Mohon tunggu...
Fufut Tri Nur Indah
Fufut Tri Nur Indah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak IPB University

Pemerhati Anak dan Keluarga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT): Harapan Besar Realitas yang Mengecewakan

30 November 2024   20:24 Diperbarui: 30 November 2024   21:35 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa dekade terakhir, Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) telah menjadi pilihan utama bagi banyak keluarga Muslim di Indonesia. Data dari Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), jumlah SDIT telah meningkat secara signifikan dari hanya beberapa ratus sekolah pada awal tahun 2000an menjadi lebih dari 2.000 sekolah di seluruh Indonesia pada tahun 2023. Fenomena ini mencerminkan besarnya minat orang tua terhadap ketentuan ini. Menyelenggarakan pendidikan  agama yang selaras secara akademis.

Namun, di balik popularitas dan citra positif tersebut, terdapat sisi gelap yang jarang dibicarakan. Ada beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dan menjadi pertanyaan: Apakah SDIT  benar-benar memberikan pendidikan yang terbaik atau hanya sekedar mencari gengsi sebagai sekolah dengan "label Islam" saja?

  • Fokus Berlebihan dalam Hafalan tanpa Pemahaman.

Banyak SDIT menonjolkan tahfiz Al-Qur'an sebagai daya tarik utama. Anak-anak diharuskan menghafal ayat-ayat Al-Qur'an pada jumlah besar dan pada usia dini. Sayangnya, proses ini acapkalikali tidak diimbangi dengan pemahaman mendalam mengenai makna & aplikasinya pada kehidupan sehari-hari. Akibatnya, anak-anak tumbuh menggunakan hafalan yg banyak namun minim refleksi spiritual atau pemahaman kontekstual.

Biaya pada SDIT acapkalikali kali jauh lebih tinggi dibandingkan sekolah dasar negeri. Biaya ini meliputi seragam, aktivitas ekstrakurikuler, sampai acara spesifik misalnya tahfiz. Sayangnya, beberapa orang tua mengeluhkan kurangnya transparansi pada pengelolaan biaya ini. Hal ini menyebabkan kecurigaan bahwa pendidikan berbasis kepercayaan dijadikan ladang usaha bagi yayasan.

  • Minimnya Penanaman Toleransi.

Beberapa SDIT diduga kurang menanamkan nilai-nilai keberagaman & toleransi. Fokus yg berlebihan dalam ajaran kepercayaan dapat memunculkan pandangan ekslusif pada anak didik. Hal ini berisiko menciptakan generasi yg kurang menghargai perbedaan, baik pada hal kepercayaan juga budaya.

SDIT mempunyai potensi besar  untuk mencetak generasi yg tidak hanya cerdas secara akademik, namun juga berakhlak mulia. Namun, perlu melakukan evaluasi pada sistemnya. Orang tua wajib  lebih kritis saat memilih SDIT. Sementara itu, pengelola SDIT wajib introspektif dan kembali dalam tujuan utama:  mencetak generasi Islami yg berdaya dam inklusif. Pendidikan bukan sekadar soal label, namun soal kualitas & dampaknya terhadap masa depan anak-anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun