Mohon tunggu...
Fulgensius
Fulgensius Mohon Tunggu... Penulis - Fiat Justitia Ruat Caelum, Salus Populi Supreme Lex

Hasta La Victoria siempre

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revolusi Pangan, Jalan Senyap Kaum Marginal

12 Juni 2020   18:30 Diperbarui: 13 Juni 2020   12:39 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem, Kerto Raharjo", pepatah masyarakat Jawa kuno, sebagai ungkapan kebanggan akan melimpah dan kayanya hasil alam di Nusantara, yang pernah mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad 14 Masehi.

Keadaan dan kondisi pangan yang merdeka, bahkan sangat melimpah untuk diwariskan bagi puluhan generasi setelahnya. Selayaknya tanah terjanji dalam riwayat pelarian Musa, yang akhirnya mendorong usaha penaklukan oleh bangsa - bangsa kolonial seperti Portugis dan Spanyol, dengan rela menyeberangi luasnya Pasifik, demi sampai ke Nusantara melalui Sunda Kelapa kala itu atau yang kita kenal sebagai Batavia (Jayakarta).

Kebanggan - kebanggan warisan kekayaan Nusantara ini lantas menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dialektis yang saling menegasikan apakah "melimpah atau tidaknya hasil alam, akan sebanding dengan kondisi kesejahteraan ekonomi masyarakat". Pertanyan yang sejatinya telah dibenturkan dengan kondisi real ekonomi masyarakat Nusantara, yang mungkin masih jauh dari sejahtera. 

Problem pangan dan kelaparan menjadi permasalahan klasik bagi masyarakat di kelas terbawah, khususnya masyarakat  wilayah perkotaan, sehingga menjadi sangat kontradiksi jika istilah "Gema Ripah Loh Ginawe" masih santer terdengar. Kita sepertinya belum sampai di titik itu. Istilah "Toto Tentrem Kerto Raharjo" masih sebagai pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Mungkin Nusantara pernah berjaya di sekitaran abad 14, tapi jelas tidak lagi untuk kondisi ekonomi masyarakat sekarang.

Berbicara “Revolusi Pangan” yang rasanya masih sebatas utopis di berbagai wilayah Indonesia, nyatanya mampu terpatahkan oleh masyarakat di sebuah pedesaan kecil di kaki bukit Gedha, sepelataran kaki Gunung Inerie Pulau Bunga, Flores. Siapa yang menyangka,  "Revolusi Pangan" secara senyap dan besar- besaran ini benar-benar telah dilakukan masyarakat Desa Warikeo, Kecamatan Golewa Barat, Kabupaten Ngada - NTT. Tentu saja sebuah “Revolusi Pangan” yang murni dilakukan tanpa berbekal teori apapun, terutama bagi warga desa di wilayah timur dan terpencil Indonesia.

Revolusi yang mungkin belum sekaliber "Revolusi Kuba", Havana 26 Juli 1953 oleh Ernesto Guevara serta pemimpin gerilyawan mereka Fidel Castro, yang berhasil menumbangkan rezim Batista kala itu.

“Revolusi Pangan” Desa ini  lebih dekat jika disandingkan dengan "Revolusi Bolivarian 1999" dibawah pimpinan Hugo Chaves, yang tercatat sejarah sebagai "Revolusi Agraria", dan  belakangan dikenal dengan Revolusi Kesejahteraan, karena Chaves mengembalikan hak-hak tanah kepada rakyatnya di Venezuela. Chaves lantas terkenang sepanjang sejarah Venezuela, sebagai presiden yang paling peduli pada rakyat kecil.

Sedikit sama seperti Venezuela, masyarakat desa di kaki gunung Inerie Pulau Flores, memulai perubahaan di sektor pertanian, khususnya pertanian dan tanaman "Pangan Holtikultura". Petani Desa dengan sumber daya terbatas, di tengah kondisi air yang sulit, meski diketahui berada di daerah pegunungan, dan merupakan daerah strategis yang dekat dengan dua sumber mata air yakni Tukalopi dan Waeroa.

Mesin dan turbin pemompa, serta pipa yang nantinya mengaliri air ke wilayah desa, masih menjadi kendala utama ketersediaan air bersih. Belum ada korporasi atau perusahaan air minum yang bersedia membiayai pengadaan pipa penyaluran air bersih bagi masyarakat, mungkin karena tidak ada timbal balik atau keuntungan yang didapat, ibarat pepatah lama “selalu ada batu tempat udang bersembunyi”

Masyarakat desa dengan terpaksa harus menimba air untuk tanaman atau keperluan mencuci dan memasak, dengan berjalan ke pusat bak penampungan air yang lumayan jauh, atau terkadang harus ke sumber mata airnya langsung dengan jarak belasan kilometer. Suatu fenomena lumrah di berbagai wilayah timur Indonesia, dan tentu mengingatkan kita tentang negeri-negeri seperti Libya, Sahara barat, atau Djibouti yang menjadi daerah yang masyarakatnya hidup dengan kondisi krisis air bersih, bahkan menjadi yang terparah dan terbesar di dunia.


Berangkat dari keterbatasan,  warga desa tetap bisa dan terbukti mampu memberikan perubahan besar bagi perkembangan tanaman pangan Holtikultura di wilayah Kabupaten Ngada, Flores - NTT. Suatu perubahan yang tidak instan, tentu saja setelah sebelumnya melalui berbagai dinamika perjuangan maupun eksperimen sulit dan panjang.

Menemukan jenis tanaman, teknik serta pola dan sistem menanam terbaik tidak lepas dari inovasi dan perjuangan sulit anak – anak muda, setelah beberapa dekade terakhir kondisi ekonomi pertanian desa, berada di fase yang beku dan dinamis tanpa perubahan berarti. 

Melihat kondisi jauh kebelakang, sebelum menekuni tanaman pangan Holtikultura, masyarakat Warikeo maupun hampir semua desa di wilayah sekitarnya, hanya mengandalkan tanaman musiman seperti kopi, jagung, dan kedelai, yang masa panennya tentu lama, dan hasilnya tidak bisa dirasakan secepat kondisi sekarang, ketika menaman tanam pangan holtikultur

Pola pertanian  tertahan dengan pola pertanian subsisten tradisonal, dimana tanaman pangan dikelola dalam jumlah yang secukupnya untuk dikonsumsi sendiri. Lambat laun, dalam prosesnya terjadi pergeseran kedalam sistem pertanian komersil, dimana hasilnya digunakan untuk dipasarkan lagi seperti saat ini, dan tentu dengan teknik dan pola menaman yang lebih moderen.  Suatu loncatan perubahan besar bagi warga desa dan sistem pertanian mereka.

Ibarat proses pendewasaan pada manusia dengan segala dinamika yang sulit, kondisi kultur budaya masyarakat desa di Pulau Flores, khususnya di sektor pertanian telah melewati jalan yang sama. Anak-anak muda mereka yang telah keluar dari kerangkeng pola hidup lama, misalnya hanya sekedar nongkrong atau mabuk tuak dirumah tetangga, kini muncul sebagai pemantik sekaligus pembawa api, mengobarkan dan membakar lagi semangat bertani yang hampir lesu bagi hampir semua masyarakat desa.

Dalam percobaan mereka, para kaum muda ini mulai menaman lombok dan tomat dengan Sistem Bedengan Permanen (SBP), karena dirasa lebih baik ketimbang menggunakan Sistem Konvensional (gogorancah), baik disaat musim hujan dan kemarau. Meski demikian pada proses pembibitannya juga digunakan metode Vertikultur dan juga Polybag untuk mendapatkan bibit yang baik dan unggul. 

Perawatan baik pada proses penyiraman dan penyemprotan vitamin serta obat dilakukan secara berkala dengan dosis yang sesuai. Sedikit pengalaman dan pembelajaran secara otodidak tidak menyurutkan langkah para pemuda yang punya nyali dan kemauan yang sangat tinggi itu. Mereka mengakui "tidak menerima pelatihan dari pemerintah atau lembaga manapun".

Perawatan tanaman pangan holtikultur seperti Lombok Keriting, dan Tomat membutuhkan tingkat ketelitian dan kesabaran yang tinggi, dengan kendala dan rintangan yang tidak sedikit. Hama dan cuaca biasanya menjadi momok nomor satu, sehingga berbekal pengetahuan yang terbatas maka pestisida organik (Baca: Pestisida organik) yang dibuat sendiri menjadi pilihan terbaik bagi warga desa, karena selain aman bagi tumbuhan dan lingkungan juga ampuh dalam membunuh hama tanaman. 

Penantian panjang petani - petani desa Warikeo akhirnya terbayarkan, berkat kesabaran dan keteguhan serta usaha anak-anak muda progresif mereka, sebut saja seperti Hironimus Leo dan Porvirius Kaju.  Militansi dan kreativitas mereka mampu membawa angin segar bagi pola pertanian masyarakat desa, yang pada akhirnya mulai membuahkan hasil. Panen dapat langsung dirasakan oleh semua warga masyarakat, serta menjadikan inspirasi dan teladan bagi penduduk setempat. Banyak masyarakat yang mulai menyisihkan sedikit lahan mereka, untuk mulai ditanami  sayur, tomat, lombok dan tanaman holtikultur lainnya. Perubahan pola pertanian serta regenerasi budaya pertanian  menjalar ke hampir seluruh wilayah sekitar.

Dengan tidak memegang prinsip pada kepemilikan sektoral sebagaimana dalam uraian "Teori Perjuangan Kelas" Marx dan rekannya Friedrich Engels dengan manifesto tersohor mereka "Das Manifes Der Kommunistischen Partei : 1848". Bahwa alat-alat produksi, pola serta teknik menaman, yang dimiliki harus dibagikan dan diajarkan secara merata di kalangan masyarakat desa. Sebuah kunci keberhasilan dengan mengesampingkan kepemilikan individu sebagaimana lazimnya terjadi di Nusantara, yang mulai meninggalkan tradisi hidup masyarakat urban.

Praktek – praktek korporasi dan perusahaan  hanya menekankan kepemilikan korporat dengan keuntungan sepihak dan sebesar - besarnya, tanpa memperhatikan kaum buruh, proletar dan masyarakat kelas terbawah. Tidak bisa dibayangkan jika saja inovasi dan alat produksi pertanian beberapa pemuda desa tadi disimpan untuk kepentingan sendiri, serta tidak disebarluaskan di masyarakat  awam. Tentu pola pertanian khususnya pola perilaku sosial generasi muda desa, tidak akan mengalami banyak perubahan signifikan seperti sekarang. 

Sekali lagi melalui pemuda  kembali ditegaskan bahwa Desa sungguh adalah tempat terbaik untuk pulang dan semangat untuk memulai kembali. Sebagaimana semangat Revolusi yang pemuda tunjukan dalam pertanian, serta semangat yang selalu dipekikan para Revolusioner pendahulu, sejak Marx hingga Chaves di Venezuela serta yang paling tersohor, Ernesto Guevara bersama rakyatnya Kuba dengan slogan paling heroik mereka "Patria O Muerte, Venceramos!"

***

Dedikasi untuk kaum muda Desa Warikeo, untuk semangat dan kerja keras mereka, membangun perekonomian masyarakat Desa, Hasta Siempre🌷

Boa Noite🌷

#GerakanKiri

🌷🌷🌷🌷

***

Nb: Diolah dari berbagai referensi. Tanpa data karena bukan Skripsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun