Mohon tunggu...
Febri Wicaksono
Febri Wicaksono Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Masalah Sosial Kependudukan

Dosen Politeknik Statistika STIS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gender dan Stereotip Gender

18 Oktober 2023   09:43 Diperbarui: 18 Oktober 2023   10:01 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gender Sebagai Hasil Konstruksi dari Budaya

Biasanya, ketika kita bertemu seseorang yang baru kita kenal, salah satu hal penting pertama yang ingin kita ketahui adalah jenis kelamin orang tersebut. Hal ini berguna untuk memutuskan sikap dan perilaku kita terhadap orang tersebut berdasarkan pada pemahaman kita tentang gender orang tersebut. Dalam premis ini, gender dapat dianggap sebagai perbedaan budaya antara laki-laki dan perempuan yang ada atas dasar perbedaan biologis atau genetik antara laki-laki dan perempuan. [1]

Oakley [2] menggunakan bayi yang baru lahir sebagai contoh untuk menjelaskan bahwa perbedaan gender dikonstruksikan secara budaya dan sosial, bukan secara alami. Dalam tulisannya, Oakley menyebutkan bahwa bayi yang baru lahir diperlakukan berbeda berdasarkan jenis kelaminnya oleh orang tua dan pegawai di sebagian besar rumah bersalin.

Misalnya, orang biasanya menggunakan komentar yang berbeda untuk menggambarkan penampilan bayi berdasarkan jenis kelaminnya dan beberapa rumah sakit masih mengenakan selimut biru pada bayi laki-laki sementara bayi perempuan dikenakan selimut berwarna merah muda. Dari perspektif ini, identitas gender bayi-bayi ini sebagian besar dibangun oleh sikap, tindakan, dan harapan orang lain.

Stereotip Gender dan Dampaknya Dalam Masyarakat

Sebelum menjelaskan apa itu stereotip gender, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu stereotip. Stereotip dapat didefinisikan sebagai "keyakinan tentang karakteristik, atribut, dan perilaku anggota kelompok tertentu" [3]. Keyakinan ini mungkin memiliki dampak jangka panjang pada kognisi dan perilaku seseorang. Terkadang hal ini didasarkan pada representasi akurat dari kondisi yang nyata, namun juga terkadang merupakan representasi yang mungkin tidak akurat dari kondisi yang nyata [3]. Dengan kata lain, stereotip dapat timbul sebagai akibat dari pengetahuan atau pengalaman, namun dapat juga timbul sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan atau pengalaman [4].

Selain itu, stereotip dalam konteks budaya yang sama atau dalam kelompok yang sama biasanya koheren dan stabil [5]. Secara khusus, ketika stereotip dari sekelompok orang tertentu mencerminkan situasi umum dari kelompok tersebut, stereotip dapat digunakan sebagai cara yang lebih mudah dan lebih efisien bagi orang luar untuk memahami kelompok tersebut. Namun, kepercayaan yang terlalu digeneralisasikan tentang kelompok ini mengabaikan adanya perbedaan individu di dalam kelompok. Dari perspektif ini, sistem gender biner yang dikonstruksi secara sosial yang mengabaikan keragaman di antara kelompok laki-laki dan perempuan dapat dianggap sebagai stereotip.

Stereoptip dapat dibangun dan disebarkan salah satunya melalui Bahasa. Menurut Burgers dan Beukeboom [6], keyakinan dan stereotip kelompok dapat direfleksikan, dibangun, dan distabilkan melalui bahasa ketika orang menggunakan kata-kata untuk berbagi pengalaman individu mereka.

Dalam hal stereotip gender, secara singkat dapat didefinisikan sebagai sudut pandang yang stabil dari atribut orang-orang berdasarkan gender mereka yang dilihat oleh orang lain [5]. Dikombinasikan dengan definisi gender, stereotip gender juga dihasilkan oleh budaya sosial, karena stereotip ini mencerminkan dan memperkuat ekspektasi spesifik gender tradisional serta ketidaksetaraan struktural saat ini [4].

Stereotip gender juga dapat membantu mencegah struktur sosial melalui interaksi dengan stereotip lain berdasarkan faktor sosial lainnya, seperti ras. Misalnya, seperti yang ditunjukkan oleh Kenny [7], anggota beberapa institusi politik/keagamaan (misalnya militer, Gereja Katolik Roma, atau Kongres Amerika Serikat), menggunakan stereotip gender dan ras untuk memperkuat hierarki kekuasaan di dalam institusi mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa relasi gender, seperti relasi kelas atau ras, merupakan bagian dari proses yang membentuk hierarki sosial [8].

Singkatnya, stereotip gender dapat memengaruhi jalur perkembangan dan peluang hidup seseorang. Secara khusus, stereotip yang dibuat atas dasar gender berpotensi mengarah pada bias gender dan diskriminasi gender yang dapat berdampak negatif pada perilaku kelompok [5].

Di Cina, misalnya, ada kepercayaan umum bahwa pengemudi wanita tidak sehebat atau seprofesional pengemudi pria [9]. Stereotip gender ini dapat menyebabkan diskriminasi gender ketika perempuan melamar pekerjaan yang membutuhkan keterampilan mengemudi. Selain itu, prasangka stereotip tentang pengemudi wanita dapat mengurangi kepercayaan diri wanita dalam belajar dan berlatih mengemudi, yang pada gilirannya dapat memperkuat stereotip tersebut.

Stereotip gender juga dapat terlihat di bidang pendidikan. Misalnya, mata pelajaran yang berbeda di sekolah sering kali dikaitkan dengan gender yang sebagian besar mengasumsikan anak perempuan memiliki bakat dalam seni sementara anak laki-laki memiliki bakat dalam sains [10]. Dikombinasikan dengan hubungan antara pembagian mata pelajaran dan peluang ke depan di bidang pendidikan dan pekerjaan, stereotip gender dalam pemilihan mata pelajaran sekolah memiliki efek negatif pada akses anak perempuan ke pendidikan tinggi dan peluang kerja di masa depan. Selain itu, karena pencapaian pendidikan dan pendapatan dapat dilihat sebagai dua faktor utama yang membantu mobilitas sosial [11], stereotip gender di bidang pendidikan tidak hanya membatasi perkembangan perempuan tetapi juga menghambat pertumbuhan seluruh masyarakat.

Daftar Bacaan:

[1] Kretchmar, J. (2009). Gender socialization. EBSCO Publishing Inc.

[2] Oakley, A. (2015). Sex, Gender and Society. Ashgate Publishing, Ltd.

[3] Hentschel, T., Heilman, M. E., & Peus, C. V. (2019). The multiple dimensions of gender stereotypes: A current look at men's and women's characterizations of others and themselves. Frontiers in Psychology, 10(JAN). https://doi.org/10.3389/FPSYG.2019.00011/FULL

[4] Crespi, Isabella. (2003). Gender socialization within the family: Study on adolescents and their parents in Great Britain. Department of Sociology. Catholic University of Milan, Italy.

[5] Zhao, L. (2010). The Impacts of School's Gender Stereotypes in the Development of Students. The Modern Academy. pp.82-84

[6] Burgers, C., & Beukeboom, C. J. (2020). How Language Contributes to Stereotype Formation: Combined Effects of Label Types and Negation Use in Behavior Descriptions. Journal of Language and Social Psychology, 39(4), 438--456. https://doi.org/10.1177/0261927X20933320

[7] Kenny, M. (2007). Gender, Institutions and Power: A Critical Review. Politics, 27(2), 91--100. https://doi.org/10.1111/j.1467-9256.2007.00284.x

[8] Acker, J. (1992). From Sex Roles to Gendered Institutions. Contemporary Sociology, 21(5), 565. https://doi.org/10.2307/2075528

[9] Xuan, D. (2017). The research on the image of female drivers on Netnews. Master Thesis of Northwest University.

[10] Sheng, X. (2017). Cultural capital, family background and education: choosing university subjects in China. British Journal of Sociology of Education, 38:5, 721-737, DOI: 10.1080/01425692.2016.1158638

[11] Pfeffer, F. T., & Hertel, F. R. (2015). How Has Educational Expansion Shaped Social Mobility Trends in the United States? Social Forces, 94(1), 143--180. http://www.jstor.org/stable/24754249

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun