Oleh: FUTICHA TURISQOH, S. Pd. I
Apa yang muncul di benak kita begitu mendengar kata hoax? Mungkin akan muncul gambaran tentang sebuah berita yang diviralkan pada sosial media, sudah di-share oleh ribuan orang, lalu ternyata berita tersebut tidak terbukti kebenarannya alias palsu. Contoh kecil saja saat kunjungan Raja Salman ke tanah air. Fl
Foto-foto para pangeran beredar di media sosial. Ribuan warganet pun terbius dan  menggandrungi foto para pangeran yang ganteng luar biasa itu. Namun kemudian muncul kabar lain yang mengatakan bahwa beberapa foto para pangeran itu ternyata tidak benar. Foto-foto ganteng berwajah timur tengah itu belakangan diketahui salah satunya sebagai foto artis beken asal Pakistan.
Menurut Wikipedia, Hoax atau pemberitaan palsu atau fake news adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu. Sang pembuat berita palsu tersebut sadar bahwa berita tersebut memang palsu. Berita yang bersifat satir ataupun parodi juga dianggap sebagai fake news.
Lalu bagaimana dengan korbannya? Orang yang mudah termakan pemberitaan palsu pada umumnya adalah orang yang tidak memiliki informasi yang cukup. Tapi benarkah? Dan mengapa meski sebuah berita secara nyata telah diputuskan palsu, berita tersebut masih bisa terus tersebar luas? Apalagi, menurut penelitian dari Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2015 yang menjadi korban hoax adalah mereka yang memiliki intelektualitas yang tinggi.Â
Di Amerika sendiri, menurut penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center, 23% orang dewasa Amerika terlibat dalam penyebaran berita palsu. Rupanya, di era internet dimana informasi begitu sangat dinamis, ada kebanggaan tersendiri jika menjadi orang pertama yang menyebarkan sebuah berita/informasi baru.Â
Apalagi jika informasi tersebut merupakan berita yang benar-benar baru dan belum pernah ada sebelumnya. Seperti ada sensasi yang menyenangkan jika menyebarkan berita yang isinya mendukung atau berpihak pada kita atau sesuai dengan opini kita, dan merugikan pihak yang lain (yang berseberangan pandangan politiknya, misalnya). Kita cenderung menerima mentah-mentah dan tidak mencoba mencari tahu dulu tentang kebenaran berita itu.
Bahkan guru pun bisa jadi korban, salah satunya saya sendiri. Ya, saya pernah jadi korban berita hoax karena saya tidak cek and recek dulu sebelum menelusuri kebenarannya, karena saya sudah terlanjur percaya dengan orang yang menyebarkannya, jadi asal share saja. Waktu itu berita yang saya dapat tentang bencana alam di daerah Jawa Tengah, dimana foto-foto yang beredar ternyata hoax.Â
Dari share-an saya itulah bermunculan komentar dari para warganet, yang menganggap itu berita hoax. Tentu saja hal itu membuat saya kaget dan malu. Jika sudah begitu, postingan pun segera saya hapus, supaya tidak memakan korban lebih banyak lagi. Dan usut punya usut, yang menyebarkan berita ke saya ternyata juga sama-sama tidak tahu bahwa berita itu hoax. Tentu saja hal itu bisa merusak reputasi saya sebagai guru. Dengan kejadian itu, saya jadi lebih berhati-hati dalam menerima berita.
Kata Hoaxbukan baru muncul belakangan ini. Istilah hoaxsendiri sudah ada sejak lama. Ada yang mengatakan istilah hoax sudah ada sejak tahun 1808, berasal dari bahasa Inggris yang artinya berita bohong atau palsu. Banyak orang yang menganggap kata hoaxberasal dari kata 'hocus' -- diambil dari 'hocus pocus',kata yang sering digunakan para pesulap (semacam sim salabim).
Hoax yang pernah ada dan cukup menggemparkan dunia adalah berita tentang ditemukannya buku harian Hitler tahun 1983, video pembedahan alien di tahun 1995 atau berita kematian artis terkenal (kalau yang ini, sepertinya setiap tahun ada saja). Hoax itu menyebalkan, tapi tidak sedikit orang yang 'menggemarinya' dengan segera menyebarluaskan, apalagi di era seperti sekarang. Media sosial mengambil peran besar dalam penyebaran hoax.
Lalu bagaimana kita menyikapi berita hoax? Terutama bagi guru, agar tidak sampai termakan berita hoax bahkan sampai menyebarkannya kembali. Sangat ironis jika banyak guru yang akhirnya ikut latah dan begitu mudahnya menyebarkan berita hoax kepada pembaca, terlebih lagi kepada pembaca yang notabene masih pelajar. Hal itu bisa membahayakan, sebab bisa merusak reputasi guru jika ketahuan letak hoax-nya.
Bagaimana cara mengenali berita hoax? Berikut ciri-cirinya:
- Sumber beritanya berasal dari pihak yang tidak dapat dipercaya. Tidak ada tautan ke sumber resmi. Berita tersebut dari situs yang tidak jelas siapa penanggung jawabnya, apakah perorangan, lembaga, atau lainnya. Atau dari situs yang tidak dapat dipastikan apakah memiliki kredibilitas/reputasi berita yang cukup baik.
- Gambar, foto atau video yang dipakai merupakan rekayasa, atau bahkan tidak nyambung dengan beritanya. Misalnya, hasil editing dari sumber asli yang dibuat asal saja.
- Menggunakan kalimat yang provokatif, sehingga mudah memengaruhi pembacanya.
- Mengandung unsur politis dan SARA.
- Jika kita menemukan berita dengan ciri-ciri tersebut, sebaiknya kita waspada. Sebab, merebaknya berita hoax bisa menyebabkan dampak negatif, di antaranya:
- Merugikan suatu pihak
- Judul yang provokatif dan isi berita yang tidak akurat  dapat menuai berbagai opini negatif, tentu opini negatif ini dapat merugikan pihak yang bersangkutan.
- Memberikan reputasi buruk akan seseorang/sesuatu
- Apabila berita tersebut tidak kita teliti dan langsung kita share dan seantero teman kita juga jadi ikut percaya, itu bisa jadi bahaya, sebab isi berita hoax yang merugikan tersebut bisa membuat image seseorang menjadi jelek sebagaimana kasus saya di atas, dan ketika sudah viral tidak akan ada yang mau bertanggung jawab.
- Menyebarkan fitnah
- Selain reputasi buruk yang terbentuk, fitnah pun bisa tercipta melalui berita hoax yang tersebar.
- Menyebarkan informasi yang salah
- Kita sebagai pendidik jangan langsung percaya dari judul yang terkesan menarik dan ilmiah. Coba kita cek dulu sumber dan keaslian sumber daripada berita tersebut. Jangan sampai kita malah jadi gagal informatif.
- Dampak  hoax bisa saja lebih dari keempat dampak yang sudah disebutkan, hoax tidak semata mengenai reputasi pihak korban yang dijadikan hoax, namun banyak hal kompleks lainnya yang disebabkan oleh hoax.
- Dengan dampak hoax yang demikian besarnya sebenarnya sudah ada langkah yang diambil oleh pihak Kominfo untuk mengurangi penyebaran hoax, selain melakukan pemblokiran pada situs yang diduga memiliki unsur negatif nantinya pihak Kominfo juga akan melakukan edukasi pada jurnalis dan masyarakat.
- Selain dari pihak pemerintahan dibutuhkan lapisan lainnya untuk mengajak masyarakat lebih 'melek' terkait berita hoax, ikut bergerak mengedukasi masyarakat yang bergerak melalui sosial media, serta dibutuhkannya media yang konsisten untuk memberikan berita yang akurat.
- Selain itu sebaiknya kita pun mengembangkan sikap-sikap berikut:
a. Jangan mudah percaya pemberitaan dari Internet.
Sebagai pendidik tentunya perlu untuk mengasah cara berpikir yang kritis. Terapkan itu saat menerima berita yang beredar di internet. Cek apakah ada sumber aslinya dan adakah tautan ke sumber resmi yang berhak menyebarluaskan berita tersebut. Misalnya beberapa tahun yang lalu pernah tersebar kabar tentang orang yang meninggal akibat flu burung. Lalu diberitakan betapa ganasnya virus tersebut dan sangat cepat meluas penyebarannya. Masyarakat jadi ketakutan. Semua yang dianggap unggas langsung dibasmi. Padahal sebaiknya cek dulu kebenaran berita itu dari sumber-sumber resmi, misalnya dari Kementerian Kesehatan.
Cek apakah foto atau gambar yang dimuat pernah beredar lebih dulu bersama berita lain. Anda dapat mengeceknya di Google Images. Cek konteksnya. Distorsi adalah taktik yang umum digunakan oleh situs yang dirancang untuk menyesatkan publik. Gambar, video dan potongan teks akan'dicincang', diputar dan dimasukkan ke dalam judul baru agar sesuai dengan narasi baru yang ditulis.
b. Jangan hanya percaya pada satu sumber.
Ketika kita menemukan berita penting, yang menurut kita layak disebarluaskan, tahan dulu keinginan untuk itu. Kembali lakukan pengecekan ke sumber-sumber yang lain yang dapat dipercaya, apakah memang benar begitu adanya. Biasakan untuk melakukan cross-check sebelum kita respon atau disebarkan.
c. Tetap berkepala dingin dan berpikir jernih.
Meskipun kita memiliki kecenderungan berpihak pada salah satu haluan politik tertentu, misalnya, tetaplah cool dan jangan mudah terhasut. Hampir semua hoax yang bermuatan politik, menggunakan bahasa yang provokatif. Jangankan berita hoax, bahkan kalau pun itu sebuah kebenaran, tetaplah untuk berkepala dingin dan berpikir jernih. Kesatuan dan persatuan bersama lebih penting dari sekedar memenangkan opini atau pendapat atau pandangan pribadi.
Selain hoax kita juga mengenal istilah misinformasi, yaitu orang yang memberi/menerima keterangan yang salah. Misinformasi berbeda dengan hoax. Kalau hoax sengaja disebarluaskan dan pembuatnya menyadari sepenuhnya bahwa berita tersebut palsu, sedangkan misinformasi -- keterangan yang salah -- adalah sebuah keterangan/berita dikeluarkan tanpa mengecek lebih dulu keakuratan datanya. Si penyebar berita ini tidak mengetahui atau lalai bahwa keterangan yang diberikannya tidak benar. Jadi dapat dikatakan bahwa tanpa faktor kesengajaan, dia menyebarkan berita yang salah.
Penyebaran hoax yang masif kemungkinan disebabkan oleh adanya 'penyakit' yang diderita masyarakat di era seperti sekarang, yaitu FoMO, Fear of Missing Out. Takut akan ketinggalan akan suatu hal, yang dalam hal ini tren berita, sehingga mendorong orang merespon cepat kabar yang ia terima begitu saja.
Pembaca yang budiman, setelah kita mengetahui dampak buruk dari berita hoax, seyogyanya kita bersegera mengajak seluruh elemen masyarakat, baik pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum lainnya untuk tidak memakan mentah-mentah berita yang diterima, apalagi langsung menyebarkannya, terutama kita sebagai insan pendidik, harus lebih jeli, teliti, bijak, dan cerdas dalam memilih dan memilah berita yang ada.
*****
Sumber:
Fake News, misinformation and propaganda. Retrieved March 2017 ,30,
 http://guides.library.harvard.edu/fake
Arianti, Tiara. Penyebaran Berita Hoax melalui Internet. Retrieved from
http://www.slideshare.net/Tiara_03/ppt-penyebaran-berita-hoax-melaluiinternet
Hancock, P. A. (2015). Hoax springs eternal: the psychology of cognitive
deception. New York, NY: Cambridge University Press.3.
https://dapoyster.wordpress.com/ (10/02/2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H