Salah satu yang dikhawatirkan bangsa kita saat ini, terutama menjelang Pemilu, adalah kampanye yang kerap memecah belah bangsa Indonesia. Kampanye tersebut, bisa dalam bentuk yang bermacam-macam; kampanye hitam (black campaign), saling memfitnah, menyeberkan hoax, hingga mengajak untuk saling membenci.
Para aktornya masih sama. Mereka adalah orang-orang yang sebetulnya memiliki kepentingan pragmatis dengan bersembunyi di balik nama "kepentingan bersama". Mereka menilai dirinya kritis, tapi semua logika yang digunakan hanya berbau kekuasaan. Bahkan, tak ada satu pun pernyataannya yang betul-betul berpihak kepada kemanusiaan. Padahal, selalu menjargonkan kemanusiaan.
Alih-alih menebarkan pesan perdamaian, mereka terkadang membuat resah banyak masyarakat, hingga menimbulkan perpecahan antar kelompok. Entahlah, sebutan apa yang pas untuk mereka. Namun, publik menyebutnya sebagai "buzzer" pemecah belah bangsa.
Pada 14 Juni 2023 yang lalu, Ade Armando, politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengunggah salah satu videonya di Youtube Cokro TV berjudul "Enam Alasan Mengapa Saya Tidak Mungkin Mendukung Prabowo". Dalam video tersebut, ada banyak kekeliruan yang dikemukakan oleh Ade soal sosok Prabowo.
Dalam video tersebut, Ade Armando mengungkapkan 6 alasannya tak memilih Prabowo; pelanggaran HAM, ketidakstabilan psikologis, kedekatan dengan Cendana, pro-negara Islam, ketiadaan dukungannya kepada demokrasi, dan potensi korupsi.
Isu pelanggaran HAM PrabowoÂ
Banyak keganjalan yang disampaikan oleh Ade Armando dalam video tersebut. Pertama, soal pelanggaran HAM. Isu ini sebetulnya isu klasik yang kerap digunakan oleh lawan politik Prabowo untuk menebarkan kebencian. Padahal, pelanggaran HAM yang kerap disematkan kepada Prabowo, tak pernah terbukti hingga hari ini. Isu tersebut seperti isu musiman saja. Padahal seharusnya, jika terbukti melanggar, Prabowo tentu sudah lama mendapat hukuman. Namun hal itu tidak terbukti di pengadilan.
Bukti lainnya adalah dukungan keluarga korban tragedi Trisakti 1998 pada Pilpres 2014 yang lalu. Ibu mahasiswa korban bernama Heri Hertanto, Lasmiyati yakin jika sosok Mantan Danjen Kopassus itu tak pernah terlibat dalam kasus pelanggaran HAM. Selain Lasmiyati, ada pula Hira Teti, ibu dari Elang Mulia Lesmana, adik kandung Elang, RM Awangga, dan Karsiah, ibu dari Hendriawan Sie.
Hal ini makin menguatkan jika isu tersebut adalah "fitnah" yang bahkan bisa disebut sebagai black campaign (kampanye gelap) yang dibuat untuk menebarkan kebencian kepada Prabowo saja. "Semua tuduhan yang ditujukan kepada Pak Prabowo itu tidak benar. Kasus penculikan itu (1998) dia tidak terlibat. Sudah dilakukan sidang Mahkamah Militer dan tidak terbukti," ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon.
Kebangkitan Keluarga Cendana, kata siapa?Â
Kedua, soal hubungan Prabowo dengan Keluarga Cendana. Atas dasar hubungan ini, Prabowo kerap kali disebut-sebut sebagai antek Orde Baru. Meskipun memiliki kedekatan dengan keluarga Soeharto, Prabowo tak pernah mendapatkan keistimewaan khusus apa pun. Pangkat kemiliterannya, diperoleh karena prestasi-prestasinya saat melakukan operasi-operasi militer demi membela Tanah Air.
Soal fitnah sebagai antek Orde Baru, mungkin kesaksian Fahri Hamzah yang pada saat itu merupakan aktivis 98 dan oposisi Orde Baru, bisa membuktikan bahwa Prabowo adalah sosok yang sangat demokratis dan jauh dari kata otoriter. Prabowo mampu bersikap independent di tengah-tengah kekuasaan Orde Baru.
"Pak Harto sebagai realitas yang kuat, iya, tapi pandangan tentang bagaimana kita melihat masa depan itu dia (Prabowo) bisa menyebutnya secara independent. Dan fakta bahwa dia mengizinkan kebebasan berfikir di kalangan teman-teman, bahkan menciptakan ruang-ruang diskusi yang tajam,"kata Fahri.
Sehingga, bisa dipastikan ketakutan Ade Armando soal kebangkitan Keluarga Cendana adalah ketakutan yang dibuat-buat untuk menggiring opini tentang keburukan Prabowo.
Prabowo pro demokrasi dan pembela NKRIÂ
Ketiga, Prabowo adalah sosok yang demokratis dan berpihak pada pembangunan demokrasi di Indonesia. Salah satu prestasinya sebagai seorang pemimpin adalah kemampuannya melerai polarisasi politik yang tajam pasca Pilpres 2019 yang lalu. Prabowo pernah bercerita tentang kisahnya yang bertemu dengan seorang demonstran muda yang siap mati untuk membelanya di Pilpres 2019 yang lalu.
"Saya datang ke jalan daerah Menteng itu jam 1 malam, tanggal 22, tanggal 22 atau 21,banyak yang kena gas air mata, ada anak 18 tahun lihat saya: 'Pak Prabowo! Pak Prabowo! Kami siap mati untuk Pak Prabowo!' Saya turun langsung," ujar Menhan Prabowo.
"Saya tidak mau kau mati untuk saya. Kau hidup untuk orang tuamu dan untuk bangsa Indonesia'. Kita tidak boleh pecah! Saudara-saudara, siapa yang jadi presiden, siapa yang jadi gubernur, siapa yang jadi bupati, tidak jadi masalah, yang penting bekerja untuk rakyat Indonesia!" sambungnya.
Bagaimana mungkin orang yang punya kepekaan sosial tinggi seperti ini, disebut-sebut sebagai sosok yang kurang stabil secara psikologis? Pernyataan di atas, sekaligus menjawab logika Ade Armando tentang ketidakstabilan emosi Prabowo.
Pasca Pilpres 2019, Prabowo kemudian memilih untuk menerima tawaran Presiden Jokowi, bergabung di kabinet Indonesia Maju. Keputusan berat itu, tentu diterima Prabowo dengan sangat matang. Prabowo ingin bangsa Indonesia tetap bersatu dan tak mau dipecah belah oleh oknum-oknum tertentu. Ia membuktikan Indonesia bisa menjadi contoh negara yang mampu membangun demokrasi yang sehat; demokrasi tanpa kebencian, demokrasi gotong-royong, dan demokrasi berkeadilan. Dengan demikian, jelaslah bahwa Prabowo memiliki komitmen untuk membangun demokrasi yang sehat. Hal ini sekaligus menyanggah logika Ade Armando tentang keberpihakan Prabowo kepada kelompok Pro Khilafah.
Bagaimana mungkin orang yang sudah bertahun-tahun membela dan mempertaruhkan nyawa demi NKRI dinilai berkhinat dan tak memiliki komitmen kepada Pancasila serta dianggap mau membentuk negara Khilafah? Tentu tak masuk akal bukan.
Komitmen memberantas korupsiÂ
Keempat, Prabowo justru orang yang pernah menyelamatkan Indonesia dari korupsi terutama potensi korupsi di Kemhan. Cerita tersebut, pernah disampaikan oleh Adik Prabowo langsung, Hashim Djojohadikusumo. Ia bercerita, bahwa kakaknya yang saat itu baru dua bulan menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI dan langsung disodorkan kontrak-kontrak pengadaan senjata senilai Rp 51 triliun.
Dan kontrak-kontrak itu, kata Hashim, sarat dengan korupsi. "Itu gila-gilaan itu, sampai saya enggak percaya juga. Gila-gilaan mark up-nya. Ada satu kontrak, mark up-nya 1.250 persen," ungkapnya.
"Saya sudah tahu ada korupsi, tapi saya baru tahu dan Prabowo juga baru tahu korupsi sudah gila-gilaan di kementeriannya. Karena waktunya sudah mepet, 31 Desember harus teken. Dia [Prabowo] putuskan tidak ada teken, tidak ditandatangani. Dengan kata lain, dia membatalkan sejumlah kontrak senjata senilai Rp 51 triliun," imbuh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu.
Sebagai mantan dosen, Ade Armando seharusnya lebih matang memahami etika demokrasi di ruang publik. Sebetulnya, dalam video tersebut Ade Armando mengaku memiliki masalah dengan PDIP yang selalu menyetir Ganjar Pranowo sebagai Capres. Namun, Alih-alih membahas masalahnya dengan PDIP, video tersebut nyaris tak membahas sama sekali masalahnya dengan PDIP. Â
Ade Armado seolah-olah ingin menyerang lawan politik Ganjar yaitu Prabowo Subianto dengan mencitrakan keburukannya saja. Padahal semestinya, jika dirinya berkomitmen mendukung Ganjar, yang perlu dia lakukan adalah mencitrakan Ganjar sebagai pemimpin berprestasi. Bukan sebaliknya, melakukan kampanye gelap "terselubung" dan mempermasalahkan pencapresan Prabowo Subianto.
Terakhir, meminjam kata-kata Ade Armando sendiri; ayo gunakan akal sehat, karena hanya kalau kita gunakan akal sehat kita, bangsa kita terselamatkan dari oknum-oknum pemecah belah bangsa. Termakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H