Sesungguhnya makna ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya relasi suami- istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak dilakukan. Di dalam menyapih anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus mengadakan musyawarah. Menyapih anak itu tidak boleh dilakukan tanpa ada musyawarah. Seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur'an memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersatukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik.
Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur'an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara khusus. Oleh karena itu sistem permusyawaratan yang akan dipakai sepenuhnya diserahkan kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik.
Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah yang dianjurkan atau diperintahkan dalam Islam itu khusus dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk dimusyawarahkan bukan persoalan-persoalan yang sudah jelas hukumnya. Dalam sejarah Rasulullah, beliau Saw tidak pernah memberikan contoh memusyawarahkan status hukum khamar yang sudah jelas haram. Tetapi Rasulullah Saw memberikan contoh memusyawarahkan teknis penyergapan musuh dalam perang Badar. Â
Dengan kata lain, untuk persoalan-persoalan pokok (ushul) yang sudah jelas hukum halal dan haramnya, umat Islam tidak bisa melakukan musyawarah untuk mengubah status hukum tersebut, misalnya dari status hukum halal berubah menjadi halal, dan sebalik. Namun musyawarah dilakukan untuk persoalan-persoalan dalam domain  teknis atau untuk mencari pendapat dan saran yang kuat. Oleh karenanya, dalam konteks ini, para sahabat Rasulullah Saw sebelum mereka mengeluarkan pendapat kepada beliau Saw selalu bertanya dulu apakah pendapat Rasulullah itu merupakan wahyu atau pendapat pribadi beliau yang masih memungkinkan untuk diberi saran. Bila pendapat tersebut adalah wahyu, para shahabat melakukan sami'na wa atha'na. Namun, bila pendapat tersebut bukan wahyu, para shahabat banyak memberikan pendapat kepada Nabi Muhammad Saw. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H