Pagi itu, hari kamis (29/07/2021) saya melangkahkan kaki di jalanan Dukuh Mojobayi yang merupakan salah satu dari dukuh di Desa Purwosuman, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen. Dukuh ini berada di perbatasan antara Kabupaten Sragen dan Karanganyar. Tampak pembangunan dan pendidikan telah menyentuh desa saya ini, sehingga kehidupan warganya meskipun tidak terlalu maju namun juga masih dapat disebut sebagai desa yang berdaya.
Sebagai seorang Mahasiswa yang sedang melaksanakan kegiatan KKN dari Universitas Slamet Riyadi Surakarta sekaligus membantu proses vaksinasi di desa ini, saya diberi tugas sebagai pendata calon penerima vaksin untuk usia 50-60 tahun. Satu persatu rumah warga yang berhak menerima vaksin saya datangi dengan harapan bahwa warga dapat mengetahui dan meluangkan waktu untuk melakukan vaksinasi.
Namun, realita di lapangan masih memberikan gambaran tentang pola pikir masyarakat yang bisa dibilang sudah ketinggalan zaman. Mayoritas warga yang saya datangi mencoba menghindar atau memberi alasan yang tidak masuk akal. Tentu sebagai pihak yang tidak mempunyai wewenang untuk memaksa warga, saya mencoba menghargai dan memberikan penjelasan sekedarnya.
"Xenophobia", begitulah istilah psikologi yang menggambarkan perilaku manusia yang takut pada hal-hal yang baru, tidak diketahui, tidak familiar, dan asing. Kemunculan virus corona yang tiba-tiba telah mengubah banyak hal dalam cara menjalani hidup  dan membawa banyak hal yang sebelumnya tidak pernah kita tahu. Perubahan yang cepat berbanding terbalik kesiapan kita dalam mengantisipasinya.
Berbagai alasan seperti "vaksin adalah konspirasi pemerintah, mempunyai efek samping mematikan, dan tidak aman" adalah alasan yang paling sering saya dengar. Hoax di media sosial memberikan amplifikasi terhadap kesalahpahaman tentang vaksin yang beredar di masyarakat. Semua penyangkalan itu adalah manifestasi dari ketakutan masyarakat tentang hal baru meskipun ketakutan tersebut tidak memiliki dasar yang jelas. Tentu ini adalah ironi mengingat bahwa vaksin yang merupakan salah satu cara paling mutakhir untuk melindungi tubuh dari virus justru lebih ditakuti daripada virus itu sendiri.
Dari 34 orang calon penerima vaksin yang saya datangi, hanya 13 orang menyatakan bersedia untuk mengikuti kegiatan vaksinasi. Dan dari 13 orang itu, diperkirakan tidak semuanya akan hadir saat hari pelaksanaan vaksinasi jika melihat dari tren pendataan sebelumnya. Padahal jika mau sedikit kritis, kita akan menemukan banyak alasan untuk melakukan vaksinasi, diantarnya :
1. Vaksin adalah hak sebagai Warga Negara Indonesia
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan Kesehatan oleh Negara dan Pemerintah sebagai fasilitator berkewajiban untuk menyediakan layanan kesehatan untuk masyarakat. Namun, yang terjadi adalah vaksin dianggap sebagai kewajiban sehingga untuk melakukan vaksin seakan dipaksa.
2. Vaksin Dibeli dengan Uang Rakyat
Mengingat jumlah dan ketersediaan vaksin yang minim dan dibeli dengan uang negara yang notabennya adalah uang dari pajak yang dibayarkan masyarakat sendiri, seharusnya masyarakat lebih antusias dan tidak menolak untuk melakukan vaksinasi.
3. Anak-Anak juga Divaksin
Sebagian besar yang menolak vaksin adalah mereka yang sudah menjadi orang tua. Namun anehnya, mereka tidak menolak untuk melakukan vaksinasi untuk anak-anak mereka di posyandu. Mengingat vaksin dibuat dengan prosedur yang sama, hal itu seharusnya menjadi refleksi untuk tidak termakan hoax di media sosial maupun misinformasi yang beredar di masyarakat dan antusias dalam melakukan vaksinasi.
4. Surat Keterangan Vaksin
Sebagai bukti telah melakukan vaksinasi, masyarakat akan diberikan Surat Keterangan Vaksin yang kemungkinan besar akan menjadi syarat bekerja maupun berkegiatan di masa pandemi. Melewatkan kesempatan vaksinasi akan berdampak merugikan bagi diri sendiri.
Namun masyarakat juga tidak serta merta harus disalahkan, mengingat pemerintah juga berperan besar atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap penanganan pandemi ini. Mulai dari ketidaksigapan, bahkan terkesan "meremehkan" ketika virus tersebut pertama kali memasuki wilayah Indonesia dan berbagai kebijakan yang tidak tegas dan terkesan setengah-setengah. Selain itu, juga banyak kepala daerah yang dianggap sebagai panutan justru melanggar protokol kesehatan secara terang-terangan.
Pada akhirnya, berapa lama virus ini akan terus menjadi "momok" bagi kehidupan di negara Indonesia akan ditentukan oleh bagaimana sikap pemerintah dan masyarakat baik dalam skala makro maupun mikro. Dan melihat dari realitas sekarang, mungkin kita harus menerima kenyataan bahwa virus ini akan tetap bersama kita dalam waktu yang tidak sebentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H