Mohon tunggu...
Febri Wicaksono
Febri Wicaksono Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Masalah Sosial Kependudukan

Dosen Politeknik Statistika STIS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Globalisasi dan Gerakan Sosial Baru

23 September 2022   08:54 Diperbarui: 23 September 2022   09:34 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Globalisasi tidak hanya tentang perubahan makro-sistemik di pasar global dan kedaulatan bangsa-negara, namun juga tentang perubahan mikro-sistemik mengenai transformasi yang mempengaruhi kehidupan dan emosional kita sehari-hari (Giddens, 1990).

Transformasi ini juga terjadi pada bentuk dan pola dari Civil Society Organization (CSO) (Smith, 2015).

Secara umum, ciri khas dan elemen kunci dari kiprah CSO adalah gerakan sosial (Tarrow, 1998). Globalisasi telah membentuk jaringan transnasional yang kompleks dari para aktivis dan organisasi yang telah dimobilisasi dalam beberapa tahun terakhir untuk keadilan global. Smith (2015) menyebut fenomena ini sebagai "globalisasi demokratis". Ia melihat jaringan ini sebagai alat yang berpotensi kuat yang memungkinkan orang untuk bertindak secara efektif di luar komunitas lokal dan bahkan nasional.

Smith melihat pembentukan dan koordinasi gerakan sosial baru untuk keadilan global ini difasilitasi oleh perubahan teknologi, termasuk Internet.

Secara umum, terdapat empat aspek perbedaan antara gerakan sosial baru (GSB) dan gerakan sosial lama. keempat aspek tersebut adalah: aspek ideologi dan tujuan, aspek pengelolaan organisasi, aspek aktor gerakan, dan aspek lingkup atau area (Singh, 2010).

Dalam aspek ideologi dan tujuan, GSB menekankan perhatian kepada tujuan non-material, identitas, gaya hidup, kebudayaan (gerakan lingkungan, feminisme), berbasis nilai kemanusiaan universal, bukan berorientasi pada tujuan ekonomi material, berbasis ideologi kelas, identitas dan fokus pada persoalan industri, buruh, anti kapitalis.

Kemudian, dalam aspek pengelolaan organisasi, GSB lebih sering di luar saluran politik normal, memobilisasi opini publik melalui cara modern (berbasis jaringan dan media baru) untuk mendapatkan daya tawar, bukan melalui saluran politik normal (kepartaian, industri).

Selanjutnya, dalam aspek aktor gerakan, partisipan GSB tidak lagi tersekat secara sosial seperti pendidikan dan kelas gender, karena berbasis nilai kemanusiaan universal.

Dan dalam aspek lingkup atau area, GSB cenderung cair, fleksibel bergerak, melewati sekat-sekat daerah, nasional (gerakan transnasional). Struktur dari GSB responsif, terbuka, non hirarkis, dan terdesentralisasi.

Globalisasi dan gerakan sosial baru dalam kaitannya dengan reklamasi Teluk Benoa di Bali

Rencana reklamasi Teluk Benoa merupakan proyek pembuatan daratan baru sebanyak dua belas pulau di Teluk Benoa, Bali, dengan luas total sebesar 838 hektar. Isu reklamasi Teluk Benoa memunculkan aksi penolakan yang dilakukan oleh banyak kalangan di masyarakat Bali dan memunculkan gerakan Bali Tolak Reklamasi.[1]

 Gerakan Bali Tolak Reklamasi diinisiasi oleh WALHI Bali untuk membatalkan rencana reklamasi seluas 838 hektar di Teluk Benoa. WALHI bersama sejumlah komunitas yang peduli pada alam dan budaya Bali berkumpul dan membentuk Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi atau biasa disingkat ForBALI. Forum ini fokus menyuarakan penolakan hanya pada isu reklamasi Teluk Benoa.

 Awalnya, gerakan ini hanya diikuti oleh belasan orang melalui aksi protes kepada DPRD Bali dan Gubernur Bali, namun tidak mendapat tanggapan. Gaung gerakan Bali Tolak Reklamasi menjadi semakin terdengar setelah memanfaatkan media sosial Facebook dan Twitter pada Agustus 2013. Dan pada 22 Mei 2014, para aktivis membuat petisi online atas gerakan ini di www.change.org (Galuh, 2016).

Hal yang menarik di sini adalah aktivitas media sosial ini berubah menjadi aksi nyata dengan massa dalam jumlah besar. Aktivitas media sosial bertransformasi ke gerakan nyata pada Selasa, 17 Juni 2014, secara damai dengan melakukan long-march dari lapangan parkir Timur Renon menuju depan Kantor Gubernur Bali. Demonstrasi yang dimobilisasi melalui media sosial ini berhasil mengumpulkan ribuan massa (Galuh, 2016). Dan tidak lama setelah itu, aksi kembali dilakukan pada Jumat, 27 Juni 2014.[2] 

 Struktur organisasi ForBALI pun terbentuk secara dinamis sesuai kebutuhan gerakan (Lestari, Azhar, dan Mertha, 2019), kecuali koordinatornya yang tidak pernah berubah yakni I Wayan Suardana dan Suriadi Darmoko sebagai koordinator kampanye politik ForBALI. Selain itu, gerakan sosial yang dilakukan ForBALI juga berjalan secara dinamis dan tidak baku sepanjang sesuai strategi yang disepakati. Semua tergantung kesepakatan kolektif dan kebutuhan atas situasi. Selanjutnya, gerakan ForBALI merespon dengan strategi tidak ada timeline yang pasti untuk setiap aksi mereka, tetapi disatu titik tertentu ketika memang dibutuhkan, gerakan ForBALI akan muncul kembali.

 Dilihat dari aspek ideologi dan tujuan, aspek pengelolaan organisasi, aspek aktor gerakan, dan aspek lingkup atau area, gerakan ForBALI ini relevan dengan gerakan sosial baru. Dibalut dengan tujuan melestarikan lingkungan, memobilisasi opini publik dengan berbasis jaringan dan media sosial, dengan menggandeng aktor dari berbagai macam kelas dan golongan, dan dalam lingkup yang bergerak fleksibel, konsisten dengan konteks gerakan sosial baru.

 Keberhasilan gerakan ForBALI ini memberikan kesimpulan bahwa dengan memanfaatkan kemajuan dibidang teknologi informasi dan komunikasi, gerakan sosial baru cukup efektif sebagai kontrol terhadap kekuasaan pemerintah di era pro-demokrasi saat ini.

Catatan Kaki

[1] https://www.forbali.org/id/mengapa-kami-menolak/

[2] Apriando, T. (2014, Juni 29). Menolak reklamasi, menyelamatkan Teluk Benoa. mongabay.co.id.

Daftar Pustaka

Galuh, I. G. A. A. K. (2016). Media Sosial sebagai Strategi Gerakan Bali Tolak Reklamasi. Jurnal Ilmu Komunikasi, 13(1), 73-92.

Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.

Lestari, T., Ali Azhar, M., & Jayanthi Mertha, A. (2019). GERAKAN SOSIAL FORBALI DALAM MENGHENTIKAN REKLAMASI TELUK BENOA TAHUN 2014-2018. E-Jurnal Politika, 1(1).

Singh, R. (2010). Gerakan Sosial Baru, Penerjemah Eko P. Darmawan, Yogyakarta: Resist Book

Smith, Jackie. (2015). The Transnational Network for Democratic Globalization. In Goodwin, J. and Jasper J. M. (eds.). The Social Movements Reader: Cases and Concepts. Oxford, UK: Wiley Blackwell, Third Edition.

Tarrow, S. (1998). Power in Movement, Social movements and Contentious Politics. Cambridge: Cambridge University Press

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun