Mohon tunggu...
Fulgensius
Fulgensius Mohon Tunggu... Penulis - Fiat Justitia Ruat Caelum, Salus Populi Supreme Lex

Hasta La Victoria siempre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dirgahayu Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia!! "Terminus Ad Quem" Kita Masih Sama. Kiri!!

23 Maret 2021   01:15 Diperbarui: 24 Maret 2021   11:00 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GMNI Surabaya Movement For Humanity

Oleh: Fulgensius A. Dhosa

"Dunia kini sedang dilanda Krisis. Kaum Muda yang merupakan penduduk mayoritas Bangsa senantiasa dikepung oleh berbagai persoalan. Mulai dari persoalan seputar "esensi dan eksistensi" kaum muda, hingga persoalan - persoalan berskala global yang datang menyerang tanpa kompromi. Maka pemuda-pemuda yang telah berusia dua puluh atau dua puluh satu tahun, tapi tidak memiliki pandangan-pandangan hidup yang jelas tentang bangsa, maka pemuda-pemuda seperti ini lebih baik digunduli saja kepalanya. Percayalah bahwa Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki Pemuda"-Soekarno.

"Mungkin atas dasar pijakan Idealisme yang kuat inilah maka berbagai organisasi serta wadah kepemudaaan di Indonesia didirkan oleh pemuda-pemuda progresif kala itu. Salah satu diantaranya adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Hari ini tepat 67 Tahun GMNI lahir dari proses peleburan dan fusi tiga organisasi kepemudaan, yakni Gerakan Mahasiswa Demokrat, Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis. GMNI resmi berdiri setelah mengadakan  Kongres pertama di Surabaya tepatnya di Balai Pemuda pada tanggal 23 Maret 1954. Dengan tokoh pelopor pembentukaan kala itu S.M Hadiprabowo, Slamet Djajawidjadja, Subagio Marsukin, Sri Sumantri bersama Kawan-kawan pergerakan lainnya. Dibawah restu langsung Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno, GMNI akhirnya lahir dan eksis berdiri hingga saat ini.

Dalam perkembangan dan dinamika pergerakannya GMNI berafiliasi menjadi organisasi sayap kepemudaan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), cikal bakal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) nantinya. PNI sebagai partai yang didirikan oleh Soekarno memang diakui kala itu mempunyai kontribusi yang besar bagi perkembangan bangsa Indonesia sejak awal-awal masa kemerdekaan. Hubungan PNI dan GMNI berakhir sejak Tahun 1973, karena keputusan pemerintah Orde Baru kala itu dibawah kekuasaan Sohearto untuk melakukan fusi Partai dan menjadikan GMNI keluar sebagai organisasi mahasiswa yang Independen. PNI akhirnya dalam perjalananyaa melakukan fusi dengan Partai lain membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkang GMNI melanjutkan perjalanannya menjadi "Organisasi Mahasiswa Yang Mandiri Serta Mempunyai Fungsi Kontrol, Yang Tidak Boleh Bahkan Dilarang Keras Untuk Berafiliasi dengan Organisasi Partai Manapun", sebagaimana yang tertuang dalam AD/ART Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.

**Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

Sesuatu yang sangat tidak terpisahkan ketika berbicara terkait Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dengan Ideologi kebanggannya "Marhaenisme". Bisa dikatakan Marhaenisme adalah "Nyawa, Nafas dan Sendi" pergerakan bagi anak-anak Ideologisnya di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Semua kerja-kerja ideologis yang dihasilkan Anggota dan Kader GMNI selalu bertolak dan berpijak dari Marhaenisme. Marhaenisme sebagai Ideologi (Pandangan Hidup) yang dilahirkan Sang Proklamator Bung Karno jauh sebelum kemerdekaan. Bahkan jauh sebelum Soekarno merampungkan konsepnya tentang Nasionalisme ataupun Pancasila sebagai Dasar Negara. Maka tidak elok menjadi penerus Ideologi ini tanpa membedah atau menelisik sedikit lebih jauh latar belakang dari Bung Karno dan Ideologi kebanggannya yang fenomenal dan akhirnya turut melahirkan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.

Soekarno dalam pandangan saya masih sebagai pribadi yang harus diakui, "Suka atau tidak suka" adalah Revolusioner. Sang Proklamator punya segala Kapabilitas (Kemampuan) sebagai pemimpin terlepas dari berbagai kontroversial dalam perjuangan dan pergerakannya, sebelum ataupun sesudah Revolusi Indonesia. Bung Karno jelas bukan pemimpin karbitan, atau menjadi pemimpin  karena keturunan serta mengandalkan orang dalam seperti yang biasa kita temui dalam situasi politik saat ini. Ayah dan ibunya sama sekali bukan berlatar belakang teoritik maupun politisi. Mengakui kapabilitas Soekarno bukan berarti "Soekarnois". Jelas tidak!. Bahkan dalam beberapa pandangan sangat perlu berseberangan bahkan sedikit menggugat Sang Proklamator dalam keterbatasannya tentu saja. "Seperti dalam kehidupan personal misalnya jika anda paham maksud saya". Kembali ke alasan utama Bung Karno masih tetap dan akan selalu menjadi seorang sosok yang Revolusioner adalah tidak lain dan tidak bukan karena keberhasilan dalam pembacaannya terkait situasi Indonesia jauh sebelum Kemerdekaan. Kemampuan tertinggi dari seorang Pemimpin, bahkan dalam kapasitasnya saat itu yang masih belum menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia. Kemampuan ini terilhami karena fondasi utama pergerakan Bung Karno yang kuat, yakni "Penguasaanya yang mendalam terkait berbagai Teori Sosial, Ekonomi dan Politik Dunia maupun Indonesia". Penguasaanya atas teori-teori yang ada turut menjadikannya sosok pemimpin kuat, tangguh, kharismatik, berapi-api bahkan menjadikan Sang Proklamator menjadi sosok yang seakan susah dikalahkan di masa-masa kolonialisme. Beberapa kali dipaksa bungkam serta terbelenggu dalam keadaan yang sangat sulit dan terpuruk, namun semangat Sang Proklamator tetap menyala-nyala. Tercatat sekitar kurang lebih tiga kali Soekarno dimasukan dan dijebloskan kedalam Penjara. Belum lagi ditambahkan pembuangan yang dialaminya sana sini dengan jangka waktu yang tidak singkat. 

Dalam buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" karya Cindy Adams dikisahkan bahwa pembuangan ke Ende-Flores-NTT oleh Belanda adalah ujian terberat bagi Soekarno. Diasingkan dari rekan-rekan perjuangan dengan situasi kondisi alam Flores yang terisolir dan masih tertinggal saat itu bahkan sampai sekarang. Saya berani bertaruh seorang manusia sekaliber aktivis pergerakan sekalipun, jika tidak membekali dirinya dengan teori pemikiran dan pengetahuan serta niat yang kuat, tidak akan bertahan dalam situasi yang sama seperti yang dialami Sang Proklamator. Jadi singkatnya dalam perjuangan Soekarno "Dasar dan Fondasinya Kokoh", "Tujuan dan Arah Perjuangannya" Jelas. "Mencapai Revolusi Penuh Bagi Indonesia". Lalu pertanyaannya teori-teori apa yang menjadi "Dasar" bagi sang proklamator dalam pergerakannya menghadiahkan Indonesia sebuah satu kesatuan Indonesia dalam bingkai indah Revolusi serta mampu melahirkan berbagai Ideologi maupun Pandangan-pandangan hidup yang memperbaharui peradaban Bangsa. Dalam buku "Dibawah Bendera Revolusi Bab Pertama" dapat kita temukan terpampang dengan sangat jelas."Marxisme" adalah salah satu teori dasar yang menjadi kunci keberhasilan Soekarno, disamping Nasionalisme dan eksistensinya sebagai seorang kaum Muslimin. "Bung Karno jelas adalah manusia pergerakan bersenjatakan Marxisme (Materialisme Dialektika Historis)", Jauh sebelum ia menemukan Marhaenisme. Bahkan dengan sangat gamblang Bung Karno menggambarkan Marhaenisme sebagai Marxisme ala Indonesia, diterapkan dalam kultur dan kebudayaan sesusai kondisi real Indonesia saat itu. Soekarno mampu menyatukan antara tiga golongan besar aliran yakni Marxisme, Nasionalisme dan Islamisme dalam proses penggabungan kekuatan-kekuatan Revolusi. Dalam sebuah artikel Soekarno didaulatkan sebagai seorang "Mujaddid (pembaharu) Islam terbesar abad Ke-20" bahkan layak disandingkan bersama para pendahulu-pendahulunya Imam Asy-Syafi'I dan Imam Ghazali, cendekiawan  Muslim terdahulu. Maka ini akhirnya semoga mengantarkan kita dalam sebuah satu kesatuan pembahasan yang utuh ketika berbicara terkait Marhaenisme dan Marxisme. Sesuatu yang sejatinya tidak bisa dan tak boleh dipisahkan sebagaimana yang senantiasa ditekankan Soekarno. "Marhaenisme Tanpa Marxisme Akan Kehilangan Apinya".

**Terminus ad queem (titik pijak) Marhaenisme

Marhaenisme lahir atas dasar kemanusiaan Bung Karno melihat situasi Bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang mayoritas saat itu didominasi kaum Petani digambarkan mempunyai semua alat-alat produksi (Kebun, Sawah, Cangkul, Pupuk) tetapi tetap tertindas oleh monopoli dalam perputaran sirkuit Kapital oleh para Pemilik Modal. Sedangkan Marxisme berangkat dari pemikiran Karl Marx filsuf dan pemikir kiri kelahiran Trier, Jerman tentang Alienasi (keterasingan) Kaum Proletar (Buruh) atas alat-alat produksi. Kaum Proletar (Buruh) dalam pandangan Marx mengabdikan seluruh tenaga dan karya kerja-kerja mereka, tapi tetap tertindas oleh kelas Aproisasi Kapital (Pemodal dan Pemilik modal). Para pemilik modal dalam kerja-kerja yang dilakukan kaum Buruh mengambil Surplus Value (Nilai Lebih) dari kerja-kerja produksi yang dihasilkan. 

Teori Jam Kerja Marx dalam pandangan Ekonomi Marxis dapat menjadi sedikit acuan kesadaran berpikir terkait penindasan bagi Kaum Buruh. Sebagai ilustrasi sederhana ketika seorang Buruh Pabrik Sepatu misalnya menghasilkan karya kerjannya memproduksi sepatu, maka perhitungan jam kerja perlu diperhatikan dengan cermat dan teliti. Menurut Teori sederhana Marx seandainya saja dalam sehari seorang buruh berhasil mengerjakan dan menghasilkan 8 buah sepatu dengan penghasilan persepatu 700.000 x 8 buah sepatu= 5.600.000 juta/hari. Maka dalam sehari buruh telah menghasilkan pemasukan bagi perusahaan sebesar 5.600.000 juta. Jika dikalikan 30 hari kerja maka penghasilan total perusahaan adalah 168.000.000 juta/bulan. 

Bayangkan saja dalam sebulan seorang buruh sepatu telah dapat menghasilkan 168.000.000 juta total pemasukan bagi perusahaan. Maka Marx mengilustrasikan misalnya si buruh penghasil sepatu tadi diupah dengan gaji 3.000.0000/perbulan, ditambah biaya pemeliharaan mesin produksi sekitar 2.000.000 perbulan, perusahaan tetap mengambil dan memperoleh pemasukan sebesar 163.000.000 Juta selama satu bulan penuh untuk semua kerja-kerja yang telah dihasilkan buruh. Dari titik inilah menurut Marx "penindasan dan penghisapan telah terjadi". Buruh tidak diupah dengan adil sesuai hasil-hasil kerja yang mereka lahirkan. Nilai lebih yang sebenarnya menjadi hak dari kerja-kerja cerdas dan kerja keras Kaum Buruh mau tidak mau "menjadi kepemilikan mutlak" pemilik modal dan pemilik alat-alat produksi. Menggenapi Konsep Alienasi (Keterasingan) manusia atas alat-alat produksi sebagaimana diuraikan Marx. Kaum Buruh yang melakukan kerja-kerja Produksi sama sekali tidak memiliki akses dan hak kontrol untuk semua hasil-hasil produksi. Terjadilah pergeseran dan tujuan utama kerja-kerja produksi sebagai penunjang utama kesejahteraan kaum Buruh, menjadi penindasan dan penghisapan. Kasus Kaum Proletar (Buruh) di Eropa awal abad pertengahan dalam konsep dan teori jam kerja sederhana Marx dilihat Soekarno sangat tidak dimungkinkan untuk diterapkan dalam situasi kultur Bangsa Indonesia saat itu. Mayoritas Masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan belum didominasi oleh Buruh. Pabrik-pabrik dan Industri yang ada masih sangat terbatas. Jumlah Kaum Buruh masih sangat minim untuk dijadikan basis perjuangan dan pergerakan. Bung Karno melihat situasi Indonesia saat itu masih didominasi oleh Kaum Tani, yakni sekitar periode tahun 1920-1950 hingga saat ini. Maka basis perjuangan yang diambil Seokarno melaui Petani untuk mencapai Sosialisme Indonesia dirasa cocok.

Berbeda dengan konsep Buruh dalam teori Marx yang sama sekali tidak memiliki alat-alat produksi dan hanya mengabdikan tenaga dan waktunya untuk bekerja, Kaum Tani "mempunyai semua alat-alat produksi yang dibutuhkan bahkan secara leluasa dapat mengatur produksi pertaniannya sendiri". Tapi meskipun dalam situasi "kepemilikan alat produksi yang berbeda" dengan Kaum Buruh, Soekarno melihat  Kaum Tani tetap sama tertindasnya oleh karena monopoli pasar dan proses  Kapitalisasi. Kaum Petani tidak mendapatkan hasil sesuai kerja kerasnya baik berladang maupun berkebun. Sistem pasar senantiasa mengintimidasi harga komoditas Petani yang  mengakibatkan Kaum Tani hanya bisa menjual dan memasarkan hasil panen dengan harga yang rendah. Nasib Petani pada akhirnya sama tertindas seperti Kaum Buruh. Tetap hidup dalam kemelaratan meski memiliki semua alat produksi yang dibutuhkan. Maka konsep kaum Marhaen (Petani, Kaum Buruh dan Kaum tertindas lainnya) diambil Soekarno. Konsep Marhaen sudah terpikirkan matang-matang oleh Soekarno sehingga tidak tidak hanya sebagai milik Kaum Tani yang memiliki alat produksi, tetapi juga Kaum Proletar (Buruh) dan kaum tertindas lainnya. Ini sekaligus menjawab pertanyaan seorang kawan dalam sebuah diskusi terkait relevansi Marhaenisme yang dirasa sudah usang dan tidak relevan dengan situasi Indonesia saat ini. Jawabannya sudah terpampang jelas kawan "Marhaenisme yang didalamnya mencakup Kaum Tani, Kaum Proletar yakni Kaum Buruh dan Kaum terindas laiinnya" masih memegang eksistensinya sebagai alat perjuangan dan akan selalu relevan diterapkan dalam konteks Indonesia sejak beberapa dekade silam hingga saat ini, bahkan mungkin untuk beratus-ratus tahun yang akan datang. Marhaen tidak hanya mengangkat golongan Tani, tetapi semua yang tertindas termasuk Buruh dalam konsep Marxisme Marx. Keduanya sama; Kiri. "Menentang Exploitation de I'homme par I'homme (penghisapan manusia atas manusia lain)". Sama-sama lahir dalam rahim kehidupan sosial yang tertindas oleh kepemilikan Kapital (modal) atau Borjuasi. Sama-sama "Anti Kapitalisme".(M. A. Anam:2017). Dalam situasi manapun Marhaenisme dan Kapitalisme adalah sebuah kontradiksi yang tidak bisa disatukan. Sangat aneh ketika dalam berbagai diskusi atau seminar masih banyak kawan- kawan sesama Kader  yang masih saling mempertanyakan. Ada yang mengatakan "kita sebenarnya tidak anti Kapitalisme", bahkan ada juga yang masih mempersoalkan konsep Marhaenisme sebagai Thesis atau Anthitesis. Teori Marxisme lainnya yang tidak kalah  tajam adalah Pisau analisa Marxisme "Materialisme Dialektika Historis"  yang jelas dipakai Soekarno sebagai "metode berpikir" dan bergerak dalam "konsep Marhaenisme maupun Perjuangan" selama proses dan persiapan menjelang Revolusi Indonesia 1945. Soekarno paham betul bagaimana proses perubahan dan perkembangan materi (Dialektika) di alam maupun dalam konteks sosial masyarakat Indonesia yang terjajah saat itu akan berjalan sesuai prinsip-prinsip dan tiga hukum dasar Dialektika (Revolusi). Soekarno yakin bahwa "tidak bisa dipaksakan ataupun dia rekayasa Suatu Revolusi itu". Hukum pertama yang pastinya Bung Karno pegang adalah Perubahan Kuantitas ke Kualitas. Hukum Kedua adalah Kontradiksi (Kutub berlawanan yang saling merasuki) dan Hukum Dialektika (Revolusi) Ketiga adalah Negasi ke Negasi. Sebagai contoh Hukum Pertama Dialektika yakni perubahan Kuantitas ke Kualitas sering kita jumpai pada fenomena alam misalnya air. Sebanyak apapun air disimpan dalam sebuah wadah tetaplah tidak terjadi pergeseran atau perubahan dari kuantitas menuju perubahan kualitas. Kemudian ketika air tadi terus ditambahkan dan mulai didihkan mencapai suhu 99 derajat iya masih merupakan air yang hanya bertambah kuantitas jumlahnya. Tapi ketika didihkan lagi satu derajat mencapai 100 derajat maka sebuah "loncatan besar" perubahan Kuantitas ke Kualitas telah terjadi. Air telah mendidih dan berubah menjadi uap. Fenomena ini dilihat Bung Karno tidak hanya terjadi pada fenomena alam tetapi juga akan berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia saat itu. Ia merasa perlu bersabar dan menambahkan Kuantitas pergerakan dari semua elemen bangsa saat itu untuk pada saatnya yang tepat mencapai perubahan kualitas (Revolusi), sehingga "Revolusi Indonesia 1945" adalah contoh nyata keberhasilan dalam Hukum pertama Dialektika (Revolusi) yakni perubahan Kuantitas ke Kualitas. Dibelahan dunia lain misalnya Revolusi Kuba oleh Fidel Castro, atau Revolusi Bolshevik Vladimir Lenin juga merupakan kesuksesan perubahan hukum pertama dalam Dialetika (Revolusi). 

Penumbangan Rezim Soeharto juga merupakan kesuksesan perubahan Kuantitas menjadi Kualitas. 32 tahun hidup dibawah cengkraman dan ketakutan, dipermukaan seakan tidak kelihatan pergerakan rakyat, akhirnya mencapai puncaknya pada 1998 ketika "loncatan kesadaran" masyarakat Indonesia terjadi dan tidak dapat lagi dibendung Orde Baru. Maka boleh jadi ketika berkaca kembali di detik-detik terakhir menjelang Proklamasi, keputusan Bung Karno untuk menunda memproklamirkan kemerdekaan bangsa yang ditentang kaum muda yang sangat berapi-api saat itu adalah kesadarannya yang mendalam terkait hukum pertama ini. Mungkin dalam pembacaannya  Bung Karno melihat belum saat yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena Jepang masih mempunyai taring yang cukup kuat di kancah Perang Dunia II. Soekarno waspada jika memproklamirkan kemerdekaan disaat yang tidak tepat akan menjadikan loncatan Revolusioner Indonesia menjadi Reaksioner oleh Jepang (Loncatan ke belakang) dan menggagalkan mimpi kemerdekaan Indonesia. Seperti Gerakan 30 september 1965 yang juga merupakan contoh (loncatan kebelakang). Soekarno menunggu jepang berada dalam posisi yang benar-benar lemah. Hukum Kedua dalam Dialektika Marx adalah Kontradiksi (Kutub berlawanan yang saling merasuki). Contohnya kehidupan dan Kematian adalah dua hal yang bertentangan tapi tetap saling merasuki.  Begitupun Soekarno melihat masyarakat Indonesia yang terjajah akan bergerak sesuai kontradiksi dan pertentangan yang ada. Perjuangan memperebutkan Kemerdekaan terjadi karena situasi kaum terjajah dan kaum penjajah yang terus berbenturan dan bertentangan bergerak dan mempengaruhi timbulnya perlawanan. Contoh lainnya Pergolakan Kaum Buruh di Eropa ataupun Kaum Marhaen di Indonesia abad 19 terhadap Kapitalisme juga adalah akibat kontradiksi antara produksi dan sistem sosial yang terus dan senantiasa berbenturan karena nilai lebih produksi yang terus diaproisasi secara pribadi. Hukum Ketiga Dialektika adalah Negasi ke Negasi. Menjelaskan bahwa sebuah gerak perubahan sosial di masyarakat bukanlah sebuah pengulangan dan lingkaran pergerakan  secara terus menerus tanpa makna dan akhir. Dalam Hukum Ketiga Dialektika diyakini Soekarno bahwa sebuah gerak dalam sejarah perjuangan masyarakat Indonesia akan terus berjalan dan bergerak ketahap yang lebih tinggi. Pergerakan Bangsa Indonesia melawan penjajah diyakini mungkin seakan tidak kelihatan sama sekali perubahannya namun seiring waktu pergerakan yang ada terus mencapai tingkatan berbeda dan titik kulminasi yang lebih tinggi.  Atas dasar metode berpikirnya yang dialektis tersebut Bung Karno juga akhirnya menguasai berbagai teori-teori Marxisme lainnya dalam perjuangan mengemban tugas-tugas Revolusi di Indonesia seperti analisis dan perjuangan Kelas Marx, Materialisme historis diantaranya intrastruktur dan suprastruktur (Bangunan dasar dan Bangunan atas) keadaan sosial masyarakat serta Ekonomi Marxis sebagaimana yang diuraikan. 

**Samen bundelling van alle revolutionaire krachten van de natie

"Pengikatan Bersama Seluruh Kekuatan Revolusioner". Ini adalah slogan paling heroik yang senantiasa digaungkan sesama anggota dan kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Slogan ini syarat makna. Sangat cocok disandingkan dengan semboyan GMNI yang tidak kalah fenomenal "Pejuang-Pemikir-Pemikir-Pejuang'. Dalam artian pengikatan bersama semua kekuatan Revolusioner diambil oleh Soekarno untuk menyatukan berbagai perpecahan didalam pergerakan internal bangsa kala itu menghadapai Belanda. Soekarno tidak menggunakan slogan ini untuk keren-kerenan semata. Lebih daripada itu iya ingin bahwa semua kekuatan, sebanyak banyaknya harus terhimpun dan bersatu memperjuangkan Revolusi. "Mencapai Kemerdekaan Penuh Indonesia atas Belanda". Terbukti Soekarno bersama para tokoh kemerdekaan kala itu berhasil menghimpun kekuatan golongan tua, golongan muda, para tokoh agama, tokoh adat untuk menjadi menjadi basis perjuangan Revolusi. Situasi yang banyak tidak kita jumpai pada gerakan pemuda dan mahasiswa saat ini khususnya sayap gerakan  kiri yang masih terlelap dalam perebutan eksistensi soal siapa yang paling kuat antar organisasi maupun komisariat, atau dalam situasi sesama kadernya yang sama menggemaskan dan masih saja berdebat kusir soal siapa yang paling hebat dalam pembacaan teori, prestasi dan sebagainya. Dengan jumlah kesadaran gerakan pemuda yang sudah sedikit menjadi semakin menyusut pula. 

Menginjakan kaki di usia GMNI yang ke 67 masih senantiasa dijumpai perpecahan dan konflik internal di tubuh organisasi mahasiswa termasuk Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Konflik dalam sebuah organisasi tentu tidak menjadi masalah sebagai dinamika pendewasaan dalam dunia pergerakan. Tetapi akan menjadi bermasalah ketika konflik yang ada akhirnya menghambat bahkan menjadi fokus yang lebih diutamakan ketimbang cita-cita luhur organisasi khususnya ditubuh GMNI yakni "Memenangkan Revolusi Kaum Marhaen". Dualisme organisasi ataupun perbedaan pilihan politik, serta perebutan jabatan di internal organisasi semestinya tidak menjadi batu sandungan ketika diperhadapkan pada situasi bangsa yang jauh lebih mendesak. Selama masih berada dalam satu rel dan koridor Ideologi perjuangan Marhaenisme yang sama maka cita-cita Ideologi tetap senantiasa harus dikedepankan dan dijunjung tinggi. Mengutip tulisan sastrawan ternama NTT Bung Hancel Goru Dolu tentang Pramoedya Anantatoer. Sebagaimana dalam rumah kacanya Pram kita disuguhkan pertarungan antara dua pribumi. Minke sebagai agen perubahan nasib pribumi, Pangemanan Sebagai agen Kolonial Belanda. Minke menggunakan kesadaran kritisnya, Pangemanan terlelap dalam nikmatnya kesadaran naif. Minke melalui Sarekat Dagang Islam dan Medan Prijajinya porak poranda, Pangemanan mendapat promosi kenaikan jabatan oleh kolonial Belanda. Minke kalah, akan tetapi empat  fondasi kaki Nandi-nya telah menapaki gerbang kegemilangan hari depan; Pers, Organisasi, Mogok (boycot) dan konsep persatuan diantara bangsa-bangsa terjajah. Minke tidak lain adalah Raden Mas Tirtho Adi Soerdjo yang mempelopori gerakan pers pertama Indonesia lewat koran pembebasannya Medan Prijaji. Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia  ditantang untuk menapaki jejak keberanian dan pengalaman hidup Raden Mas Minke yang disebut sebut Pram sebagai Intelektual Organik. Intelektual yang berani mempraksiskan teori yang didapat dengan kondisi sosial yang ada di masyarakat sebagaimana kita terpanggil sebagai pembebas kaum Marhaen Indonesia menuju gerbang Kemenangannya yang terakhir. Masih terbayang jelas diingatan kita bagaimana sebagai Kader GMNI kita senantiasa dicekoki dan diberi berbagai teori-teori  sosial revolusioner sebagai dasar pergerakan sejak Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB) hingga tahap Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD) ataupun saat sekedar nongkrong di warung-warung kopi. Sebut saja "Sejarah Gerakan Pemuda, Marxisme, Tri Sakti Bung karno, Marhaenisme, Manajemen Masa, Manajemen Konflik, Agitasi dan Propaganda". Maka praksiskanlah sesuai kultur dan kondisi sosial Geopolitik dan Geoekonomi masyarakat Indonesia saat ini. Utamakan kemaslahatan bersama disamping ego-ego sektoral dan konflik internal organisasi yang terus berkepanjangan. Seperti apa yang diungkapan Tanca sang Rakrian dalam Kisah Trowulan "Istana dan seisinya boleh hancur berkeping-keping, tetapi sang Dewi harus tetap berseri".

Usia Gerakan Mahasiswa nasional Indonesia telah mencapai 67 Tahun. Sebagai mahasiswa yang merupakan agen perubahan, situasi bangsa saat ini terus memanggil kesadaran dan aksi kritis bersama. Kebijakan Pemerintah melalui Omnibus Law mulai dirasakan dampaknya saat ini. Berbagai tragedi Bencana Alam Nasional yang terjadi di hampir semua wilayah Indonesia menjadi peringatan dan tanda-tanda alam tentang eksploitasi dan pengerusakan alam yang berlebihan. Bahkan setelah serangkaian bencana yang terjadi seorang pemimpin tinggi Partai di Republik ini sempat-sempatnya berkomentar "tentang perlunya kepekaan dan kepedulian lingkungan bagi Masyarakat", setelah sebelumnya Partai besarnya mendukung penuh pengesahan kebijakan undang-undang yang banyak merugikan dan berdampak langsung pada lingkungan. Selanjutnya ada pidato Presiden Jokowi yang viral karena menggaungkan "untuk membenci produk asing, dan mencintai produk dalam negeri" tapi tidak lama setelahnya mengambil kebijakan melalui Kementerian Perdagangan untuk segera mengimpor kurang lebih 2,5 juta ton beras di saat akan menjelang panen raya. Alasan Kementerian Perdagangan cukup menggelitik"gabah petani banyak basah" jadi harus kita impor. "Entahlah apa yang ada diisi kepala dan pikiran  para penguasa di  Negeri ini". 

Mahasiswa dan Pemuda khususnya para Kader GMNI akan menjadi tameng perjuangan terakhir terkait berbagai eksploitasi yang sedang terjadi. Maka tetaplah setia karena situasi sosial serta lingkungan senantiasa memanggil dan menuntut kesiapsiagaan pergerakan. Kasus-kasus lain di Indonesia juga masih banyak menuntut kepekaan khususnya dikalangan mahasiswa. Sebut saja seperti perampasan hak tanah adat  dan ulayat di Besipae, Kawin Paksa di Sumba serta berbagai situasi ketidakadilan lain. Mulai dari kasus perampasan dan pencaplokan lahan Petani di Rembang hingga ekspansi Tambang Semen di NTT serta Batu Bara di Kalimantan termaksud Borneo. Dari permasalahan HAM di Papua hingga nasib Buruh Migran di Tiongkok ataupun Taiwan yang terampas haknya. Dari Harga Sembako yang terus melonjak hingga masalah SPP Kampus yang terlampau mahal dikala Pandemi. Mulailah bergerak dan teruskan perlawanan dalam "revolusi-revolusi kecil" semampu yang kita bisa. Tetap Ingatlah bahwa dialektika dan perubahan senantiasa berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Tidak perlu dipaksakan atau direkayasa dengan meneriakan slogan-slogan Revolusi yang terdengar heroik dan sangat utopis dalam skala yang terlampau besar dan luas, yang bahkan menurut Safi'i Kemamang sang pencipta lagu Buruh Tani "tidak mampu kita pikul". Mulailah saja dulu Revolusi kecilmu lewat wadah apapun sebagaimana yang kau bisa. Melalui Organisasi, melalui bacaan, seminar, menulis, prestasi akademis di kampus, ataupun advokasi  aksi-aksi kemanusiaan di masyarakat sesuai situasi yang telah digambarkan serta banyak lagi kerja-kerja ideologis sebagaimana yang telah diuraikan Marx dan dipraksiskan Soekarno hingga keberhasilannya. Sesuai semboyan Raden Mas Minke lewat Medan priyayinya "Mendidik Rakyat dengan Organisasi, Mendidik Penguasa dengan Perlawanan". Menutup tulisan ini saya  mengutip puisi fenomenal seorang sastrawan Flores agar sekiranya melengkapi kita untuk terus menjaga Nyala Api Perjuangan Kaum Marhaen di usia GMNI yang ke 67 Tahun. Karenanya sang pujangga bersajak "Sebagaimanapun NyalanyaKau adalah Api. Baramu terhempas tersembunyi. Tersungkul dan terjungkal kau mencari, hingga lupa kalau ada matahari. Ada Tanya dalam diri, matahari yang membuatmu jadi, atau engkaulah pengokong sang mentari. 

Ketika Aku bertemu Kau kalah itu, baramu hampir menjadi abu. Sepoi-sepoi Ku meniupmu, perlahan-lahan merah baramu menghajar gosong abumu. Lalu kita sadar tentang kekuatan Kita, Angin kecil dan Api yang masih sebesar Bara, Kelak bisa menantang keangkuhan langit, suatu ketika"-HGD

Dirgahayu Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. "Satukan Semua Kekuatan Yang Ada Dalam Pergerakan dan Pemikiran Revolusioner. Bangun dan bangkitlah Melawan!!"

Merdeka, Jaya, Menang!!!

🔥✊🏿

Boa Tarde🌹🌹

#Kaum Merah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun