Sebagai lembaga pendidikan,Madrasah atau sekolah memerlukan seorang pemimpin sebagai eksekutif madrasah (kepala madrasah/sekolah). Penelitian yang menggunakan madrasah/sekolah sebagai sampel lembaga banyak berfokus pada perilaku, etos, gaya kerja, motivasi, kemampuan manajerial, dan aspek-aspek yang berkaita dengan masalah kepemimpinan madrasah/sekolah.
Kepala madrasah/sekolah bertanggung jawab terhadap perberdayaan sumber daya yang ada di madrasah yang meliputi SDM, sarana dan prasarana, biaya, teknologi dan informasi. Diantara sumber daya manajemen tersebut Sumber Daya Manusia adalah yang paling penting dan perlu diberdayakan. Hal tersebut mengingat Sumber Daya Manusia adalah yang dinamis dan perannya sebagai pelaku-pelaku pendidikan yang nantinya akan memberi warna bagi kehidupan madrasah/sekolah.
Sebuah organisasi merupakan wadah bagi beroperasinya manajemen. Di sini aktivitas manajemen menjadi salah satu subsistem dari organisasi. Manajemen menjadi teknik atau alat yang menggerakkan organisasi menuju tercapainya tujuan yang diinginkan. Dalam konteks tugas manajer, pengambilan keputusan merupakan salah satu peranan manajer yang disebut peranan desisional. Pengambilan keputusan erat kaitannya dengan kepemimpinan.Â
Artinya, pemimpinlah yang memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan. Bila dikaitkan dalam kepemimpinan lembaga terutama lembaga pendidikan Islam, masih banyak kepala madrasah menjalankan kepemimpinannya dengan kebijakan serba mono, yaitu mono manajemen, mono kepemimpinan, mono keputusan, dan lain sebagainya.
Di dalam sebuah organisasi pembuatan keputusan adalah kata kunci dari efektifitas organisasi. Di dalam teori-teori tentang keputusan bahwa kegiatan manajerial adalah sebuah pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan di dalam oganisasi harus diupayakan untuk meciptakan keputusan dari yang tidak terprogram menjadi keputusan terprogram. Menurut Fatah Syukur (177: 2011) bahwa seorang pemimpin yang sebagai pengambil keputusan mampu membatasi rasionalitas. Batasan tentang pengetahuan seseorang atau pengetahuan tentang organisasi membatasi kapabilitas organisasi.
Dalam perspektif agama pengambilan keputusan itu tidak bisa dilepaskan dengan kepemimpinan, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri, hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits :
. : ." ..."
Landasan Agama sebagai dasar utama Pengambilan keputusan
Secara teologis, agama Islam telah menggariskan bahwa apabila pemimpin akan mengambil keputusan diusahakan sejauh mungkin dengan lemah lembut, bersiap untuk memaafkan, bermusyawarah dan apabila keputusan telah diambil maka terhadap keputusan itu harus patuh sebagaimana firman Allah Swt dalam  Ali Imran ayat 159 di bawah ini.
Artinya : "Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah- lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS Ali-Imran: 159)
Musyawarah merupakan jalan yang baik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang pelik, baik persoalan keluarga, kelompok, bangsa atau persoalan apapun yang perlu segera dicarikan jalan keluar sebagai pemecahannya. Dengan musyawarah maka orang-orang yang ikut bermusyawarah merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Maka musyawarah sesungguhnya bentuk partisipatif anggota organisasi dalam pengambilan keputusan.
Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian Al-Qur'an dan Hadist yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Dalam hal menyelesaikan urusan rumah tangga, Islam memberikan petunjuk senagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233. Â
Artinya: "Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya". (QS. Al-Baqarah: 233)