Kompasiana.com - Ada anak muda yang sedang berjalan membawa map untuk mencari pekerjaan, ada yang sedang memetik gitar memainkan musik, ada yang sedang memetik bunga untuk cintanya kepada sang gadis, ada yang sedang duduk dipojok perpustakaan membaca buku-buku, ada yang menulis di atas secarik layar, ada juga yang sedang memegang gadget bermain game, ada yang sedang berkeringat dikepung asap ban bekas di tengah jalan sambil berorasi.
Mereka semua adalah wajah pemuda Indonesia, yang akan mewarisi jalannya peradaban bangsa ini. Kepada mereka estafet kepemimpinan akan diarahkan.
Mereka sebagian adalah kaum intelektual, sebagaian lagi anak-anak hedonis yang sedang menggeliat dalam pusaran gaya zaman. Dan mereka disebut kaum milenial.
Milenial seyogyanya bukanlah anak emas zaman, tapi mereka punya peran untuk membuat zaman keemasan. Mereka lahir dalam suasana kemajuan, tapi kadang mereka hanya menjadi budak industri tekhnologi.
Mereka adalah bonus demografi terbesar abad ini, dan mereka selalu didengungkan dalam mimbar-mimbar politik dan bisnis. Pasar mereka adalah pasar potensial, apa saja dijual ke mereka akan laku. Tapi mereka tidak sadar bahwa mereka adalah bonus demografi yang besar dan potensial itu.
Para pemuda milenial itu sebagian besar adalah "Kaum Intelektual" atau orang-orang yang terpelajar. Oleh Gramsci  kaum intelektual itu disebut sebagai seorang pendiri, organiser, pejuang yang militan dan mampu bertarung dalam segala medan.
Mereka mampu membangkitkan perlawanan budaya untuk hegemoni, dan mereka juga dapat menyiapkan perjuangan politik yang akan berpuncak pada perebutan kekuasaan dari kelompok dominan.
Kaum intelektual itu memiliki dua wajah, kata Gramsci, yaitu Intelektual Tradisional dan intelektual organik. Intelektual Tradisional adalah "kaum mapan" yang hidup hanya untuk mengikuti saja apa yang telah ada tanpa keinginan untuk merubahnya, mereka juga dalam struktur kekuasaan hanya mempertahankan status quo dengan membeo pada kekuasaan dan hegemoni kelompok elit.
Sementara kaum intelektual organik adalah mereka yang membicarakan tentang hegemoni kekuasaan, melawan struktur elit yang mapan, dan meruntuhkan hegemoni itu. Mereka menantang kemapanan oligarki, menggugat hegemoni kuasa elit mapan maupun elit tua yang bercokol di puncak yang disebut gerontokrasi.
Jiwa dan semangat perlawanan itu sebut sebagai aktivis. Yaitu mereka yang selalu "berpikir revolusioner", membangun kekuatan untuk melawan hegemoni, mengorganisir pergerakan, membangun jaringan sosial dan politik yang kuat.