Mohon tunggu...
Funpol
Funpol Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tumbuh dan Menggugah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hah, 95 Persen Ekspor Nikel Sulawesi Tenggara Tergantung China?

12 Desember 2022   18:45 Diperbarui: 12 Desember 2022   19:07 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki era kendaraan listrik tentu berbanding lurus dengan meningkat pesatnya permintaan nikel secara global. Jangan salah, Sulawesi Tenggara menjadi daerah lumbung nikel dengan permintaan yang sangat tinggi.
Sebagai bahan baku pengembangan kendaraan listrik, nikel, mineral menjadi elemen penting dalam pembuatan baterai kendaraan. Nikel juga diolah menjadi baja tahan karat yang jamak ditemui perkakas rumah tangga, kendaraan hingga telepon pintar.

Kompas.id mencatat, hingga oktober 2022, sebanyak 99,53 persen atau 4,7 miliar dollar Amerika berasal dari golongan besi dan baja. Nilai ini setara dengan RP 71 triliun.

Yang menjadi perhatian ialah sebanyak 4,6 milliar dollar atau setara lebih dari Rp 70 triliun dikirim ke China. Nilainya mencapai 96 persen dari total ekspor. Dengan demikian, hampir semua produk olahan nikel tersebut dikirim ke China.

Source: Kompas.ID
Source: Kompas.ID
Syamsu Anam, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari, menjabarkan, selama lima tahun terakhir, ekspor ke China semakin tinggi. Komposisinya bahkan hampir mencapai 100 persen dari total ekspor provinsi ini.

Inilah yang menjadi masalah terbesar bagi bangsa kita yang kerap sulit berkembang di tengah sumber daya alam yang begitu melimpah.

Penulis mengamati, dalam hal apapun, kebutuhan alam kita sebenarnya dapat memenuhi permintaan rakyat, namun salah kelolanya dan mengedepankan kepentingan pribadi membuat segala SDA di Indonesia terkesan selalu kekurangan.

Sebagaimana kasus minyak dunia yang naik menyebabkan kenaikan cukup drastis. Pertalite pun harus disubsidi pemerintah demi menekan kenaikan yang membuat masyarakat makin menjerit.

Padahal, Indonesia sendiri memiliki minyak namun masih dalam kategori mentah. proses pengilangan sendiri dianggap tidak bisa memenuhi permintaan yang begitu besar sehingga harus import. Padahal, melihat dari tren tiap tahun pengilangan justru menurun bukannya meningkat.

Dalam buku Paradoks Indonesia dan Solusinya yang ditulis Prabowo Subianto seakan membenarkan fenomena yang terjadi saat ini.

Cara yang paling tepat adalah menghentikan kekayaan kita mengalir ke luar. Seperti saat VOC dulu datang ke Indonesia, mengalirkan kekayaan Indonesia begitu terlihat.

Kalau begini, dapatkan kita lebih bersabar mengolah kekayaan sumber daya alam kita dengan potensi luar biasa di masa depan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun