politik di Indonesia kian memanas. Di tengah persiapan partai politik bertempur untuk merebut kepercayaan rakyat dan memilih jagoannya, Media dinilai menjadi salah satu opsi wadah penyebaran yang efektif.
Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024 mendatang, suasanaBukan rahasia umum jika media saat ini memihak pada politik, bukan karena keinginan dari redaksi itu sendiri, namun pemilik ikut campur tangan mengarahkan media sebagai industri memberikan keuntungan pemilik secara personal.
Padahal, jika menilik dari Kode Etik Jurnalistik, keberpihakan poltik sudah melanggar. Ignatius Haryanto menulis opininya dan diterbitkan kompas.id memberikan observasinya bahwa menurutnya sejarah mencatat, media yang berpihak, yang partisan, telah kehilangan kepercayaan publik.
Koran Suara Karya yang pada masa Orde Baru (terbit sejak 1971) merasakan sebagai koran pemerintah, dengan dukungan tinggi dari Golkar (yang tak mau disebut partai politik saat itu). Hari ini Suara Karya tinggal kenangan, tidak lagi hidup di antara kita karena juga masa Orde Baru telah lama usai.
Dan masih banyak lagi. Mungkin Kompasianer sudah tahu bagaimana grup MNC media tentu kerap menayangkan Partai Perindo di beberapa iklan bahkan program untuk menaikan citra pemilik, yakni Hary Tanoesoedibjo.
Begitu juga kerap dilakukan media lain dengan kepentingan partai yang dinaungi oleh pemilik media. Lalu, bagaimana pelanggaran kepentingan tersebut dapat dicegah?
Hingga saat ini penulis belum menemukan solusi, dimana saat ini masih merasakan media memberikan informasi secara masif untuk pemilik atau partai naungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H