Sebagai organisasi mahasiswa, Gerakan Mahasiswa nasional Indonesia (GMNI) itu ibarat tetangga yang suka kasih saran di balik pagar, bukan anak kos yang manut sama aturan rumah. Masalahnya, banyak yang ngira GMNI ini sekadar "anak angkat"Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Padahal, GMNI punya jati diri sendiri yang nggak bisa di-labelin begitu aja. Ideologi GMNI jelas: Marhaenisme,! Sebuah ajaran yang bikin kita tetap melek sama persoalan rakyat kecil atau dalam bahasa kekiniannya, "keep it real for the little guy!".
Jadi, apa sih Marhaenisme itu? Buat yang belum tahu, Marhaenisme itu bukan sekadar "gaya hidup", tapi prinsip hidup ala Bung Karno yang peduli sama nasib rakyat kecil, petani kecil, tukang becak, dan semua yang sering kebagian jatah "minggir, mas, proyek gede mau lewat!" Nah, prinsip ini bukan punya PDIP aja; ini prinsip "peduli rakyat" yang universal.
GMNI berpegang sama Marhaenisme, tapi itu nggak berarti otomatis satu paket sama partai politik manapun. GMNI justru fokus jadi ngeri-ngeri sedap buat pemerintah. Ibarat sahabat kritis yang siap ngasih "semburan jujur", GMNI bakal protes kalo pemerintah ngambil keputusan yang nggak pro-rakyat.
Misalnya, kalau ada kebijakan yang dirasa nggak marhaenis alias nggak berpihak ke wong cilik, GMNI bukan cuma diem manis. Kita ini lebih seperti "watchdog," siap menggonggong ketika ada yang nggak benar, bukan seperti "anak buah" yang nunggu instruksi.
Kenapa bisa banyak orang salah paham? Ya, mungkin karena ada alumni GMNI yang masuk ke PDIP setelah lulus, mungkin karena beberapa kader GMNI sering "nampang" di acara partai.
Tapi itu bukan berarti GMNI adalah anak magang PDIP! Sama halnya kalau kita hobi ngopi di kedai sebelah, nggak berarti kita udah "jadi bagian dari karyawan" di situ, kan? Sebagai organisasi yang hidupnya di kampus, GMNI justru harus terus ngasah pemikiran kritis.
Kita belajar soal politik bukan untuk jadi tim sukses, tapi biar ngerti kapan pemerintah sedang benar-benar pro-rakyat atau cuma sekadar ngasih basa-basi.
Dan tugas GMNI adalah memastikan bahwa kita nggak tergantung pada PDIP atau partai mana pun, karena GMNI lebih setia pada Marhaenisme daripada logo partai.
Kalau GMNI ini diibaratkan tetangga, kita adalah tetangga yang suka kritik dari balik pagar, bukan yang lagi ngekos dan nyuci baju di rumah partai.
Jadi, jangan gampang nge-label kita sebagai underbouw partai. Kita mungkin satu jalan ideologi sama PDIP, tapi tetep punya kunci pagar sendiri.
Seperti kata Bung Karno, “Aku tinggalkan Indonesia merdeka, yang berjiwa merdeka.” GMNI hadir sebagai penjaga kemerdekaan itu dan berdiri kokoh untuk kebenaran, bukan untuk kekuasaan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H