Ryano Panjaitan menyebutnya sebagai Aktivist Preneur. Aktivist preneur adalah kemampuan memadukan antara jiwa aktivis dengan interpreunship yang berbasis pada moralitas, intelektualitas, basis dan jaringan. Perpaduan antara intelektualitas dan jaringan adalah merupakan modal yang sangat besar dalam dunia usaha. Jiwa sosial dan jiwa kemanusiaan aktivis sangat mendukung akan terbentuknya jaringan usaha dan mempercepat perkembangannya dalam dunia bisnis.
Dengan demikian aktivis tidak hanya dikenal sebagai para demonstran belaka, tetapi dikenal sebagai "konglomerat". Apabila realisasi gagasan aktivis Preneur ini mampu dijalankan maka akan lahir sebuah kekuatan baru di abad 21 yaitu kekuatan aktivis Preneur.
Tapi kita juga menyadari bahwa tidak semua aktivis memiliki jiwa usaha, namun bukan berarti tidak ada jalan bagi aktivis untuk menjadi pengusaha. Karena perkembangan zaman ini membuka peluang bagi siapa saja untuk membangun usaha dengan berbagai akses dan kemudahannya.
Dalam era 4.0, era terjadinya digitalisasi ekonomi yang terjadi cukup pesat, para pelaku usaha dituntut untuk dapat memiliki visi jauh ke depan serta menuntut mereka untuk dapat beradaptasi dengan berbagai macam perubahan.
Revolusi industri 4.0 dapat memberikan berbagai peluang baru bagi setiap jenis dan ukuran bisnis di Indonesia. Tak terkecuali bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sementara bagi pelaku industri yang sudah mapan ini merupakan tantangan.
Anak milenial yang akrab dengan teknologi memiliki kesempatan emas untuk membuka usaha bisnis. Karena yang diandalkan dalam bisnis sekarang ini adalah kecanggihan teknologi dan kemampuan untuk membangun jaringan bisnis dan pasar. Tentu jaringan ini sangat kuat bagi aktivis.
Apabil aktivis mampu memadukan antara aktivisme dan jiwa interpreunship seperti yang menjadi gagasan Ryano Panjaitan, maka kembali lagi pada konsep Gramsci, bahwa perjuangan  kaum intelektual "organik" untuk meruntuhkan kekuasaan mapan termasuk kekuasaan oligarki ekonomi dan oligarki politik dapat tercapai.
Selama ini kita selalu mengutuk oligarki, mengecam persekongkolan antara pengusaha dan penguasa, tapi tidak pernah berupaya mengambil alih dunia usaha untuk mengakhiri persekongkolan itu.
Maka tawaran akan konsep Aktivis Preneur adalah jalan keluar dari kemelut yang selalu mengatakan "Aktivis itu adalah kaum dhuafa secara ekonomi".
Saatnya gagasan aktivis Preneur itu menjadi jalan baru bagi anak-anak muda yang berjuang di organisasi kemahasiswaan untuk merebut kekuasaan. Bukan hanya secara organik seperti yang ajarkan Gramsci tetapi merebut hegemoni ekonomi ditangan oligarki ekonomi yang kuat.
Kaum intelektual dapat membangkitkan massa dengan ide-ide revolusionernya untuk menciptakan suatu perubahan. Hanya dengan integrasi antara aktivisme dan jiwa interpreunship yang mampu menjawab ide revolusioner itu.