pilihan-pilihan dan kesempatan-kesempatan untuk hidup layak, yg mencerminkan pelanggaran harga diri manusia.
Hal ini tercermin dari kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar (pangan, sandang, dan papan), kurangnya akses kepada fasilitas pendidikan dan kesehatan dasar, serta kurangnya kapasitas dasar untuk berpartisipasi di masyarakat secara efektif.
Selain itu, juga tercermin dari tidak adanya jaminan hidup (insecurity), ketidakberdayaan (powerlessness), pengucilan (exclusion), kerentanan terhadap kekerasan, serta hidup di lingkungan marjinal dan kumuh tanpa akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak.
Sedangkan Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kekurangan kesejahteraan yang nyata dan multi dimensi. Hal ini dicirikan dengan pendapatan rendah, ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (makanan dan bukan makanan) yang diperlukan untuk bertahan hidup secara layak, serta kondisi lain termasuk rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan, kurangnya akses kepada air bersih dan sanitasi yang layak, jaminan fisik yang tidak memadai, kurangnya kesempatan untuk mengemukakan pendapat (lack of voice), dan kurangnya kapasitas dan kesempatan untuk memperbaiki hidup.
Lebih lanjut, dalam Deklarasi Kopenhagen (Copenhagen Declaration, World Summit for Social Development, 1995), Kemiskinan absolut disebutkan sebagai suatu kondisi yang dicirikan oleh kondisi parah atas pemenuhan kebutuhan hidup dasar manusia, termasuk kebutuhan makanan, air bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi.
Dari beberapa konsep di atas, terlihat bahwa kemiskinan adalah masalah sosial yang kompleks (multi-dimensional), yang dicirikan oleh tingkat pendapatan rendah, kondisi kesehatan dan status gizi yang buruk, pendidikan rendah dan keahlian terbatas, rendahnya akses terhadap tanah dan modal, rentan terhadap gejolak ekonomi, bencana alam, konflik sosial dan resiko lainnya, rendahnya partisipasi dalam proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, serta keamanan individu yang sangat kurang.
Secara umum, mengukur dan menginterpretasikan indikator multi dimensi lebih sulit dibandingkan dengan mengukur dan menginterpretasikan indikator satu dimensi. Oleh karenanya, sering kali kemiskinan hanya diukur dengan menggunakan satu dimensi saja, seperti dengan menggunakan pendekatan moneter. Â Dalam pendekatan moneter, seseorang dikatakan miskin jika ia tidak memiliki sejumlah pendapatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar (pangan, sandang, dan papan).
Kemiskinan Absolut dan Kemiskinan Relatif
Secara umum, kemiskinan dapat dikonseptualisasikan secara absolut (dikenal sebagai kemiskinan absolut) dan secara perbandingan relatif antar kelas pendapatan/pengeluaran (dikenal sebagai kemiskinan relatif).
Kemiskinan absolut atau kesengsaraan hidup (destitution) didefinisikan sebagai deprivasi atau kekurangan atas kebutuhan dasar manusia untuk hidup layak, termasuk makanan, air bersih, sanitasi, sandang, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Penduduk miskin adalah mereka yang hidup (dengan tingkat pendapatan) di bawah suatu garis kemiskinan (poverty line, atau poverty threshold) yang telah ditentukan.
Sedangkan Kemiskinan relatif secara kontekstual diartikan sebagai ketimpangan ekonomi, yang diukur dengan kelas pendapatan, antara kelompok masyarakat dengan kelas pendapatan terendah, menengah dan tertinggi.
Garis Kemiskinan
Garis Kemiskinan (GK) adalah suatu standard minimum yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak.
Bank Dunia, dengan menggunakan pendekatan moneter, pertama kali menggunakan GK sebesar PPP $1 per kapita per hari pada tahun 1990 sebagai standard minimum untuk hidup layak di negara-negara termiskin di dunia. Pada tahun 2005, Bank Dunia kembali mendefinisikan GK internasional yang baru, yaitu sebesar PPP $1,25 per kapita per hari.
GK terus mengalami penyesuaian untuk menyesuaikan kondisi kenaikan harga karena adanya inflasi dari tahun ke tahun. Saat ini Bank Dunia telah menyesuaikan GK menjadi PPP $2.15 (dengan menggunakan penghitungan berdasarkan data harga yang dikumpulkan tahun 2017) yang sebelumnya sebesar PPP $1.90 (dengan menggunakan penghitungan berdasarkan data harga yang dikumpulkan tahun 2011).
Sebagai catatan, Ukuran $ yang digunakan mengacu pada $ PPP (bukan kurs USD($) secara nominal). Purchasing Power Parity (PPP) adalah teori ekonomi yang membandingkan mata uang berbagai negara melalui pendekatan pasar "sekelompok barang". Menurut konsep ini, dua mata uang berada dalam keseimbangan atau setara ketika sekumpulan barang di pasar (dengan mempertimbangkan nilai tukar) dihargai sama di kedua negara.
PPP dihitung berdasarkan harga sekeranjang barang dan jasa di setiap negara yang berpartisipasi dan merupakan ukuran kemampuan mata uang lokal suatu negara untuk membeli di negara lain. Konversi berdasarkan nilai tukar pasar mencerminkan perbedaan harga dan volume pengeluaran sehingga tidak sesuai untuk perbandingan volume. Konversi pengeluaran berbasis PPP menghilangkan dampak perbedaan tingkat harga antar negara dan hanya mencerminkan perbedaan volume perekonomian.
Sebagai catatan, PPP $1 setara dengan Rp. 1.386,62 di tahun 2000. Sedangkan di tahun 2022, PPP $1 setara dengan Rp. 4.934,26 (OECD, 2023).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H