Mohon tunggu...
Febri Wicaksono
Febri Wicaksono Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Masalah Sosial Kependudukan

Dosen Politeknik Statistika STIS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Globalisasi: Menguatkan atau Melemahkan Budaya Lokal?

17 Oktober 2023   09:56 Diperbarui: 20 Oktober 2023   08:28 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Globalisasi

Dengan latar belakang semakin meningkatnya perhatian dari literatur-literatur di bidang sosiologi, ekonomi, politik, dan antropologi pada globalisasi, Mauro F. Guillen mencoba untuk menelaah riset-riset teoritis maupun empiris yang disusun berdasarkan lima isu kunci dalam perdebatan mengenai globalisasi dalam tulisannya yang berjudul "Is Globalization Civilizing, Destructive or Feeble? A Critique of Five Key Debates in the Social Science Literature". Kelima isu tersebut adalah: Apakah globalisasi benar terjadi? Apakah globalisasi menghasilkan konvergensi? Apakah globalisasi melemahkan otoritas bangsa-negara? Apakah globalisasi berbeda dengan modernisasi? dan Apakah suatu budaya global sedang dibuat?

Menurut Guillen, globalisasi bukan hanya sekedar konsep ilmiah, tetapi juga merupakan suatu ideologi dengan banyak konsep. Dengan meminjam perspektif dari Robertson[1] dan Albrow[2], dia mendefinisikan globalisasi sebagai suatu proses yang mengarah pada saling ketergantungan yang lebih besar dan kesadaran bersama diantara unit-unit ekonomi, politik, dan sosial di dunia, dan diantara para pemainnya secara umum[3].

 Guillen menunjukkan bahwa globalisasi merupakan fenomena yang besar yang sedang mengubah sifat dunia. Menurut Guillen, globalisasi bukanlah fenomena yang monolitik atau tak terelakkan yang dampaknya dapat bervariasi antar negara, sektor sosial, dan waktu. Dampak dari globalisasi dapat kontradiktif, terputus-putus, atau bahkan tidak beraturan. Oleh karena itu, Guillen menyarankan agar kita perlu berpikiran terbuka tentang konsekuensi yang tidak diinginkan dan tidak terduga dari globalisasi. 

 Salah satu hasil analisa penting dari Guillen mengenai globalisasi ini adalah mulai terkikisnya asumsi yang menyatakan bahwa umumnya struktur kelembagaan dan struktur budaya kongruen dengan nation state. Kemudian, Guillen juga mendapati adanya tingkat perbedaan yang unik secara historis antara batas-batas politik dan ekonomi, negara dan pasar, serta kegiatan ekonomi trans-budaya.

 Selanjutnya, William Robinson dalam artikelnya yang berjudul "Beyond Nation-State Paradigms: Globalization, Sociology, and the Challenge of Transnational Studies" menyerukan perlunya untuk mengalihkan analisis kita kearah analisa makro yang berpusat pada analisis nation-state untuk memahami globalisasi.

Secara khusus, ia berpendapat bahwa kita perlu mengakui "deteritorialisasi" yang berkembang dari hubungan ekonomi dan politik pada pergantian abad kedua puluh satu. Untuk mencapai ini, ia menyebarkan konsep "negara transnasional" (Transnational State: TNS) sebagai embrio dari bentuk politik globalisasi ekonomi. Robinson mendasarkan intervensi konseptual ini pada klaim teoretis terhadap "deteritorialisasi dari hubungan antara kapital dan negara" dan "reproduksi hubungan sosial, yang merupakan sebuah proses yang dimediasi oleh dinamika geo-politik". Konsep yang dikemukan oleh Robinson ini dapat disebut sebagai global kapitalisme.

TNS mengacu pada difusi dan perluasan proses sosial, politik, dan ekonomi di antara dan di luar batas yurisdiksi kedaulatan negara-bangsa (nation-state). Perspektif transnasional yang dikemukakan oleh Robinson ini berarti menggeser unit analisis dari negara individu ke sistem global. Pergeseran seperti ini berarti dapat menempatkan bentuk-bentuk pemerintahan non-negara di bidang hubungan internasional (misal: Uni Eropa, ASEAN, OECD, dll).

Perspektif transnasional yang dikemukan oleh Robinson ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam ke sejumlah proses sosial, ekonomi, dan politik yang bergantung secara global, misalnya: gerakan sosial, pemerintahan dan politik, terorisme, kekerasan politik, dan kejahatan terorganisir.

Salah satu manfaat dari perspektif ini adalah untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas dalam menganalisa migrasi transnasional. Sebagai contoh, Peter Kivisto[4] menggunakan pendekatan transnasionalisme sebagai konstruksi konseptual untuk menjelaskan identitas dan komunitas dari para imigran. Kivisto melihat bahwa identitas para migran yang secara terus menerus di challenge oleh karakteristik legal dan sosial mereka dibentuk dan diadaptasi melalui organisasi lokal, nasional, dan internasional. Kesimpulan dari esai yang ditulis oleh Kivisto telah menawarkan suatu bentuk skema penilaian alternatif transnasionalisme yang menempatkannya sebagai salah satu subset potensial dari teori asimilasi.

  

Globalisasi dan Budaya

Pada dasarnya, pengertian budaya selalu sulit untuk didefinisikan. Terlebih dengan berkembangnya globalisasi, hal ini menyebabkan pendefinisiannya menjadi jauh lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena globalisasi tidak hanya menyentuh budaya secara umum tetapi telah membawa perspektif baru dalam melihat perbedaan budaya.

Jan Nederveen Pieterse dalam tulisannya yang berjudul "Globalization and Culture: Three Paradigms" mencoba untuk menelaah tiga buah paradigma terkait dengan proses terbentuknya budaya yang dihasilkan oleh globalisasi. Ketiga paradigma tersebut adalah: pertama, perbedaan budaya atau perbedaan abadi; kedua, konvergensi budaya atau kesamaan yang tumbuh; dan ketiga, hibridisasi budaya atau pencampuran yang berkelanjutan. Masing-masing paradigma ini mewakili pandangan politik yang berbeda. Selain itu, ketiganya juga melibatkan subjektivitas dan perspektif yang berbeda serta apa yang ditimbulkan oleh ketiga paradigma tersebut juga sangat berbeda.

Berbicara mengenai perbedaan budaya (cultural differentiation), ini merupakan perspektif tertua yang sering dikaitkan dengan teori clash of civilizations yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington[5]. Clash of Civilizations merupakan tesis yang menyebutkan bahwa identitas budaya dan identitas agama masyarakat akan menjadi sumber utama konflik di dunia pasca perang dingin. Menurut Huntington, perang di masa depan tidak akan terjadi antar negara, tetapi bergeser ke perang antar budaya. Terkait dengan globalisasi, pandangan ini melihat adanya fragmentasi budaya dan konflik antarbudaya yang dapat terjadi karena globalisasi. Hal ini disebabkan karena budaya lokal gagal menghadapi gelombang budaya global. Perlawanan dan pemberontakan dapat terjadi untuk menyelamatkan budaya lokal dan dapat menciptakan skenario buruk yaitu benturan budaya.

Kemudian paradigma kedua, konvergensi budaya, juga dikenal sebagai McDonaldization. Suatu gagasan yang dikemukan oleh George Ritzer dalam bukunya yang berjudul "The McDonaldization of Society"[6]. McDonaldization adalah proses di mana prinsip-prinsip rantai restoran cepat saji McDonald's dengan cepat membawa seluruh dunia ke dalam prinsip mereka. Prinsip tersebut adalah efisiensi, kalkulasi, prediktabilitas, dan kontrol terhadap tenaga kerja dan konsumen. Paradigma ini mendukung gagasan homogenitas budaya global yang ditandai dengan berbagai efek yang ditimbulkannya, seperti: Amerikanisasi, westernisasi, kolonisasi coca cola (coca-colonization), dan lain-lain. Hal ini menyebabkan kecenderungan yang berkembang menuju penyatuan gaya hidup, penyatuan simbol budaya, dan penyatuan cara berperilaku.

Teori Ritzer tentang McDonaldization merupakan pembaruan dari teori klasik Weber tentang bagaimana rasionalitas ilmiah menghasilkan birokrasi, yang menjadi kekuatan pengorganisasian sentral masyarakat modern sepanjang abad ke-20. Menurut Weber, birokrasi modern ditentukan oleh peran hierarkis, pengetahuan dan peran yang terkotak-kotak, sistem ketenagakerjaan dan kemajuan yang dianggap berdasarkan prestasi, dan otoritas rasionalitas hukum dari negara hukum. Ciri-ciri ini dapat (dan masih bisa) diamati di banyak aspek masyarakat di seluruh dunia.

Selanjutnya paradigma ketiga, hibridisasi budaya, yang secara fundamental berbeda dari perbedaan budaya dan McDonaldisasi. Dalam paradigma ini, globalisasi memunculkan proses hibridisasi, homogenisasi, dan harmonisasi. Dimana ketiga proses ini secara intrinsik terhubung dengan budaya. Hibridisasi menyiratkan adanya pencampuran. Homogenisasi berarti membawa simetri atau kesamaan. Harmonisasi berarti menyatukan sintesis dengan menghilangkan ketidaksesuaian. Dalam paradigma ini, heterogenitas dan keragaman budaya mulai menguap karena meningkatnya kontak budaya dan hambatan budaya mulai runtuh dengan runtuhnya batasan-batasan budaya.

Pieterse mendefinisikan hibridisasi sebagai cara di mana suatu bentuk terpisah dari praktik yang ada dan bergabung kembali dengan bentuk baru dalam praktik baru. Fenomena hibridisasi pada dasarnya meruntuhkan gagasan budaya sebagai homogen secara internal dan berbeda secara eksternal. Dia memandang pola identitas menjadi lebih kompleks karena orang ingin menegaskan loyalitas lokal tetapi ingin berbagi nilai dan gaya hidup global. Semua ini pada akhirnya menunjukkan fakta bahwa pengalaman budaya tidak bergerak ke arah keseragaman dan standarisasi budaya. Karena, jika demikian halnya, tidak akan ada ruang untuk lintas budaya atau budaya ketiga misalnya keberadaan berbagai genre musik pada saat ini yang merupakan hasil dari campuran berbagai macam budaya.

Footnote:

[1] Robertson, 1995

[2] Albrow, 1997

[3] Ritzer, George and Zeynep Atalay. Reading in Globalization: Key Concepts and Major Debates. 2010. John Wiley & Sons, p.4

[4] Kivisto, 2001

[5] Huntington, 1993

[6] Ritzer, 1993

Daftar Bacaan

Albrow M. 1997. The Global Age. Stanford, CA: Stanford Univ. Press

Huntington S. 1993. The Clash of Civilizations? Foreign Affairs. 72(3), 22-49. doi:10.2307/20045621

Kivisto P. 2001. Theorizing transnational immigration: a critical review of current efforts. Ethnic and Racial Studies. 24:4, 549-577, DOI: 10.1080/01419870120049789

Ritzer G. 1993. The McDonaldization of Society. Pine Forge Press

Ritzer G. and Atalay Z. 2010. Reading in Globalization: Key Concepts and Major Debates. John Wiley & Sons

Robertson R. 1995. Globalization: time-space and homogeneity-heterogeneity. In Global Modernities, ed. M Featherstone, S Lash, R Robertson, pp. 25--44. London: Sage

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun